SIFAT-SIFAT ALLAH
Sebelum munculnya para mutakallimin tidak
dikenal permasalahan (pembahasan khusus-pen) tentang sifat-sifat Allah dan
tidak pernah persoalan ini muncul dalam setiap pembahasan. Di dalam al-Quran
dan hadits yang mulia tidak didapati kata mengenai sifat-sifat Allah, begitu
juga tidak ada seorang sahabatpun yang menyebutkan kata-kata tentang
sifat-sifat Allah atau membahas tentang sifat-sifat Allah. Apa yang telah
dikatakan oleh para mutakallimin tentang sifat-sifat Allah yang –menurut mereka-
terdapat dalam ayat-ayat al-Quran harus dipahami berdasarkan konteks firman
Allah Swt:
سُبۡحَـٰنَ رَبِّكَ رَبِّ ٱلۡعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ (١٨٠)
Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan
dari apa yang mereka katakan. (TQS. ash-Shaaffat [37]: 180)
لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَىۡءٌ۬ۖ (١١)
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.
(TQS. asy-Syura [42]: 11)
لَّا تُدۡرِڪُهُ ٱلۡأَبۡصَـٰرُ (١٠٣)
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan
mata. (TQS. al-An’aam [6]: 103)
Pensifatan terhadap Allah harus diambil dari
al-Quran saja. Seperti misalnya di dalam al-Quran terdapat kata al-ilmu, maka
harus iambil dari pemisalan ayat berikut
ini. Firman Allah Swt:
۞
وَعِندَهُ ۥ مَفَاتِحُ ٱلۡغَيۡبِ لَا يَعۡلَمُهَآ إِلَّا هُوَۚ
وَيَعۡلَمُ مَا فِى ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِۚ وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ
إِلَّا يَعۡلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ۬ فِى ظُلُمَـٰتِ ٱلۡأَرۡضِ وَلَا رَطۡبٍ۬
وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِى كِتَـٰبٍ۬ مُّبِينٍ۬ (٥٩)
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua
yang ghaib. Tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa
yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan
Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi
dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab
yang nyata (lauhil mahfuz). (TQS. al-An’aam [6]: 59)
Seperti al-hayat diambil dari pemisalan ayat
berikut ini. Firman Allah Swt:
ٱللَّهُ
لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡحَىُّ ٱلۡقَيُّومُۚ (٢٥٥)
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia Yang idup kekal
lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). (TQS. al-Baqarah [2]: 255)
هُوَ ٱلۡحَىُّ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ (٦٥)
Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang
berhak disembah) melainkan Dia. (TQS. al-Mukmin [40]: 65)
Seperti al-qudrah diambil dari pemisalan
ayat berikut ini. Firman Allah Swt:
قُلۡ
هُوَ ٱلۡقَادِرُ عَلَىٰٓ أَن يَبۡعَثَ عَلَيۡكُمۡ عَذَابً۬ا مِّن
فَوۡقِكُمۡ أَوۡ مِن تَحۡتِ أَرۡجُلِكُمۡ أَوۡ يَلۡبِسَكُمۡ (٦٥)
Katakanlah: ‘Dialah yang berkuasa untuk
mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan
kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan). (TQS. al-An’aam [6]:
65)
۞
أَوَلَمۡ يَرَوۡاْ أَنَّ ٱللَّهَ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ
وَٱلۡأَرۡضَ قَادِرٌ عَلَىٰٓ أَن يَخۡلُقَ مِثۡلَهُمۡ وَجَعَلَ لَهُمۡ
أَجَلاً۬ لَّا رَيۡبَ فِيهِ فَأَبَى ٱلظَّـٰلِمُونَ إِلَّا كُفُورً۬ا
(٩٩)
Dan apakah mereka tidak memperhatikan
bahwasanya Allah yang menciptakan langit dan bumi adalah kuasa (pula)
menciptakan yang serupa dengan mereka. (TQS. al-Isra [17]: 99)
Seperti as-sam’u diambil dari pemisalan ayat
berikut ini. Firman Allah Swt:
إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ۬ (١٨١)
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (TQS. al-Baqarah [2]: 181)
وَٱللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ۬ (٢٢٥)
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (TQS. al-Baqarah [2]: 224)
Seperti al-bashar diambil dari pemisalan
ayat berikut ini. Firman Allah Swt:
وَأَنَّ ٱللَّهَ سَمِيعُۢ بَصِيرٌ۬ (٦١)
Dan bahwasanya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat. (TQS. al-Hajj [22]: 61)
وَڪَانَ رَبُّكَ بَصِيرً۬ا (٢٠)
Dan adalah Tuhanmu Maha Melihat. (TQS.
