Sabtu, 17 Agustus 2019

Sifat-sifat Allah

SIFAT-SIFAT ALLAH

Sebelum munculnya para mutakallimin tidak dikenal permasalahan (pembahasan khusus-pen) tentang sifat-sifat Allah dan tidak pernah persoalan ini muncul dalam setiap pembahasan. Di dalam al-Quran dan hadits yang mulia tidak didapati kata mengenai sifat-sifat Allah, begitu juga tidak ada seorang sahabatpun yang menyebutkan kata-kata tentang sifat-sifat Allah atau membahas tentang sifat-sifat Allah. Apa yang telah dikatakan oleh para mutakallimin tentang sifat-sifat Allah yang –menurut mereka- terdapat dalam ayat-ayat al-Quran harus dipahami berdasarkan konteks firman Allah Swt:
   
سُبۡحَـٰنَ رَبِّكَ رَبِّ ٱلۡعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ (١٨٠)
Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. (TQS. ash-Shaaffat [37]: 180)

لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَىۡءٌ۬‌ۖ  (١١)  
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. (TQS. asy-Syura [42]: 11) 

لَّا تُدۡرِڪُهُ ٱلۡأَبۡصَـٰرُ (١٠٣) 
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata. (TQS. al-An’aam [6]: 103)
Pensifatan terhadap Allah harus diambil dari al-Quran saja. Seperti misalnya di dalam al-Quran terdapat kata al-ilmu, maka harus  iambil dari pemisalan ayat berikut ini. Firman Allah Swt:

۞ وَعِندَهُ ۥ مَفَاتِحُ ٱلۡغَيۡبِ لَا يَعۡلَمُهَآ إِلَّا هُوَ‌ۚ وَيَعۡلَمُ مَا فِى ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ‌ۚ وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعۡلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ۬ فِى ظُلُمَـٰتِ ٱلۡأَرۡضِ وَلَا رَطۡبٍ۬ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِى كِتَـٰبٍ۬ مُّبِينٍ۬ (٥٩) 
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib. Tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (lauhil mahfuz). (TQS. al-An’aam [6]: 59)
Seperti al-hayat diambil dari pemisalan ayat berikut ini. Firman Allah Swt:

ٱللَّهُ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡحَىُّ ٱلۡقَيُّومُ‌ۚ  (٢٥٥)  
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang  idup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). (TQS. al-Baqarah [2]: 255) 

   هُوَ ٱلۡحَىُّ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ  (٦٥)
Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. (TQS. al-Mukmin [40]: 65)
Seperti al-qudrah diambil dari pemisalan ayat berikut ini. Firman Allah Swt:
 قُلۡ هُوَ ٱلۡقَادِرُ عَلَىٰٓ أَن يَبۡعَثَ عَلَيۡكُمۡ عَذَابً۬ا مِّن فَوۡقِكُمۡ أَوۡ مِن تَحۡتِ أَرۡجُلِكُمۡ أَوۡ يَلۡبِسَكُمۡ  (٦٥)

Katakanlah: ‘Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan). (TQS. al-An’aam [6]: 65)
۞ أَوَلَمۡ يَرَوۡاْ أَنَّ ٱللَّهَ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضَ قَادِرٌ عَلَىٰٓ أَن يَخۡلُقَ مِثۡلَهُمۡ وَجَعَلَ لَهُمۡ أَجَلاً۬ لَّا رَيۡبَ فِيهِ فَأَبَى ٱلظَّـٰلِمُونَ إِلَّا كُفُورً۬ا (٩٩)

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwasanya Allah yang menciptakan langit dan bumi adalah kuasa (pula) menciptakan yang serupa dengan mereka. (TQS. al-Isra [17]: 99)
Seperti as-sam’u diambil dari pemisalan ayat berikut ini. Firman Allah Swt: 

إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ۬ (١٨١)  
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (TQS. al-Baqarah [2]: 181)

وَٱللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ۬ (٢٢٥)  
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (TQS. al-Baqarah [2]: 224)
Seperti al-bashar diambil dari pemisalan ayat berikut ini. Firman Allah Swt:

وَأَنَّ ٱللَّهَ سَمِيعُۢ بَصِيرٌ۬ (٦١)  
Dan bahwasanya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (TQS. al-Hajj [22]: 61)

وَڪَانَ رَبُّكَ بَصِيرً۬ا (٢٠)  
Dan adalah Tuhanmu Maha Melihat. (TQS. al-Furqan [25]: 20)

إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ (٢٠)  
Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (TQS. al-Mukmin [40]: 20)
Seperi al-kalam diambil dari pemisalan ayat berikut ini. Firman Allah Swt:

وَكَلَّمَ ٱللَّهُ مُوسَىٰ تَڪۡلِيمً۬ا (١٦٤)
Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (TQS. an-Nisa [4]: 164)

وَلَمَّا جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَـٰتِنَا وَكَلَّمَهُ ۥ رَبُّهُ ۥ  (١٤٣)
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya. (TQS. al-A’raaf [7]: 143)
Seperti al-iradah diambil dari pemisalan ayat berikut ini. Firman Allah Swt:

إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ۬ لِّمَا يُرِيدُ (١٠٧)
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. (TQS. Hud [11]: 107)

إِنَّمَآ أَمۡرُهُ ۥۤ إِذَآ أَرَادَ شَيۡـٴً۬ـا أَن يَقُولَ لَهُ ۥ كُن فَيَكُونُ (٨٢)
Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia. (TQS. Yasin [36]: 82)

وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ يَفۡعَلُ مَا يُرِيدُ (٢٥٣)
Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya. (TQS. al-Baqarah [2]: 253)
Seperti al-khaliq diambil dari pemisalan ayat berikut ini. Firman Allah Swt:

ٱللَّهُ خَـٰلِقُ ڪُلِّ شَىۡءٍ۬‌ۖ (٦٢)
Allah menciptakan segala sesuatu. (TQS. az-Zumar [39]: 62)