al-Furqan [25]: 20)
إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ (٢٠)
Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. (TQS. al-Mukmin [40]: 20)
Seperi al-kalam diambil dari pemisalan ayat
berikut ini. Firman Allah Swt:
وَكَلَّمَ ٱللَّهُ مُوسَىٰ تَڪۡلِيمً۬ا (١٦٤)
Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan
langsung. (TQS. an-Nisa [4]: 164)
وَلَمَّا
جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَـٰتِنَا وَكَلَّمَهُ ۥ رَبُّهُ ۥ (١٤٣)
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat
dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman
(langsung) kepadanya. (TQS. al-A’raaf [7]: 143)
Seperti al-iradah diambil dari pemisalan
ayat berikut ini. Firman Allah Swt:
إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ۬ لِّمَا يُرِيدُ (١٠٧)
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap
apa yang Dia kehendaki. (TQS. Hud [11]: 107)
إِنَّمَآ أَمۡرُهُ ۥۤ إِذَآ أَرَادَ شَيۡـٴً۬ـا أَن يَقُولَ لَهُ ۥ كُن فَيَكُونُ (٨٢)
Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia
menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.
(TQS. Yasin [36]: 82)
وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ يَفۡعَلُ مَا يُرِيدُ (٢٥٣)
Akan tetapi Allah berbuat apa yang
dikehendaki-Nya. (TQS. al-Baqarah [2]: 253)
Seperti al-khaliq diambil dari pemisalan
ayat berikut ini. Firman Allah Swt:
ٱللَّهُ خَـٰلِقُ ڪُلِّ شَىۡءٍ۬ۖ (٦٢)
Allah menciptakan segala sesuatu. (TQS.
az-Zumar [39]: 62)
وَخَلَقَ ڪُلَّ شَىۡءٍ۬ فَقَدَّرَهُ ۥ تَقۡدِيرً۬ا (٢)
Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu,
dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (TQS. al-Furqan [25]:
2)
Sifat-sifat tersebut terdapat di dalam
al-Quran yang mulia. Juga dijumpai pula sifat-sifat yang lain, seperti
al-wahdaniyah, al-qidam dan lain-lain. Kaum Muslim di masa lalu tidak pernah
berselisih pendapat bahwa Allah itu satu dan bersifat azali lagi memiliki sifat
hayyun, qâdirun, samî’un, bashîrun, mutakallimun, ‘âlimun serta murîdun.
Lalu datang para mutakallimin yang
menyebarkan pemikiranpemikiran filsafat. Maka muncul perselisihan pendapat di
kalangan para mutakallimin tentang sifat-sifat Allah tadi. Kelompok mu’tazilah
berkata, bahwa zat Allah dan sifat-sifatNya itu satu. Allah bersifat ‘âlimun,
hayyun dan qâdirun itu pada zat-Nya, jadi ilmu, qudrah dan hayat bukanlah tambahan
pada zatNya, sebab jika ‘âlimun dengan ilmu dianggap sebagai tambahan pada
zat-Nya, dan hayyun dengan hayat sebagai tambahan pada zat-Nya, berarti
keadaannya sama dengan manusia.
(Yaitu) mesti ada sifat dan mausuf (sesuatu
yang disifati), juga hâmil (yang membawa) dan ahmûl (sesuatu yang dibawa). Hal
semacam ini merupakan kondisi (yang bersifat) jasmani (fisik). Maha suci Allah dari
(sifat) penjasmanian. Seandainya kami mengatakan setiap sifat itu berdiri
dengan sendirinya sungguh yang kekal itu akan berbilang (qudama). Dengan
ungkapan lain akan terdapat banyak Tuhan.
Sementara itu (kelompok) ahli sunnah
berkata, Allah Swt memiliki sifat-sifat azaliyah yang bersatu dengan zat-Nya,
yaitu (bukan Dia dan bukan selainNya). Keberadaan-Nya memiliki sifat-sifat,
maka mengapa harus ditetapkan bahwa Allah itu ‘âlimun, hayyun, qâdirun dan
seterusnya. Dan telah diketahui bahwa masing-masing dari ilmu, hayat, qudrah
dan yang semisalnya, menunjukkan pengertian (adanya) tambahan terhadap mafhum
al-wajibul wujud (wajib keberadaannya). Semua itu bukan kalimat sinonim. Jadi,
tidak mungkin terjadi seperti yang dikatakan oleh kelompok mu’tazilah, bahwa
Dia itu ‘alimun la ilma lahu (‘alim tetapi tidak memiliki ilmu), dan qadirun la
qudrata lahu (qadir tidak memiliki kekuasaan atau kemampuan) dan lain-lain sebagainya.
Hal seperti itu mustahil ada. Itu sama saja dengan mengatakan bahwa warna hitam
tetapi tidak ada hitamnya. Nash-nash telah menerangkan tentang ketetapan ilmu,
qudrah-Nya dan lain-lain. Dan hal itu telah ditunjukkan oleh hasil perbuatan
yang mutqinah (tepat) atas keberadaan ilmu dan qudrah-Nya. Bukan sekedar
dinamakan alim (berilmu) dan qadir (berkuasa) saja. Keberadaan sifat Allah yang
azali, berarti tidak mustahil melakukan berbagai peristiwa dengan zat-Nya yang
Mahatinggi. Sifatnya yang qadim dan azali tidak mungkin melakukan sebuah
peristiwa saja. Mengenai keberadaan sifat-sifat-Nya yang menyatu dengan zat-Nya
yang Maha tinggi maka hal itu merupakan bagian terpenting yang secara pasti
harus ada, karena tidak ada maknanya mensifati sesuatu kecuali apa yang ia
lakukan. Tidak ada makna (keberadaanNya) sebagai ‘aliman dengan melakukan sifat
terhadap perkara yang sudah diketahui. Tetapi makna (keberadaanNya) sebagai
‘aliman berar ti menguasai sifat mengetahui. Adapun keberadaan sifat (bukan Dia
dan bukan selain-Nya) berarti sifat-sifat Allah bukanlah zat-Nya itu sendiri,
karena akal memastikan bahwa sifat bukanlah mausuf (yang disifati). Artinya,
sifat tersebut merupakan makna tambahan pada zat. Hal itu merupakan sifat bagi
Allah sehingga bukan selain Allah. Ia bukanlah sesuatu, bukan pula berupa zat
ataupun benda, melainkan sifat bagi zat. Keberadaannya bukanlah zat Allah, bukan
pula selain Allah, ia merupakan sifat bagi Allah.