وَخَلَقَ ڪُلَّ شَىۡءٍ۬ فَقَدَّرَهُ ۥ تَقۡدِيرً۬ا (٢)
Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (TQS. al-Furqan [25]: 2)
Sifat-sifat tersebut terdapat di dalam al-Quran yang mulia. Juga dijumpai pula sifat-sifat yang lain, seperti al-wahdaniyah, al-qidam dan lain-lain. Kaum Muslim di masa lalu tidak pernah berselisih pendapat bahwa Allah itu satu dan bersifat azali lagi memiliki sifat hayyun, qâdirun, samî’un, bashîrun, mutakallimun, ‘âlimun serta murîdun.
Lalu datang para mutakallimin yang menyebarkan pemikiranpemikiran filsafat. Maka muncul perselisihan pendapat di kalangan para mutakallimin tentang sifat-sifat Allah tadi. Kelompok mu’tazilah berkata, bahwa zat Allah dan sifat-sifatNya itu satu. Allah bersifat ‘âlimun, hayyun dan qâdirun itu pada zat-Nya, jadi ilmu, qudrah dan hayat bukanlah tambahan pada zatNya, sebab jika ‘âlimun dengan ilmu dianggap sebagai tambahan pada zat-Nya, dan hayyun dengan hayat sebagai tambahan pada zat-Nya, berarti keadaannya sama dengan manusia.
(Yaitu) mesti ada sifat dan mausuf (sesuatu yang disifati), juga hâmil (yang membawa) dan ahmûl (sesuatu yang dibawa). Hal semacam ini merupakan kondisi (yang bersifat) jasmani (fisik). Maha suci Allah dari (sifat) penjasmanian. Seandainya kami mengatakan setiap sifat itu berdiri dengan sendirinya sungguh yang kekal itu akan berbilang (qudama). Dengan ungkapan lain akan terdapat banyak Tuhan.
Sementara itu (kelompok) ahli sunnah berkata, Allah Swt memiliki sifat-sifat azaliyah yang bersatu dengan zat-Nya, yaitu (bukan Dia dan bukan selainNya). Keberadaan-Nya memiliki sifat-sifat, maka mengapa harus ditetapkan bahwa Allah itu ‘âlimun, hayyun, qâdirun dan seterusnya. Dan telah diketahui bahwa masing-masing dari ilmu, hayat, qudrah dan yang semisalnya, menunjukkan pengertian (adanya) tambahan terhadap mafhum al-wajibul wujud (wajib keberadaannya). Semua itu bukan kalimat sinonim. Jadi, tidak mungkin terjadi seperti yang dikatakan oleh kelompok mu’tazilah, bahwa Dia itu ‘alimun la ilma lahu (‘alim tetapi tidak memiliki ilmu), dan qadirun la qudrata lahu (qadir tidak memiliki kekuasaan atau kemampuan) dan lain-lain sebagainya. Hal seperti itu mustahil ada. Itu sama saja dengan mengatakan bahwa warna hitam tetapi tidak ada hitamnya. Nash-nash telah menerangkan tentang ketetapan ilmu, qudrah-Nya dan lain-lain. Dan hal itu telah ditunjukkan oleh hasil perbuatan yang mutqinah (tepat) atas keberadaan ilmu dan qudrah-Nya. Bukan sekedar dinamakan alim (berilmu) dan qadir (berkuasa) saja. Keberadaan sifat Allah yang azali, berarti tidak mustahil melakukan berbagai peristiwa dengan zat-Nya yang Mahatinggi. Sifatnya yang qadim dan azali tidak mungkin melakukan sebuah peristiwa saja. Mengenai keberadaan sifat-sifat-Nya yang menyatu dengan zat-Nya yang Maha tinggi maka hal itu merupakan bagian terpenting yang secara pasti harus ada, karena tidak ada maknanya mensifati sesuatu kecuali apa yang ia lakukan. Tidak ada makna (keberadaanNya) sebagai ‘aliman dengan melakukan sifat terhadap perkara yang sudah diketahui. Tetapi makna (keberadaanNya) sebagai ‘aliman berar ti menguasai sifat mengetahui. Adapun keberadaan sifat (bukan Dia dan bukan selain-Nya) berarti sifat-sifat Allah bukanlah zat-Nya itu sendiri, karena akal memastikan bahwa sifat bukanlah mausuf (yang disifati). Artinya, sifat tersebut merupakan makna tambahan pada zat. Hal itu merupakan sifat bagi Allah sehingga bukan selain Allah. Ia bukanlah sesuatu, bukan pula berupa zat ataupun benda, melainkan sifat bagi zat. Keberadaannya bukanlah zat Allah, bukan pula selain Allah, ia merupakan sifat bagi Allah.