Tentang perkataan kelompok mu’tazilah,
seandainya dijadikan seluruh sifat berdiri tegak dengan sendirinya maka yang
kekal itu akan berbilang (qudama). Pernyataan semacam ini (bisa diterima) jika keberadaan
sifat itu sebagai zat. Kalau keberadaannya sebagai sifat bagi zat yang qadim
(terdahulu) maka tidak akan menjadikan zat tersebut berbilang. Boleh saja
sifat-sifat itu berbilang bagi satu zat, lagi pula yang demikian itu tidak
menghilangkan sifat wahdaniyah dan tidak akan terjadi politheisme (banyak
tuhan). Karena itu ahli sunnah menetapkan -secara akal- bahwa Allah memiliki
sifat-sifat yaitu selain zat-Nya dan bukan yang selain-Nya, karena sifat
bukanlah mausuf (yang disifatkan), dan ia tidak terpisah dari mausuf. Kemudian
ahli sunnah menjelaskan makna setiap sifat-sifat azali. Mereka berkata bahwa
sifat ilmu adalah sifat azali yang mampu menyingkap seluruh ma’lumat ketika
sifat itu berhubungan dengan ma’lumat tadi. Begitu pula sifat qudrah adalah
sifat azali yang berpengaruh dalam segala hal yang dapat dikuasai ketika sifat
qudrah ini berhubungan dengan hal yang dikuasainya tadi. Sifat hayat adalah
sifat azali yang mengharuskan kelayakan yang hidup. Sifat qudrah merupakan kekuatan.
Sifat mendengar (as-sam’u) adalah sifat azali yang berhubungan dengan segala
yang didengar. Sifat melihat (al-bashar) adalah sifat azali yang berhubungan
dengan segala yang dilihat. Berdasarkan sifat-sifat tersebut Allah mampu
mengetahui secara sempurna, bukan melalui jalan khayalan ataupun persangkaan,
bahkan bukan berdasarkan jalan yang dipengaruhi oleh perasaan maupun hawa
nafsu. Iradah dan masyiah, keduanya adalah ungkapan tentang sifat yang terdapat
pada hayyun (yang hidup), yang mengharuskan pengkhususan salah satu yang dikuasai
di dalam satu waktu untuk melakukan kejadian dengan kadar kemampuan terhadap
keseluruhan yang merata. Sifat kalam adalah sifat azali yang telah diungkapkan
secara teratur, dikenal dengan al-Quran. Allah Swt berbicara/berkata-kata
dengan kalam. Ia merupakan sifat bagi-Nya dan azali, bukan dari jenis
huruf-huruf maupun suara-suara. Yaitu sifat yang berlawanan dengan sukut (diam)
atau afat (wabah/bahaya). Allah Swt berkata-kata dengan sifat-Nya sebagai ‘amirun
(yang memerintah), nahin (yang melarang), mukhbirun (pemberi khabar). Atas
seluruh (sifat) ‘amirun, nahin dan mukhbirun mendapati makna dari dirinya,
kemudian ia akan menunjuk kearahnya.
Itulah penjelasan ahli sunnah tentang
sifat-sifat Allah, setelah mereka menetapkan bahwa Allah memiliki sifat-sifat
azaliyah. Namun kelompok mu’tazilah mengingkari keberadaan makna-makna ini bagi
sifat-sifat Allah, karena mereka (mu’tazilah) menegasikan bagi Allah memiliki
sifat-sifat (yang merupakan) tambahan bagi zat-Nya. Mereka berpendapat apabila
dipastikan bahwa Allah itu qadir, ‘alim, muhith (Maha Meliputi Segalanya), maka
zat Allah dan sifat-sifat-Nya tidak bisa diikuti oleh perubahan, karena
perubahan itu merupakan sifat baharu (muhdats). Mahasuci Allah dari sifat-sifat
baharu. Apabila keberadaan sesuatu itu dijadikan setelah (sebelumnya) tidak
ada, dan meniadakan sesuatu setelah keberadaannya, dan qudrah serta iradah Allah
menguasai hal itu -sehingga qudrah dan iradah-Nya (mampu) menjadikan sesuatu
dari ketiadaannya dan meniadakannya setelah sesuatu itu ada- maka bagaimana
qudrah ketuhanan yang bersifat qadim berhubungan dengan sesuatu yang baharu
(muhdats) hingga qudrah tersebut dapat mengadakannya? Dan mengapa qudrah
tersebut mengadakannya pada saat ini, bukan pada saat lainnya dan bukan pada
masa pertama? Qudrah yang secara langsung berjalan terhadap sesuatu setelah
sebelumnya tidak berhubungan secara langsung dengan sesuatu tadi, menunjukkan
adanya perubahan pada qudrah. Padahal sudah pasti bahwa Allah tidak diikuti
oleh perubahan. Keadaan-Nya adalah qadim dan azali. Begitu pula pernyataan
tentang iradah. Contoh seperti itu dikatakan juga tentang ilmu. Ilmu adalah
mengungkap sesuatu yang ma’lum (diketahui) atas apa yang ada. Sementara ma’lum (yang
diketahui) tersebut dapat berubah dari waktu ke waktu. Daun pepohonan yang
jatuh berguguran setelah keberadaan (sebelum)nya tidak berguguran. Tanah yang
lembab berubah menjadi tanah yang kering. Kehidupan berubah menjadi kematian.