Tentang perkataan kelompok mu’tazilah, seandainya dijadikan seluruh sifat berdiri tegak dengan sendirinya maka yang kekal itu akan berbilang (qudama). Pernyataan semacam ini (bisa diterima) jika keberadaan sifat itu sebagai zat. Kalau keberadaannya sebagai sifat bagi zat yang qadim (terdahulu) maka tidak akan menjadikan zat tersebut berbilang. Boleh saja sifat-sifat itu berbilang bagi satu zat, lagi pula yang demikian itu tidak menghilangkan sifat wahdaniyah dan tidak akan terjadi politheisme (banyak tuhan). Karena itu ahli sunnah menetapkan -secara akal- bahwa Allah memiliki sifat-sifat yaitu selain zat-Nya dan bukan yang selain-Nya, karena sifat bukanlah mausuf (yang disifatkan), dan ia tidak terpisah dari mausuf. Kemudian ahli sunnah menjelaskan makna setiap sifat-sifat azali. Mereka berkata bahwa sifat ilmu adalah sifat azali yang mampu menyingkap seluruh ma’lumat ketika sifat itu berhubungan dengan ma’lumat tadi. Begitu pula sifat qudrah adalah sifat azali yang berpengaruh dalam segala hal yang dapat dikuasai ketika sifat qudrah ini berhubungan dengan hal yang dikuasainya tadi. Sifat hayat adalah sifat azali yang mengharuskan kelayakan yang hidup. Sifat qudrah merupakan kekuatan. Sifat mendengar (as-sam’u) adalah sifat azali yang berhubungan dengan segala yang didengar. Sifat melihat (al-bashar) adalah sifat azali yang berhubungan dengan segala yang dilihat. Berdasarkan sifat-sifat tersebut Allah mampu mengetahui secara sempurna, bukan melalui jalan khayalan ataupun persangkaan, bahkan bukan berdasarkan jalan yang dipengaruhi oleh perasaan maupun hawa nafsu. Iradah dan masyiah, keduanya adalah ungkapan tentang sifat yang terdapat pada hayyun (yang hidup), yang mengharuskan pengkhususan salah satu yang dikuasai di dalam satu waktu untuk melakukan kejadian dengan kadar kemampuan terhadap keseluruhan yang merata. Sifat kalam adalah sifat azali yang telah diungkapkan secara teratur, dikenal dengan al-Quran. Allah Swt berbicara/berkata-kata dengan kalam. Ia merupakan sifat bagi-Nya dan azali, bukan dari jenis huruf-huruf maupun suara-suara. Yaitu sifat yang berlawanan dengan sukut (diam) atau afat (wabah/bahaya). Allah Swt berkata-kata dengan sifat-Nya sebagai ‘amirun (yang memerintah), nahin (yang melarang), mukhbirun (pemberi khabar). Atas seluruh (sifat) ‘amirun, nahin dan mukhbirun mendapati makna dari dirinya, kemudian ia akan menunjuk kearahnya.
Itulah penjelasan ahli sunnah tentang sifat-sifat Allah, setelah mereka menetapkan bahwa Allah memiliki sifat-sifat azaliyah. Namun kelompok mu’tazilah mengingkari keberadaan makna-makna ini bagi sifat-sifat Allah, karena mereka (mu’tazilah) menegasikan bagi Allah memiliki sifat-sifat (yang merupakan) tambahan bagi zat-Nya. Mereka berpendapat apabila dipastikan bahwa Allah itu qadir, ‘alim, muhith (Maha Meliputi Segalanya), maka zat Allah dan sifat-sifat-Nya tidak bisa diikuti oleh perubahan, karena perubahan itu merupakan sifat baharu (muhdats). Mahasuci Allah dari sifat-sifat baharu. Apabila keberadaan sesuatu itu dijadikan setelah (sebelumnya) tidak ada, dan meniadakan sesuatu setelah keberadaannya, dan qudrah serta iradah Allah menguasai hal itu -sehingga qudrah dan iradah-Nya (mampu) menjadikan sesuatu dari ketiadaannya dan meniadakannya setelah sesuatu itu ada- maka bagaimana qudrah ketuhanan yang bersifat qadim berhubungan dengan sesuatu yang baharu (muhdats) hingga qudrah tersebut dapat mengadakannya? Dan mengapa qudrah tersebut mengadakannya pada saat ini, bukan pada saat lainnya dan bukan pada masa pertama? Qudrah yang secara langsung berjalan terhadap sesuatu setelah sebelumnya tidak berhubungan secara langsung dengan sesuatu tadi, menunjukkan adanya perubahan pada qudrah. Padahal sudah pasti bahwa Allah tidak diikuti oleh perubahan. Keadaan-Nya adalah qadim dan azali. Begitu pula pernyataan tentang iradah. Contoh seperti itu dikatakan juga tentang ilmu. Ilmu adalah mengungkap sesuatu yang ma’lum (diketahui) atas apa yang ada. Sementara ma’lum (yang diketahui) tersebut dapat berubah dari waktu ke waktu. Daun pepohonan yang jatuh berguguran setelah keberadaan (sebelum)nya tidak berguguran. Tanah yang lembab berubah menjadi tanah yang kering. Kehidupan berubah menjadi kematian. Ilmu Allah mampu menyingkap sesuatu berdasarkan penyandaran pada ilmu-Nya, sehingga Dia Mahamengetahui sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi. Dia Mahamengetahui sesuatu bahwa keberadaannya itu benar-benar ada, dan Mahamengetahui sesuatu bahwa keberadaannya itu benar-benar tidak ada. Maka bagaimana ilmu Allah mengalami perubahan disebabkan (adanya) perubahan terhadap segala sesuatu yang ada? Ilmu yang mengalami perubahan yang disebabkan oleh (adanya) perubahan tentang berbagai kejadian adalah ilmu yang bersifat baharu (muhdats). Dan Allah Swt tidak melakukan sesuatu yang muhdats, karena setiap hal yang berhubungan dengan sesuatu yang baharu berarti ia juga bersifat baharu (muhdats).
Pernyataan ini telah ditentang oleh kelompok ahli sunnah yang berkata bahwa qudrah memiliki dua ta’alluq (hubungan), yaitu azali yang tidak menghasilkan adanya al-maqdur (kemampuan) secara nyata, dan ta‘alluq hadits (hubungan yang bersifat baharu-pen) yang menghasilkan adanya al-maqdur secara nyata. Qudrah tersebut berhubungan dengan sesuatu hingga ia dapat mewujudkannya.
Qudrah itu telah ada sebelum terjadi hubungannya dengan sesuatu. Hubungannya dalam mewujudkan sesuatu itu tidak membuat qudrah tersebut menjadi baharu. Dan hubungannya secara langsung terhadap sesuatu setelah tidak adanya hubungan tersebut, bukan berarti terjadi perubahan pada qudrah. Jadi, qudrah adalah qudrah itu sendiri. Ia tidak mengalami perubahan, tetap berhubungan dengan sesuatu sekaligus mewujudkannya. Al-maqdurlah yang mengalami perubahan, sedangkan qudrah tidak berubah. Mengenai ilmu, maka segala sesuatu yang mungkin berhubungan dengan ilmu adalah ma’lum (sesuatu yang diketahui) secara nyata. Yang sesuai dengan ‘alimiyah (sifat kemahatahuan) adalah zat-Nya Swt,. Dan yang sesuai dengan ma’lumiyah (sifat yang diketahui) adalah zat-zat segala sesuatu. Maka hubungan zat dengan keseluruhan zat itu sama saja. Ilmu tidak berubah sesuai dengan zat. Yang berubah hanyalah aspek penambahannya. Dan ini boleh-boleh saja. Yang mustahil adalah perubahan ilmu itu sendiri dan sifat-sifat yang qadim, seperti qudrah, ilmu dan lainnya. Jadi, tidak mesti sifat-sifat itu qadim sehingga hubungannya harus bersifat qadim pula. Walhasil, bahwa zat yang bersifat qadim berhubungan dengan zat-zat yang bersifat baharu (muhdats).
Begitulah polemik itu berkecamuk antara kelompok mutakallimin mu’tazilah di satu sisi dengan kelompok ahli sunnah di sisi lain tentang sifat-sifat Allah. Sama seperti (polemik mereka pada) masalah lain, seperti qadla dan qadar. Anehnya ruang lingkup perdebatan yang dikobarkan oleh para mutakallimin sama seperti yang telah dikobarkan oleh para filosof Yunani sebelumnya. Para filosof Yunani mengobarkan ruang lingkup tentang masalah sifat-sifat al-Khaliq, sehingga muncul kelompok mu’tazilah yang menjawab tentang masalah itu. Meskipun demikian jawaban mereka masih dalam batas-batas keimanan mereka kepada Allah, dan masih dalam koridor pendapat-pendapat yang bertumpu pada tauhid. Lalu muncul kelompok ahli sunnah yang menentang pendapat mereka, untuk mengurangi tekanan filsafat Yunani, dan dibalik apa yang menjadi teori yang bersifat hipotetis maupun premis-premis yang bersifat mantiq (logika). Merekapun terjatuh ke dalam perangkap yang sama dengan kelompok mu’tazilah sehingga kelompok mu’tazilah menentang pendapat mereka (para ahli sunnah). Mereka menjadikan akal sebagai asas/landasan dalam berdiskusi dan berpolemik tentang perkara-perkara yang bisa dijangkau dan yang tidak bisa dijangkau oleh akal, mengenai hal yang dapat diindera dan yang tidak dapat diindera oleh manusia. Mereka menjadikan ayat-ayat dan hadits-hadits sebagai pendukung pendapatnya. Mereka mentakwil dalil ayat-ayat dan hadits-hadits yang berbeda dengan arah pendapat mereka. Dengan demikian seluruh kelompok mutakallimin baik itu kalangan mu’tazilah, ahli sunnah maupun lainnya sama-sama men-jadikan akal sebagai asas/landasan. Dan menjadikan ayat-ayat Allah sebagai pendukung arah pandangan akal, atau ayat-ayat tersebut ditakwilkan agar dapat dipahami sesuai dengan pandangan akal orang yang memahami diantara mereka.
Yang menghantarkan para mutakallimin hingga bersikap seperti ini terkait dengan dua perkara berikut:
Pertama, mereka tidak mengetahui definisi tentang akal.
Kedua, mereka tidak bisa membedakan antara metode al-Quran dalam memahami berbagai hakekat, dengan metode para filosofdalam memahami hakekat.