Ilmu Allah mampu menyingkap sesuatu berdasarkan penyandaran pada ilmu-Nya, sehingga
Dia Mahamengetahui sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi. Dia Mahamengetahui
sesuatu bahwa keberadaannya itu benar-benar ada, dan Mahamengetahui sesuatu
bahwa keberadaannya itu benar-benar tidak ada. Maka bagaimana ilmu Allah mengalami
perubahan disebabkan (adanya) perubahan terhadap segala sesuatu yang ada? Ilmu
yang mengalami perubahan yang disebabkan oleh (adanya) perubahan tentang
berbagai kejadian adalah ilmu yang bersifat baharu (muhdats). Dan Allah Swt
tidak melakukan sesuatu yang muhdats, karena setiap hal yang berhubungan dengan
sesuatu yang baharu berarti ia juga bersifat baharu (muhdats).
Pernyataan ini telah ditentang oleh kelompok
ahli sunnah yang berkata bahwa qudrah memiliki dua ta’alluq (hubungan), yaitu
azali yang tidak menghasilkan adanya al-maqdur (kemampuan) secara nyata, dan
ta‘alluq hadits (hubungan yang bersifat baharu-pen) yang menghasilkan adanya
al-maqdur secara nyata. Qudrah tersebut berhubungan dengan sesuatu hingga ia
dapat mewujudkannya.
Qudrah itu telah ada sebelum terjadi
hubungannya dengan sesuatu. Hubungannya dalam mewujudkan sesuatu itu tidak
membuat qudrah tersebut menjadi baharu. Dan hubungannya secara langsung
terhadap sesuatu setelah tidak adanya hubungan tersebut, bukan berarti terjadi perubahan
pada qudrah. Jadi, qudrah adalah qudrah itu sendiri. Ia tidak mengalami
perubahan, tetap berhubungan dengan sesuatu sekaligus mewujudkannya.
Al-maqdurlah yang mengalami perubahan, sedangkan qudrah tidak berubah. Mengenai
ilmu, maka segala sesuatu yang mungkin berhubungan dengan ilmu adalah ma’lum
(sesuatu yang diketahui) secara nyata. Yang sesuai dengan ‘alimiyah (sifat kemahatahuan)
adalah zat-Nya Swt,. Dan yang sesuai dengan ma’lumiyah (sifat yang diketahui)
adalah zat-zat segala sesuatu. Maka hubungan zat dengan keseluruhan zat itu
sama saja. Ilmu tidak berubah sesuai dengan zat. Yang berubah hanyalah aspek
penambahannya. Dan ini boleh-boleh saja. Yang mustahil adalah perubahan ilmu
itu sendiri dan sifat-sifat yang qadim, seperti qudrah, ilmu dan lainnya. Jadi,
tidak mesti sifat-sifat itu qadim sehingga hubungannya harus bersifat qadim
pula. Walhasil, bahwa zat yang bersifat qadim berhubungan dengan zat-zat yang
bersifat baharu (muhdats).
Begitulah polemik itu berkecamuk antara
kelompok mutakallimin mu’tazilah di satu sisi dengan kelompok ahli sunnah di sisi
lain tentang sifat-sifat Allah. Sama seperti (polemik mereka pada) masalah
lain, seperti qadla dan qadar. Anehnya ruang lingkup perdebatan yang dikobarkan
oleh para mutakallimin sama seperti yang telah dikobarkan oleh para filosof
Yunani sebelumnya. Para filosof Yunani mengobarkan ruang lingkup tentang
masalah sifat-sifat al-Khaliq, sehingga muncul kelompok mu’tazilah yang
menjawab tentang masalah itu. Meskipun demikian jawaban mereka masih dalam
batas-batas keimanan mereka kepada Allah, dan masih dalam koridor pendapat-pendapat
yang bertumpu pada tauhid. Lalu muncul kelompok ahli sunnah yang menentang
pendapat mereka, untuk mengurangi tekanan filsafat Yunani, dan dibalik apa yang
menjadi teori yang bersifat hipotetis maupun premis-premis yang bersifat mantiq
(logika). Merekapun terjatuh ke dalam perangkap yang sama dengan kelompok
mu’tazilah sehingga kelompok mu’tazilah menentang pendapat mereka (para ahli
sunnah). Mereka menjadikan akal sebagai asas/landasan dalam berdiskusi dan
berpolemik tentang perkara-perkara yang bisa dijangkau dan yang tidak bisa
dijangkau oleh akal, mengenai hal yang dapat diindera dan yang tidak dapat
diindera oleh manusia. Mereka menjadikan ayat-ayat dan hadits-hadits sebagai
pendukung pendapatnya. Mereka mentakwil dalil ayat-ayat dan hadits-hadits yang berbeda
dengan arah pendapat mereka. Dengan demikian seluruh kelompok mutakallimin baik
itu kalangan mu’tazilah, ahli sunnah maupun lainnya sama-sama men-jadikan akal
sebagai asas/landasan. Dan menjadikan ayat-ayat Allah sebagai pendukung arah
pandangan akal, atau ayat-ayat tersebut ditakwilkan agar dapat dipahami sesuai dengan
pandangan akal orang yang memahami diantara mereka.
Yang menghantarkan para mutakallimin hingga
bersikap seperti ini terkait dengan dua perkara berikut:
Pertama, mereka tidak mengetahui definisi
tentang akal.
Kedua, mereka tidak bisa membedakan antara
metode al-Quran dalam memahami berbagai hakekat,
dengan metode para filosofdalam memahami hakekat.
Ketidaktahuan mereka tentang definisi akal
tampak jelas dari definisi mereka mengenai akal. Telah diriwayatkan bahwa
mereka mengatakan: ‘akal adalah kekuatan di dalam jiwa atau daya pemahaman’. Ini
merupakan makna dari perkataan mereka ‘watak/instink yang disertai oleh ilmu
mengenai perkara-perkara yang dianggap penting disaat seluruh perangkatnya
benar’. Mereka juga mengatakan: ‘akal adalah jauhar (inti) yang dapat
mengetahui segala perkara ghaib melalui berbagai perantara atau mengetahui
segala hal yang dapat disaksikan melalui musyahadah (penginderaan)’. Mereka
juga mengatakan: ‘akal adalah jiwa itu sendiri’. Barangsiapa yang pemahamannya tentang
akal sesuai dengan pemahaman di atas maka bukan hal yang mengherankan jika
dirinya dijuluki dengan kebebasan, sehingga ia menyusun suatu teori terhadap
berbagai premis yang ada, lalu melahirkan kesimpulan yang sebenarnya tidak
pernah ada. Ia mengatakan tentang dirinya sendiri bahwa ia mengetahui
kesimpulan ini berdasarkan akal. Berdasarkan hal ini pembahasan yang bersifat aqli
pada mereka tidak memiliki batasan tertentu. (Bagi mereka) seluruh topik layak