Ketidaktahuan mereka tentang definisi akal tampak jelas dari definisi mereka mengenai akal. Telah diriwayatkan bahwa mereka mengatakan: ‘akal adalah kekuatan di dalam jiwa atau daya pemahaman’. Ini merupakan makna dari perkataan mereka ‘watak/instink yang disertai oleh ilmu mengenai perkara-perkara yang dianggap penting disaat seluruh perangkatnya benar’. Mereka juga mengatakan: ‘akal adalah jauhar (inti) yang dapat mengetahui segala perkara ghaib melalui berbagai perantara atau mengetahui segala hal yang dapat disaksikan melalui musyahadah (penginderaan)’. Mereka juga mengatakan: ‘akal adalah jiwa itu sendiri’. Barangsiapa yang pemahamannya tentang akal sesuai dengan pemahaman di atas maka bukan hal yang mengherankan jika dirinya dijuluki dengan kebebasan, sehingga ia menyusun suatu teori terhadap berbagai premis yang ada, lalu melahirkan kesimpulan yang sebenarnya tidak pernah ada. Ia mengatakan tentang dirinya sendiri bahwa ia mengetahui kesimpulan ini berdasarkan akal. Berdasarkan hal ini pembahasan yang bersifat aqli pada mereka tidak memiliki batasan tertentu. (Bagi mereka) seluruh topik layak dibahas, hingga sampai pada beberapa kesimpulan dan itu dinamakan sebagai pembahasan yang bersifat aqli. Begitupun kesimpulannya bersifat aqli. Tidak mengherankan jika kelompokmu’tazilah mengatakan, bahwa ta’alluq qudrah Allah yang azali dengan al-maqdur yang bersifat baharu menjadikan sifat qudrah sebagai sesuatu yang baharu pula. Mereka menganggap bahwa hal itu adalah pembahasan yang bersifat aqli dan kesimpulannya pun bersifat aqli pula. Sementara ahli sunnah berkata -pada saat itu- bahwa ta’alluq qudrah Allah dengan al-maqdur tidak menjadikan qudrah itu mengalami perubahan, dan tidak menjadikannya sesuatu yang baharu, karena yang membuat qudrah menjadi baharu adalah perubahan qudrah itu sendiri, bukan perubahan al-maqdur. Mereka juga menganggap bahwa hal itu merupakan pembahasan yang bersifat aqli, dan kesimpulannya pun bersifat aqli. Sebab, akal menurut mereka adalah an-nafsu (jiwa) atau watak atau instink yang disertai dengan ilmu mengenai hal-hal yang dianggap perlu. Jadi, ia membahas tentang segala sesuatu. Kalau mereka mengetahui makna akal yang sebenarnya tentu mereka tidak akan terlibat dalam pembahasan hipotetis yang terlalu menduga-duga. Lagi pula seluruh kesimpulan yang dihasilkannya tidak bersifat praktis, dan hanya (berasal) dari sesuatu yang dihasilkan (dikaitkan dengan) sesuatu yang lain lalu hal itu disebut dengan hakekat yang bersifat aqliyah.
Dewasa ini pengertian tentang akal sudah kita peroleh penjelasannya, sehingga kita dapat mengetahui bahwa jika segala sesuatu yang ada tidak memadai untuk dibahas secara akal, maka tidak mungkin kita namakan pembahasannya bersifat aqliyah, dan hal itu tidak mengizinkan kita untuk membahasnya. Kita telah mengetahui bahwa definisi akal adalah: ‘perpindahan fakta melalui perantaraan indera menuju otak dan disertai dengan ma’lumat sabiqah (informasi-informasi terdahulu) yang akan menafsirkan fakta tersebut’. Jadi, pembahasan yang bersifat aqliy harus ada empat macam, yaitu: pertama adalah otak, kedua adalah indera, ketiga adalah fakta, dan yang keempat adalah ma’lumat sabiqah yang berhubungan dengan fakta tersebut. Jika satu unsur saja dari empat perkara tadi tidak ada maka tidak mungkin terjadi pembahasan yang bersifat aqliy secara mutlak, meski dimungkinkan adanya pembahasan yang bersifat mantiqi (bersifat logika), dan mungkin pula adanya pembahasan yang bersifat khayal atau angan-angan. Semua ini tidak ada nilainya sama sekali karena hal itu tidak berada di bawah pemahaman akal, atau sumbernya tidak berada dalam cakupan pemahaman akal. Karena tidak adanya pengetahuan para mutakallimin tentang pengertian akal, maka mereka disebut sebagai kelompok bebas pada seluruh pembahasan yang tidak tercakup di dalam indera, atau mereka tidak memiliki ma’lumat sabiqah yang berkaitan dengan (segala sesuatu).