dibahas, hingga sampai pada beberapa kesimpulan dan itu dinamakan sebagai
pembahasan yang bersifat aqli. Begitupun kesimpulannya bersifat aqli. Tidak
mengherankan jika kelompokmu’tazilah mengatakan, bahwa ta’alluq qudrah Allah
yang azali dengan al-maqdur yang bersifat baharu menjadikan sifat qudrah
sebagai sesuatu yang baharu pula. Mereka menganggap bahwa hal itu adalah pembahasan
yang bersifat aqli dan kesimpulannya pun bersifat aqli pula. Sementara ahli
sunnah berkata -pada saat itu- bahwa ta’alluq qudrah Allah dengan al-maqdur
tidak menjadikan qudrah itu mengalami perubahan, dan tidak menjadikannya
sesuatu yang baharu, karena yang membuat qudrah menjadi baharu adalah perubahan
qudrah itu sendiri, bukan perubahan al-maqdur. Mereka juga menganggap bahwa hal
itu merupakan pembahasan yang bersifat aqli, dan kesimpulannya pun bersifat
aqli. Sebab, akal menurut mereka adalah an-nafsu (jiwa) atau watak atau instink
yang disertai dengan ilmu mengenai hal-hal yang dianggap perlu. Jadi, ia
membahas tentang segala sesuatu. Kalau mereka mengetahui makna akal yang
sebenarnya tentu mereka tidak akan terlibat dalam pembahasan hipotetis yang
terlalu menduga-duga. Lagi pula seluruh kesimpulan yang dihasilkannya tidak
bersifat praktis, dan hanya (berasal) dari sesuatu yang dihasilkan (dikaitkan
dengan) sesuatu yang lain lalu hal itu disebut dengan hakekat yang bersifat aqliyah.
Dewasa ini pengertian tentang akal sudah
kita peroleh penjelasannya, sehingga kita dapat mengetahui bahwa jika segala
sesuatu yang ada tidak memadai untuk dibahas secara akal, maka tidak mungkin kita
namakan pembahasannya bersifat aqliyah, dan hal itu tidak mengizinkan kita
untuk membahasnya. Kita telah mengetahui bahwa definisi akal adalah:
‘perpindahan fakta melalui perantaraan indera menuju otak dan disertai dengan
ma’lumat sabiqah (informasi-informasi terdahulu) yang akan menafsirkan fakta
tersebut’. Jadi, pembahasan yang bersifat aqliy harus ada empat macam, yaitu: pertama
adalah otak, kedua adalah indera, ketiga adalah fakta, dan yang keempat adalah
ma’lumat sabiqah yang berhubungan dengan fakta tersebut. Jika satu unsur saja
dari empat perkara tadi tidak ada maka tidak mungkin terjadi pembahasan yang
bersifat aqliy secara mutlak, meski dimungkinkan adanya pembahasan yang
bersifat mantiqi (bersifat logika), dan mungkin pula adanya pembahasan yang
bersifat khayal atau angan-angan. Semua ini tidak ada nilainya sama sekali
karena hal itu tidak berada di bawah pemahaman akal, atau sumbernya tidak berada
dalam cakupan pemahaman akal. Karena tidak adanya pengetahuan para mutakallimin
tentang pengertian akal, maka mereka disebut sebagai kelompok bebas pada
seluruh pembahasan yang tidak tercakup di dalam indera, atau mereka tidak
memiliki ma’lumat sabiqah yang berkaitan dengan (segala sesuatu).
Para mutakallimin tidak mampu membedakan
antara metode al-Quran dengan metode para filosof mengenai pembahasan yang bersifat
aqliyah. Al-Quran membahas tentang ketuhanan, dan para filosof juga membahas
tentang ketuhanan. Pembahasan para filosof tentang ketuhanan menganalisis wujud
yang mutlak dan apa-apa yang harus ada (dikehendaki) pada zatnya (tuhan).
Mereka tidak membahas tentang alam semesta. Mereka malah membahas perkara yang
ada di balik alam semesta. Mereka menyusun bukti-bukti (argumentasi) yang dimulai
dengan premis-premis, hingga (dari susunan bukti-bukti tersebut) sampai pada
suatu kesimpulan. Dari kesimpulan ini mereka susun lagi dengan kesimpulan
lainnya hingga menjadi kesimpulan-kesimpulan baru. Begitulah seterusnya hingga
mereka sampai pada hal-hal yang dianggapnya sebagai hakekat tentang suatu zat
dan apa yang dikehendaki oleh zat tersebut. Mereka berbeda-beda dalam menghasilkan
kesimpulan yang telah dicapainya. Jalan yang mereka tempuh dalam pembahasan
hanya satu, yaitu apa yang ada di balik alam semesta. Lalu mereka mengukuhkan
setiap argumentasi yang dihasilkannya, baik itu bertumpu pada asumsi-asumsi
sebuah teori, atau berdasarkan argumentasi yang lain, yang sampai pada kesimpulan-kesimpulan
yang dianggap oleh mereka sebagai kesimpulan yang qath’i dan harus diyakini.
Metode pembahasan semacam ini bertentangan
dengan metode al-Quran, karena al-Quran hanya membahas tentang alam semesta, mengenai
benda-benda yang telah ada, tentang bumi, matahari, bulan, bintang, binatang,
manusia, segala makhluk melata, unta, gunung dan lain-lain yang termasuk
perkara yang dapat diindera. Dari situ mampu menjadikan seseorang sadar tentang
adanya Pencipta alam semesta, adanya Pencipta segala yang ada, Pencipta
matahari, unta, gunung, manusia dan lain-lain sebagainya yang diperoleh melalui
penginderaannya terhadap segala sesuatu yang ada. Tatkala membahas hal-hal yang
ada di balik alam semesta -yang tidak dapat diindera dan tidak dapat dijangkau melalui
segala sesuatu yang ada-, maka al-Quran mensifatinya sebagai fakta atau
menetapkannya sebagai suatu fenomena seraya memerintahkan (manusia) untuk
mengimaninya dengan perintah yang pasti. Dan al-Quran tidak memerintahkan untuk
mengalihkan pandangan manusia agar memikirkannya, demikian juga tidak
mengalihkan pandangan manusia kepada sesuatu hingga ia bisa memikirkannya
melalui sesuatu tadi. Seperti tentang sifat-sifat Allah,surga, neraka, jin,
syaitan dan yang semisalnya. Metode ini telah dipahami oleh para sahabat, dan
mereka berjalan sesuai metode tersebut. Mereka terjun di negerinya dengan
mengemban risalah Islam kepada manusia untuk membahagiakan mereka dengan
risalah Islam tadi, sebagaimana mereka memperoleh kebahagiaan dengan risalah tersebut.
Keadaan seperti ini tetap berlangsung hingga berakhirnya abad pertama. Lalu
pemikiran-pemikiran filsafat Yunani mulai menyusup hingga munculnya para
mutakallimin. Maka metode pembahasan yang bersifat aqliyah mengalami perubahan.
Setelah itu terjadi polemik mengenai zat Allah dan sifat-sifat-Nya. Bahkan
polemik tersebut makin menjadi-jadi, meski persoalan yang diperdebatkan tidak
tergolong pembahasan yang bersifat aqliyah sama sekali. Sebab, topik
pembahasannya mengenai sesuatu yang tidak tercakup dalam penginderaan, padahal
segala sesuatu yang tidak dapat diindera tidak memiliki ruang bagi akal untuk
membahasnya. Bagaimanapun, pembahasan tentang sifat-sifat Allah, apakah zat itu
sendiri ataupun bukan, sama saja dengan membahas tentang zat. Dan secara
prinsip pembahasan tentang zat itu dilarang, malah mustahil untuk dibahas.
Karena itu seluruh pembahasan para mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah
tidak pada tempatnya dan termasuk kesalahan yang harus diluruskan. Sifat-sifat
Allah bersifattauqifiyah (tidak bisa diganggu gugat). Apa yang terdapat dalam beberapa
nash yang bersifat qath’i –seperti yang telah kita sebutkan itulah (yang kita
pahami) apa adanya. Kita tidak boleh menambahkan satu sifat pun yang tidak
ditemukan di dalam nash. Dan kita tidak boleh menjelaskan satu sifat pun kalau
tidak terdapat (penjelasan tersebut) di dalam nash-nash yang qath’i.