Para mutakallimin tidak mampu membedakan antara metode al-Quran dengan metode para filosof mengenai pembahasan yang bersifat aqliyah. Al-Quran membahas tentang ketuhanan, dan para filosof juga membahas tentang ketuhanan. Pembahasan para filosof tentang ketuhanan menganalisis wujud yang mutlak dan apa-apa yang harus ada (dikehendaki) pada zatnya (tuhan). Mereka tidak membahas tentang alam semesta. Mereka malah membahas perkara yang ada di balik alam semesta. Mereka menyusun bukti-bukti (argumentasi) yang dimulai dengan premis-premis, hingga (dari susunan bukti-bukti tersebut) sampai pada suatu kesimpulan. Dari kesimpulan ini mereka susun lagi dengan kesimpulan lainnya hingga menjadi kesimpulan-kesimpulan baru. Begitulah seterusnya hingga mereka sampai pada hal-hal yang dianggapnya sebagai hakekat tentang suatu zat dan apa yang dikehendaki oleh zat tersebut. Mereka berbeda-beda dalam menghasilkan kesimpulan yang telah dicapainya. Jalan yang mereka tempuh dalam pembahasan hanya satu, yaitu apa yang ada di balik alam semesta. Lalu mereka mengukuhkan setiap argumentasi yang dihasilkannya, baik itu bertumpu pada asumsi-asumsi sebuah teori, atau berdasarkan argumentasi yang lain, yang sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang dianggap oleh mereka sebagai kesimpulan yang qath’i dan harus diyakini.
Metode pembahasan semacam ini bertentangan dengan metode al-Quran, karena al-Quran hanya membahas tentang alam semesta, mengenai benda-benda yang telah ada, tentang bumi, matahari, bulan, bintang, binatang, manusia, segala makhluk melata, unta, gunung dan lain-lain yang termasuk perkara yang dapat diindera. Dari situ mampu menjadikan seseorang sadar tentang adanya Pencipta alam semesta, adanya Pencipta segala yang ada, Pencipta matahari, unta, gunung, manusia dan lain-lain sebagainya yang diperoleh melalui penginderaannya terhadap segala sesuatu yang ada. Tatkala membahas hal-hal yang ada di balik alam semesta -yang tidak dapat diindera dan tidak dapat dijangkau melalui segala sesuatu yang ada-, maka al-Quran mensifatinya sebagai fakta atau menetapkannya sebagai suatu fenomena seraya memerintahkan (manusia) untuk mengimaninya dengan perintah yang pasti. Dan al-Quran tidak memerintahkan untuk mengalihkan pandangan manusia agar memikirkannya, demikian juga tidak mengalihkan pandangan manusia kepada sesuatu hingga ia bisa memikirkannya melalui sesuatu tadi. Seperti tentang sifat-sifat Allah,surga, neraka, jin, syaitan dan yang semisalnya. Metode ini telah dipahami oleh para sahabat, dan mereka berjalan sesuai metode tersebut. Mereka terjun di negerinya dengan mengemban risalah Islam kepada manusia untuk membahagiakan mereka dengan risalah Islam tadi, sebagaimana mereka memperoleh kebahagiaan dengan risalah tersebut. Keadaan seperti ini tetap berlangsung hingga berakhirnya abad pertama. Lalu pemikiran-pemikiran filsafat Yunani mulai menyusup hingga munculnya para mutakallimin. Maka metode pembahasan yang bersifat aqliyah mengalami perubahan. Setelah itu terjadi polemik mengenai zat Allah dan sifat-sifat-Nya. Bahkan polemik tersebut makin menjadi-jadi, meski persoalan yang diperdebatkan tidak tergolong pembahasan yang bersifat aqliyah sama sekali. Sebab, topik pembahasannya mengenai sesuatu yang tidak tercakup dalam penginderaan, padahal segala sesuatu yang tidak dapat diindera tidak memiliki ruang bagi akal untuk membahasnya. Bagaimanapun, pembahasan tentang sifat-sifat Allah, apakah zat itu sendiri ataupun bukan, sama saja dengan membahas tentang zat. Dan secara prinsip pembahasan tentang zat itu dilarang, malah mustahil untuk dibahas. Karena itu seluruh pembahasan para mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah tidak pada tempatnya dan termasuk kesalahan yang harus diluruskan. Sifat-sifat Allah bersifattauqifiyah (tidak bisa diganggu gugat). Apa yang terdapat dalam beberapa nash yang bersifat qath’i –seperti yang telah kita sebutkan itulah (yang kita pahami) apa adanya. Kita tidak boleh menambahkan satu sifat pun yang tidak ditemukan di dalam nash. Dan kita tidak boleh menjelaskan satu sifat pun kalau tidak terdapat (penjelasan tersebut) di dalam nash-nash yang qath’i.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar