Jumat, 28 Oktober 2016

Petunjuk dan Kesesatan

PETUNJUK
DAN KESESATAN


Petunjuk (al-huda) menurut bahasa sama dengan ar-rasyad (petunjuk) dan ad-dilalah (petunjuk). Orang sering mengatakan hudaahu liddin, yaitu dia menunjukkan kepada petunjuk, atau hadaituhu ath-thariiqi wa al-baiti hidaayatan ‘arraftuhu, yaitu aku menunjukinya jalan dan rumah sesuai dengan petunjuk yang telah aku ketahui. Sedangkan kesesatan (adl-dlalal) adalah kebalikan dari arrasyad (petunjuk). Hidayah menurut syara’ adalah mendapat petunjuk dari Islam dan beriman dengannya. Sementara dlalal menurut syara’ adalah melenceng dari Islam. Sabda Rasulullah saw:



Allah Swt menjadikan surga untuk orang-orang yang mendapat petunjuk, sedangkan neraka untuk orang-orang yang sesat. Artinya, Allah memberi pahala kepada orang-orang yang memperoleh petunjuk dan menyiksa orang-orang yang sesat. Jadi, dikaitkannya pemberian pahala dengan petunjuk atau siksa dengan kesesatan menunjukkan bahwa hidayah dan dlalal keduanya (berasal) dari perbuatan manusia, bukan dari Allah. Jika keduanya dari Allah maka Allah tidak akan memberikan pahala terhadap hidayah dan tidak memberikan siksa terhadap dlalal. Hal itu berakibat dinisbahkannya kedzaliman kepada Allah Swt, karena ketika Allah menyiksa orang yang melakukan kesesatan disebabkan penyesatan dari-Nya, berarti Dia telah mendzaliminya. Maha besar Allah serta Maha tinggi lagi mulia. Firma-Nya:
 وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّـٰمٍ۬ لِّلۡعَبِيدِ (٤٦)

Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya. (TQS. Fushshilat [41]: 46)
 وَمَآ أَنَا۟ بِظَلَّـٰمٍ۬ لِّلۡعَبِيدِ (٢٩)

Dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku. (TQS. Qaaf [50]: 29)

Hanya saja terdapat ayat-ayat yang menunjukkan penisbahan hidayah dan dlalal itu kepada Allah Swt, sehingga bisa dipahami dari ayat tersebut bahwa hidayah dan dlalal bukanlah dari hamba melainkan dari Allah Swt. Namun, ada pula ayat-ayat lain yang menunjukkan penisbahan hidayah dan dlalal itu kepada hamba (manusia) sehingga dapat dipahami bahwa hidayah dan dlalal adalah dari hamba. Karena (kenyataannya) demikian maka ayat-ayat yang pertama dan yang kedua harus dipahami dengan pemahaman yang syar’i. Yaitu harus dipahami realita penetapan yang telah disyari’atkan. Tampak jelas bahwa penisbahan hidayah dan dlalal kepada Allah Swt memiliki pengertian yang berbeda dengan pengertian penisbahan hidayah dan dlalal kepada hamba. Masing-masing dari keduanya menguasai sisi yang berbeda dengan sisi yang dikuasai oleh yang lain. Dengan demikian pengertian secara tasyri’ menjadi sangat jelas. Memang benar bahwa ayat-ayat yang menisbahkan hidayah dan dlalal kepada Allah sangat jelas. Allah-lah yang memberi hidayah dan kesesatan. Firman Allah:

قُلۡ إِنَّ ٱللَّهَ يُضِلُّ مَن يَشَآءُ وَيَہۡدِىٓ إِلَيۡهِ مَنۡ أَنَابَ (٢٧)

Katakanlah: ‘Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-Nya.’. (TQS. ar-Ra’d [13]: 27)

فَإِنَّ ٱللَّهَ يُضِلُّ مَن يَشَآءُ وَيَہۡدِى مَن يَشَآءُۖ

Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. (TQS. Faathir [35]: 8)

وَلَـٰكِن يُضِلُّ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِى مَن يَشَآءُ‌ۚ

Tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. (TQS. an-Nahl [16]: 93) 

فَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يَهۡدِيَهُ ۥ يَشۡرَحۡ صَدۡرَهُ ۥ لِلۡإِسۡلَـٰمِ‌ۖ وَمَن يُرِدۡ أَن يُضِلَّهُ ۥ يَجۡعَلۡ صَدۡرَهُ ۥ ضَيِّقًا حَرَجً۬ا ڪَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِى ٱلسَّمَآءِ‌ۚ

Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. (TQS. al-An’am [6]: 125) 

مَن يَشَإِ ٱللَّهُ يُضۡلِلۡهُ وَمَن يَشَأۡ يَجۡعَلۡهُ عَلَىٰ صِرَٲطٍ۬ مُّسۡتَقِيمٍ۬ (٣٩)

Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus. (TQS. al-An’am [6]: 39) 

قُلِ ٱللَّهُ يَہۡدِى لِلۡحَقِّ‌ۗ

Katakanlah: ‘Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran’. (TQS. Yunus [10]: 35) 

وَقَالُواْ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ ٱلَّذِى هَدَٮٰنَا لِهَـٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَہۡتَدِىَ لَوۡلَآ أَنۡ هَدَٮٰنَا ٱللَّهُ‌ۖ

Dan mereka berkata: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk’. (TQS. al-A’raf [7]: 43) 

مَن يَہۡدِ ٱللَّهُ فَهُوَ ٱلۡمُهۡتَدِ‌ۖ وَمَن يُضۡلِلۡ فَلَن تَجِدَ لَهُ ۥ وَلِيًّ۬ا مُّرۡشِدً۬ا (١٧)

Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk. Dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. (TQS. al-Kahfi [18]: 17) 

إِنَّكَ لَا تَہۡدِى مَنۡ أَحۡبَبۡتَ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ يَہۡدِى مَن يَشَآءُ‌ۚ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ (٥٦)

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. (TQS. al-Qashash [28]: 56)

Manthuq ayat-ayat ini memiliki penunjukkan yang jelas bahwa yang memberikan hidayah dan dlalal adalah Allah Swt, bukan hamba (manusia). Ini berarti bahwa seseorang tidak memperoleh hidayah dari dirinya, melainkan (jika) Allah memberinya hidayah maka ia mendapatkan hidayah. Dan jika Allah menyesatkannya maka ia (pasti) sesat. Meskipun demikian, manthuq (ayat-ayat) ini memiliki indikasi-indikasi yang memalingkan maknanya -dari menjadikan hidayah dan dlalal langsung dari Allah- kepada pengertian lain, yaitu bahwa penciptaan hidayah dan dlalal itu dari Allah. Dan yang secara langsung (mengakses) hidayah, dlalal dan idllal (penyesatan) adalah hamba. Indikasi-indikasi ini bersifat syar’i dan aqli. Secara syar’i terdapat banyak ayat yang menisbahkan hidayah, dlalal dan idllal itu kepada hamba. Allah berfirman: 

فَمَنِ ٱهۡتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَہۡتَدِى لِنَفۡسِهِۦ‌ۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيۡہَا‌ۖ وَمَآ أَنَا۟ عَلَيۡكُم بِوَڪِيلٍ۬ (١٠٨)

Sebab itu, barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu. (TQS. Yunus [10]: 108) 

لَا يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا ٱهۡتَدَيۡتُمۡ‌ۚ

Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. (TQS. al-Maidah [5]: 105)

فَمَنِ ٱهۡتَدَىٰ فَلِنَفۡسِهِۦ‌ۖ

Siapa yang mendapat petunjuk, maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri. (TQS. az-Zumar [39]: 41) 

وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡمُهۡتَدُونَ (١٥٧)

Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (TQS. al-Baqarah [2]: 157)

وَقَالَ ٱلَّذِينَ ڪَفَرُواْ رَبَّنَآ أَرِنَا ٱلَّذَيۡنِ أَضَلَّانَا مِنَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِ

Dan orang-orang kafir berkata: ‘Ya Tuhan kami perlihatkanlah kami dua jenis orang yang telah menyesatkan kami (yaitu) sebagian dari jin dan manusia’. (TQS. Fushshilat [41]: 29)

قُلۡ إِن ضَلَلۡتُ فَإِنَّمَآ أَضِلُّ عَلَىٰ نَفۡسِىۖ

Katakanlah: ‘Jika aku sesat maka sesungguhnya aku sesat atas kemudharatan diriku sendiri’. (TQS. Saba’ [34]: 50)

فَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّنِ ٱفۡتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ ڪَذِبً۬ا لِّيُضِلَّ ٱلنَّاسَ بِغَيۡرِ عِلۡمٍ‌ۗ

Maka siapakah yang lebih dzalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?. (TQS. al-An’am [6]: 144)

رَبَّنَا لِيُضِلُّواْ عَن سَبِيلِكَ‌ۖ

‘Ya Tuhan kami akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau’. (TQS. Yunus [10]: 88)

وَمَآ أَضَلَّنَآ إِلَّا ٱلۡمُجۡرِمُونَ (٩٩)

Dan tiadalah yang menyesatkan kami kecuali orang-orang yang berdosa. (TQS. asy-Syu’araa [26]: 99)

وَأَضَلَّهُمُ ٱلسَّامِرِىُّ (٨٥)

Dan mereka telah disesatkan oleh Samiri. (TQS. Thaahaa [20]: 85)

رَبَّنَا هَـٰٓؤُلَآءِ أَضَلُّونَا

Ya Tuhan kami mereka telah menyesatkan kami. (TQS. al-A’raf [7]: 38)

وَدَّت طَّآٮِٕفَةٌ۬ مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَـٰبِ لَوۡ يُضِلُّونَكُمۡ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّآ أَنفُسَهُمۡ

Segolongan dari Ahli Kitab ingin menyesatkan kamu, padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri. (TQS. Ali Imran [3]: 69)

إِنَّكَ إِن تَذَرۡهُمۡ يُضِلُّواْ عِبَادَكَ

Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu. (TQS. Nuh [71]: 27)

 مَن تَوَلَّاهُ فَأَنَّهُ ۥ يُضِلُّهُ ۥ وَيَہۡدِيهِ إِلَىٰ عَذَابِ ٱلسَّعِيرِ (٤)

Bahwa barangsiapa yang berkawan dengan dia, tentu dia akan menyesatkannya, dan membawanya ke azab neraka. (TQS. al-Hajj [22]: 4)

وَيُرِيدُ ٱلشَّيۡطَـٰنُ أَن يُضِلَّهُمۡ  (٦٠)

Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka. (TQS. an-Nisa [4]: 60)

Maka manthuq ayat-ayat ini memiliki penunjukan yang jelas bahwa manusialah yang melakukan hidayah dan dlalal sehingga dia menyesatkan dirinya dan orang lain, begitu pula syaitan yang juga menyesatkan. Jadi, terdapat penisbahan hidayah dan dlalal kepada manusia dan syaithan. Dan manusia memperoleh hidayah dan kesesatan dari dirinya. Ini merupakan indikasi yang menunjukkan bahwa penisbahan hidayah dan dlalal kepada Allah bukanlah penisbahan yang bersifat langsung, akan tetapi penisbahan (terhadap) penciptaan. Jika anda menyusun ayat-ayat dengan sebagian (ayat-ayat) yang lain dan memahaminya dengan pemahaman yang bersifat tasyri’, maka jelas bagi anda adanya pemalingan masing-masing ayat tersebut kepada sisi yang lainnya. Satu ayat menyatakan:


قُلِ ٱللَّهُ يَہۡدِى لِلۡحَقِّ‌ۗ

Katakanlah: ‘Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran’. (TQS. Yunus[10]: 35)

Maka ayat yang lain menyatakan:


فَمَنِ ٱهۡتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَہۡتَدِى لِنَفۡسِهِۦ‌ۖ

Sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. (TQS. Yunus [10]: 108)

Ayat yang pertama menunjukkan bahwa Allah yang memberi petunjuk, sedangkan ayat yang kedua menunjukkan bahwa manusialah yang mendapatkan petunjuk. Hidayah Allah pada ayat yang pertama adalah ‘penciptaan’ hidayah pada diri manusia maksudnya menjadikan kecenderungan untuk mendapatkan hidayah. Sementara pada ayat yang kedua menunjukkan bahwa manusialah yang menjadi pelaku secara langsung terhadap sesuatu yang diciptakan oleh Allah, berupa kecenderungan untuk mendapatkan hidayah sehingga hidayah diperoleh. Karena itu Allah berfirman dalam ayat yang lain:


وَهَدَيۡنَـٰهُ ٱلنَّجۡدَيۡنِ (١٠)

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (TQS. al-Balad [90]: 10)

Yaitu jalan kebaikan dan jalan kejahatan. Maksudnya, Kami menjadikan padanya kecenderungan untuk memperoleh hidayah dan Kami biarkan dia untuk memperolehnya sendiri. Ayat-ayat yang menisbahkan hidayah dan idllal kepada manusia merupakan indikasi syar’i yang menunjukkan pada pemalingan hidayah secara langsung dari Allah kepada hamba. Sedangkan qarinah (indikasi) yang bersifat aqli adalah bahwa Allah Swt menghisab manusia sehingga Allah memberikan pahala kepada orang yang memperoleh hidayah dan menyiksa orang yang berbuat sesat serta menghisab perbuatan-perbuatan manusia. Allah berfirman:


مَّنۡ عَمِلَ صَـٰلِحً۬ا فَلِنَفۡسِهِۦ‌ۖ وَمَنۡ أَسَآءَ فَعَلَيۡهَا‌ۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّـٰمٍ۬ لِّلۡعَبِيدِ (٤٦)

Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba (Nya). (TQS. Fushshilat [41]: 46)

فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرً۬ا يَرَهُ ۥ (٧) وَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ۬ شَرًّ۬ا يَرَهُ ۥ (٨)

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula. (TQS. al-Zalzalah [99]: 7-8)

وَمَن يَعۡمَلۡ مِنَ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَهُوَ مُؤۡمِنٌ۬ فَلَا يَخَافُ ظُلۡمً۬ا وَلَا هَضۡمً۬ا (١١٢)

Dan barangsiapa mengerjakan amal-amal yang saleh dan ia dalam keadaan beriman, maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil (terhadapnya) dan tidak (pula) akan pengurangan haknya. (TQS. Thaha [20]: 112)

مَن يَعۡمَلۡ سُوٓءً۬ا يُجۡزَ بِهِۦ

Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu. (TQS. an-Nisa [4]: 123

وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلۡمُنَـٰفِقِينَ وَٱلۡمُنَـٰفِقَـٰتِ وَٱلۡكُفَّارَ نَارَ جَهَنَّمَ خَـٰلِدِينَ فِيہَا‌ۚ

Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam. Mereka kekal di dalamnya. (TQS. at-Taubah [9]: 68)

Apabila pengertian hidayah dan idllal dinisbahkan kepada Allah secara langsung, maka siksa yang diberikannya kepada orang kafir, munafik dan pelaku maksiat merupakan kedzaliman. Maha besar dan Maha suci Allah atas yang demikian. Dengan demikian wajib memalingkan maknanya kepada hal yang tidak langsung, bahwa Allah menciptakan hidayah dari tidak ada dan memberikan taufik kepadanya. Maka yang melangsungkan hidayah dan idllal tersebut adalah hamba. Karena itu seluruh perbuatan manusia akan dihisab.

Ini adalah ayat-ayat yang didalamnya mengandung penisbahan hidayah dan idllal kepada Allah. Adapun ayat-ayat yang mengandung hubungan antara hidayah dan idllal dengan masyi-ah (kehendak) antara lain ayat-ayat:


يُضِلُّ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِى مَن يَشَآءُ‌ۚ

Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. (TQS. an-Nahl [16]: 93)

Pengertian masyi-ah disini adalah iradah (kehendak). Dan makna ayat itu adalah bahwa seseorang tidak memperoleh petunjuk dari Allah secara terpaksa dan tidak pula seseorang menjadi sesat secara terpaksa. Namun, orang yang mengharapkan hidayah (akan) mendapatkannya disebabkan kehendak Allah dan keinginan-Nya, begitu pula orang yang sesat (akan) disesatkan berdasarkan kehendak dan keinginan-Nya.

Sekarang tinggal ayat-ayat yang dipahami bahwa disana terdapat manusia-manusia yang tidak mendapatkan hidayah sama sekali. Contohnya firman Allah Swt:


إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَآءٌ عَلَيۡهِمۡ ءَأَنذَرۡتَهُمۡ أَمۡ لَمۡ تُنذِرۡهُمۡ لَا يُؤۡمِنُونَ (٦) خَتَمَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ وَعَلَىٰ سَمۡعِهِمۡ‌ۖ وَعَلَىٰٓ أَبۡصَـٰرِهِمۡ غِشَـٰوَةٌ۬‌ۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٌ۬ (٧)

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. (TQS. al-Baqarah [2]: 6-7)


كَلَّا‌ۖ بَلۡۜ رَانَ عَلَىٰ قُلُوبِہِم مَّا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ (١٤)

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. (TQS. al-Muthaffifin [83]: 14)

وَأُوحِىَ إِلَىٰ نُوحٍ أَنَّهُ ۥ لَن يُؤۡمِنَ مِن قَوۡمِكَ إِلَّا مَن قَدۡ ءَامَنَ

Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja). (TQS. Hud [11]: 36)

Ayat-ayat diatas adalah pemberitahuan dari Allah kepada para Nabi-Nya tentang sekelompok manusia tertentu yang tidak mau beriman. Hal ini termasuk dalam ilmu Allah. Jadi, bukan berarti maknanya bahwa di sana ada sekelompok orang yang beriman dan ada pula sekelompok orang yang tidak beriman, akan tetapi seluruh manusia memiliki kecenderungan untuk beriman. Rasul dan pengemban dakwah setelah beliau diseru agar mengajak manusia secara keseluruhan untuk beriman. Seorang muslim tidak boleh putus asa untuk mendapatkan keimanan seseorang secara mutlak. Adapun orang yang (telah diketahui) terdapat dalam ilmu Allah bahwa dia tidak beriman, maka Allah Maha mengetahuinya, karena ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Apapun yang belum diberitahukan kepada kita tentang apa yang Allah ketahui, maka kita tidak boleh mengambil keputusan. Maka para Nabi tidak menghukumi seseorang yang tidak beriman kecuali setelah dikabarkan oleh Allah tentang mereka mengenai hal tersebut.

Adapun firman Allah Swt:


وَٱللَّهُ لَا يَہۡدِى ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَـٰسِقِينَ (٥)

Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (TQS. ash-Shaff [61]: 5)

وَٱللَّهُ لَا يَہۡدِى ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّـٰلِمِينَ (٢٥٨)

Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (TQS. al-Baqarah [2]: 258)


وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِى ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡكَـٰفِرِينَ (٢٦٤)

Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (TQS. al-Baqarah [2]: 264)

إِن تَحۡرِصۡ عَلَىٰ هُدَٮٰهُمۡ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يَہۡدِى مَن يُضِلُّ‌ۖ

Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka dapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya. (TQS. an-Nahl [16]: 37)


إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَہۡدِى مَنۡ هُوَ مُسۡرِفٌ۬ كَذَّابٌ۬ (٢٨)

Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta. (TQS. al-Mukmin [40]: 28)


Ayat-ayat diatas memiliki arti tidak ada taufiq (persetujuan) bagi mereka dari Allah tentang hidayah, karena taufiq untuk memperoleh hidayah itu berasal dari Allah. Jadi, orang fasik, dzalim, kafir, sesat, suka berbohong, mereka semuanya memiliki sifat-sifat yang berlawanan dengan hidayah. Allah tidak memberikan hidayah kepada orang yang memiliki sifat-sifat ini, karena pemberian taufik hidayah disiapkan sebab-sebabnya oleh manusia. Barangsiapa yang memiliki sifat-sifat seperti ini, maka tidak dipersiapkan baginya sebab-sebab untuk meraih hidayah, melainkan (yang diraihnya) sebab-sebab kesesatan. Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Swt:

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٲطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ (٦)

Tunjukilah kami jalan yang lurus. (TQS. al-Fatihah [1]: 6)


وَٱهۡدِنَآ إِلَىٰ سَوَآءِ ٱلصِّرَٲطِ (٢٢)

Dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus. (TQS. Shad [38]: 22)

Maksudnya, mudahkanlah kami untuk memperoleh petunjuk, yakni lapangkanlah bagi kami sebab-sebab meraih hidayah.

Sabtu, 22 Oktober 2016

Al-Qadla dan Al-Qadar

AL-QADLA DAN AL-QADAR



Istilah al-qadla dan al-qadar yang terdiri dari gabungan dua kata secara bersamaan memiliki pengertian tertentu. Kata qadla yang dirangkai dengan qadar menjadikan keduanya dua perkara yang saling terkait dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Keduanya memiliki pengertian/penunjukan tertentu. Tidak sah jika dimasuki oleh yang lain. Kedua (istilah) itu belum pernah digunakan, baik oleh para sahabat maupun oleh sebagian tabi’in. Bagi orang yang mengamati nash-nash syara’ dan hal-hal yang berhubungan dengan bahasa, juga bagi yang mengamati perkataan para sahabat dan tabi’in serta orang-orang yang datang sesudahnya dari kalangan ulama, tampak bahwa kata qadla dan qadar secara bersamaan tidak pernah digunakan oleh mereka dengan pengertian tertentu. Terlebih lagi belum pernah muncul dua gabungan kata tadi dengan pengertian tertentu, baik didalam al-Quran maupun hadits. Meskipun demikian kedua gabungan kata tadi dijumpai maknanya secara bahasa. Telah dikeluarkan oleh al-Bazzar (berupa) hadits yang datang melalui sanad hasan, dari Nabi saw bersabda:



Oleh karenanya, pengertian istilah yang ditunjukkan oleh sebutan itu tidak dijumpai kecuali setelah munculnya mutakallimin pada ujung abad pertama dan setelah penterjemahan filsafat Yunani. Jadi, belum pernah ada pada zaman sahabat. Dan belum pernah terjadi perdebatan ataupun silang pendapat tentang dua kalimat tersebut sebagai satu nama untuk penyebutan istilah tertentu. Sepanjang masa para sahabat, kaum Muslim belum pernah membahas perkara qadla dan qadar meskipun kata qadla maupun qadar terdapat di dalam hadits-hadits. Begitu pula gabungan dua kata tadi terdapat dalam hadits seperti yang disebutkan di atas. Namun, semua itu mengandung pengertian bahasa bukan pengertian istilah. Kata qadla dijumpai pada bacaan qunut. Hasan berkata, Rasulullah saw telah memberitahukanku beberapa kata yang aku bacakan dalam qunut witir. Kemudian Rasul membacakan doa qunut, di antaranya: 



Maksudnya, peliharalah aku dari kejahatan yang Engkau tetapkan. Sesungguhnya Engkau maha menetapkan terhadap apa yang Engkau inginkan, dan tidak satupun yang bisa menetapkan atas-Mu. Terdapat pula kata qadar dalam hadits Jibril pada sebagian riwayat dimana Rasulullah bersabda: 



Kemudian dalam sabda beliau saw yang lain: 



Pengertian kata qadar dalam dua hadits di atas adalah ketentuan Allah dan kemahatahuan-Nya. Yakni engkau percaya bahwa segala sesuatu telah Allah tuliskan di lauhil mahfuz dan Dia maha mengetahuinya sebelum diwujudkan. Jika Allah menghendaki sesuatu maka Dia langsung lakukan. Kaum Muslim tidak berbeda pendapat dan tidak mendiskusikan kata qadla yang sesuai dengan pengertian yang terdapat dalam hadits ini maupun hadits-hadits, baik dari segi lafadznya maupun madlul (maksud)nya.

Kaum Muslim tidak pernah berbeda pendapat dan mendiskusikan kata qadar menurut pengertian yang terdapat dalam dua hadits tadi, baik dari segi lafadz maupun madlulnya, sebelum filsafat Yunani muncul ditengah-tengah mereka. Namun setelah filsafat Yunani berada di tengah-tengah kaum Muslim, datang sekelompok orang dari negeri Kufah. Mereka berkata: ‘Tidak ada qadar’. Artinya, tidak ada yang menentukan walaupun segala sesuatu terjadi (baharu) tanpa ada pendahulu yang menentukan. Mereka dinamakan dengan jama’ah qadariyah yang mengingkari ketentuan (qadar). Mereka berkata bahwa Allah telah menciptakan pokok pangkal segala sesuatu, kemudian meninggalkannya tanpa mengetahui rinciannya. Hal ini berbeda dengan apa yang terdapat di dalam (keterangan) al-Quran, yaitu Allah sebagai al-Khaliq, Pencipta segala sesuatu baik yang kecil ataupun yang besar, yang pokok ataupun rinciannya. Dialah Yang maha tinggi, menentukan segala sesuatu sebelum terwujud. Artinya telah tertulis di lauhil mahfuz, yakni maha mengetahui sebelum sesuatu itu diwujudkan.

Allah Swt berfirman:

وَخَلَقَ كُلَّ شَىۡءٍ۬‌ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيمٌ۬ (١٠١)

Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu. (TQS. al-An’am [6]: 101) 

هُوَ‌ۚ وَيَعۡلَمُ مَا فِى ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ‌ۚ وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعۡلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ۬ فِى ظُلُمَـٰتِ ٱلۡأَرۡضِ وَلَا رَطۡبٍ۬ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِى كِتَـٰبٍ۬ مُّبِينٍ۬ (٥٩)

Dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (lauhil mahfuz). (TQS. al-An’am [6]: 59)

Hanya saja, perselisihan pendapat dan polemik itu terjadi berkisar pada kata qadrullah dengan arti kemahatahuan Allah. Jama’ah qadariyah berpendapat bahwa Allah mengetahui pokok pangkal segala sesuatu tetapi tidak mengetahui rinciannya. Islam mengatakan bahwa Allah maha mengetahui asal segala sesuatu dan mengetahui pula rinciannya. Polemik tentang qadrullah atau (dengan kata lain) tentang kemahatahuan-Nya termasuk pembahasan mengenai ilmu Allah. Hal ini merupakan topik lain, bukan pembahasan mengenai qadla dan qadar. Pembahasan tersebut terpisah dari pembahasan qadla dan qadar. Kenyataannya memang seperti itu, artinya hal itu adalah pembahasan yang lain, bukan pembahasan tentang qadla dan qadar.

Dengan demikian tampak jelas bahwa dua kata (yaitu) qadla dan qadar masing-masing kata berdiri sendiri, dan masing-masing dari keduanya memiliki pengertian tertentu. Maka tidak ada hubungan pada keduanya dengan pembahasan qadla dan qadar. Kata qadla dan qadar dengan segala pengertiannya menurut bahasa dan syara’ sebagaimana yang telah disampaikan oleh Syari’ (Allah) tidak ada hubungannya sedikit pun dengan masing-masing dari dua kata tersebut, baik secara terpisah maupun secara bersama-sama dalam pembahasan qadla dan qadar. Cukuplah bagi keduanya merujuk pada apa yang telah ada menurut bahasa maupun secara syara’, berupa pengertian bagi masing-masing kata tersebut. 

Terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang ilmu Allah, ayat-ayat yang menunjukkan kedalaman ilmu Allah terhadap segala sesuatu. 
Allah Swt berfirman: 


مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِى ڪِتَـٰبٍ۬ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآ‌ۚ إِنَّ ذَٲلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ۬ (٢٢)

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauhil mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. (TQS. al-Hadid [57]: 22) 



قُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلَّا مَا ڪَتَبَ ٱللَّهُ لَنَا هُوَ مَوۡلَٮٰنَا‌ۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلۡيَتَوَڪَّلِ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ (٥١)

Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal. (TQS. at-Taubah [9]: 51) 



لَا يَعۡزُبُ عَنۡهُ مِثۡقَالُ ذَرَّةٍ۬ فِى ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَلَا فِى ٱلۡأَرۡضِ وَلَآ أَصۡغَرُ مِن ذَٲلِكَ وَلَآ أَڪۡبَرُ إِلَّا فِى ڪِتَـٰبٍ۬ مُّبِينٍ۬ (٣)

Tidak ada tersembunyi daripadaNya seberat zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (lauhil mahfuz). (TQS. Saba’ [34]: 3) 



وَهُوَ ٱلَّذِى يَتَوَفَّٮٰڪُم بِٱلَّيۡلِ وَيَعۡلَمُ مَا جَرَحۡتُم بِٱلنَّہَارِ ثُمَّ يَبۡعَثُڪُمۡ فِيهِ لِيُقۡضَىٰٓ أَجَلٌ۬ مُّسَمًّ۬ى‌ۖ ثُمَّ إِلَيۡهِ مَرۡجِعُكُمۡ ثُمَّ يُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ (٦٠)

Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan padasiang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan. (TQS. al-An’am [6]: 60)

Ayat-ayat tersebut telah diturunkan kepada Rasul dan dihafal oleh para sahabatnya. Mereka memahaminya dan tidak terlintas dalam benak mereka untuk melakukan pembahasan tentang qadla dan qadar. Lebih dari itu mantuq, mafhum, dan penunjukan ayat-ayat ini berbicara mengenai penjelasan tentang ilmu Allah. Jadi, tidak ada hubungannya dengan pembahasan qadla dan qadar. Begitu pula ayat:


وَإِن تُصِبۡهُمۡ حَسَنَةٌ۬ يَقُولُواْ هَـٰذِهِۦ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ‌ۖ وَإِن تُصِبۡهُمۡ سَيِّئَةٌ۬ يَقُولُواْ هَـٰذِهِۦ مِنۡ عِندِكَ‌ۚ قُلۡ كُلٌّ۬ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِ‌ۖ فَمَالِ هَـٰٓؤُلَآءِ ٱلۡقَوۡمِ لَا يَكَادُونَ يَفۡقَهُونَ حَدِيثً۬ا (٧٨)

Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: ‘Ini adalah dari sisi Allah’, dan kalau mereka ditimpa suatu bencana, mereka mengatakan: ‘Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)’. Katakanlah: ‘Semuanya (datang) dari sisi Allah’. Maka mengapa orang-orangitu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun. (TQS. an-Nisa [4]: 78)

Ayat ini tidak termasuk dalam pembahasan qadla dan qadar, karena ayat ini merupakan sebuah jawaban terhadap orang-orang kafir yang membedakan antara sayyi-ah (kejahatan) dan hasanah (kebaikan). Menurut mereka sayyi-ah itu dari Rasul dan hasanah dari Allah, sehingga Allah menolak perkataan mereka (dan mengatakan) bahwasanya semua itu adalah dari Allah. Permasalahannya bukan saja tentang kebaikan atau kejahatan yang dilakukan oleh manusia, akan tetapi juga tentang pertempuran dan kematian. Dan ayat itu sendiri serta ayat sebelumnya menerangkan hal tersebut: 


وَقَالُواْ رَبَّنَا لِمَ كَتَبۡتَ عَلَيۡنَا ٱلۡقِتَالَ لَوۡلَآ أَخَّرۡتَنَآ إِلَىٰٓ أَجَلٍ۬ قَرِيبٍ۬‌ۗ قُلۡ مَتَـٰعُ ٱلدُّنۡيَا قَلِيلٌ۬ وَٱلۡأَخِرَةُ خَيۡرٌ۬ لِّمَنِ ٱتَّقَىٰ وَلَا تُظۡلَمُونَ فَتِيلاً (٧٧) أَيۡنَمَا تَكُونُواْ يُدۡرِككُّمُ ٱلۡمَوۡتُ وَلَوۡ كُنتُمۡ فِى بُرُوجٍ۬ مُّشَيَّدَةٍ۬‌ۗ وَإِن تُصِبۡهُمۡ حَسَنَةٌ۬ يَقُولُواْ هَـٰذِهِۦ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ‌ۖ وَإِن تُصِبۡهُمۡ سَيِّئَةٌ۬ يَقُولُواْ هَـٰذِهِۦ مِنۡ عِندِكَ‌ۚ قُلۡ كُلٌّ۬ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِ‌ۖ فَمَالِ هَـٰٓؤُلَآءِ ٱلۡقَوۡمِ لَا يَكَادُونَ يَفۡقَهُونَ حَدِيثً۬ا (٧٨) مَّآ أَصَابَكَ مِنۡ حَسَنَةٍ۬ فَمِنَ ٱللَّهِ‌ۖ وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ۬ فَمِن نَّفۡسِكَ‌ۚ وَأَرۡسَلۡنَـٰكَ لِلنَّاسِ رَسُولاً۬‌ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَہِيدً۬ا (٧٩) مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَ‌ۖ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَآ أَرۡسَلۡنَـٰكَ عَلَيۡهِمۡ حَفِيظً۬ا (٨٠)

Mereka berkata: ‘Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?’ Katakanlah: ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun’. Dimana saja kamu berada kematian akan mendapatkan kamu, kendati kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: ‘Ini adalah dari sisi Allah’, dan kalau mereka ditimpa suatu bencana, mereka mengatakan: ‘Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)’. Katakanlah: ‘Semuanya (datang) dari sisi Allah’. Maka mengapa orang-orangitu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun. Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. Barangsiapa yang mentaati Rasul itu sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (TQS. an-Nisa [4]: 77-80)

Maka topiknya adalah apa yang menimpa mereka bukan apa yang dilakukannya. Jadi, hal ini tidak termasuk dalam pembahasan qadla dan qadar.

Dengan demikian maka seluruh perkara tadi tidak termasuk dalam pembahasan qadla dan qadar, tidak termasuk dalam pengertiannya, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan semua yang telah disinggung diatas. Makna qadla dan qadar itu berasal dari filsafat Yunani yang telah disampaikan oleh kelompok mu’tazilah. Merekalah yang menyampaikan pendapat-pendapatnya. Ahli sunnah dan jabariyah menolak pendapat mereka. Dan ahli sunnah juga menolak pendapat jabariyah. Pembahasannya terbatas pada makna itu sendiri, dan senantiasa berada pada satu ruang lingkup. Karena itu permasalahannya adalah makna yang terdapat/dimiliki filsafat Yunani, kemudian muncul ketika terjadi perdebatan antara kaum Muslim dengan orang-orang kafir yang membekali dirinya dengan filsafat Yunani. Makna ini berhubungan dengan akidah. Mereka bermaksud untuk memberikan pendapat Islam mengenai pengertian tersebut. Jadilah kelompok mu’tazilah memberikan pendapat. Kemudian kelompok jabariyah menolak pendapat mereka seraya mengeluarkan pendapat yang lain. Kelompok ahli sunnah menentang semuanya sambil memberikan pendapat yang berbeda pula. Mereka mengatakan bahwa ini adalah pendapat ketiga yang keluar dari dua pendapat diatas. Mereka mensifatinya dengan ungkapan, ‘pendapat ini keluar di antara kotoran dan darah, (berupa) susu yang murni lagi lezat bagi yang meminumnya’.

Berdasarkan hal itu maka pokok pembahasannya telah masyhur, yaitu topik yang datang dari filsafat Yunani. Karena pokok pembahasannya berhubungan dengan akidah maka wajib bagi seorang muslim untuk menjelaskan apa yang diyakininya dalam masalah ini. Lalu apa sebenarnya permasalahan tersebut? Kaum Muslim menjelaskan pendapat mereka secara praktis, dan pada diri mereka terdapat tiga mazhab. Tidak boleh mengembalikan permasalahan qadla dan qadar kepada sesuatu yang telah ada pengertiannya (tentang qadla dan qadar) menurut bahasa dan syara. Tidak boleh membuat ilusi dan membayangkan suatu pengertian yang diberikan dalam bentuk perumpamaan, bayangan atau khayalan dalam perkara qadla dan qadar, lalu dikatakan bahwa qadla adalah ketentuan yang bersifat menyeluruh dalam perkara-perkara kulliyat (global). Sedangkan qadar adalah ketentuan menyeluruh dalam perkara yang bersifat juz-iyat (rincian) dan cabang-cabangnya. Atau dikatakan bahwa qadar adalah rancangan yang bersifat azali terhadap segala sesuatu, sedangkan qadla adalah pelaksanaan dan penciptaan sesuai dengan ketentuan dan rancangan tadi. Memang benar… yang demikian itu tidak boleh, karena hal itu hanya sekedar khayalan, gambaran dan usaha untuk mencocok-cocokan penerapan sebagian lafadz-lafadz bahasa atau syara’. Usaha tersebut gagal karena tidak menunjukkan makna yang sebenarnya. Malah menunjukkan kepada makna-makna umum. Mentakhsis (mengkhususkan) yang umum tanpa ada sesuatu yang mentakhsisnya sama saja dengan berhukum tanpa dalil. Demikian juga tidak boleh dikatakan bahwa qadla dan qadar adalah rahasia diantara rahasia-rahasia Allah dan kita dilarang untuk membahasnya. Sebab tidak ada dalil syara’ yang menyatakan bahwa hal itu merupakan rahasia di antara rahasia-rahasia Allah. Ia merupakan topik yang bisa diindera yang harus diberikan sikap (pernyataan-pen). Jadi, bagaimanakah mungkin hal itu dikatakan tidak bisa dibahas?! Lebih dari itu ia merupakan pembahasan yang bersifat aqli. Lagi pula topik yang berhubungan dengan perkara yang dapat dibahas oleh akal -ditinjau dari segi keberadaannya- merupakan fakta yang dapat disaksikan. Lalu ditinjau dari segi kaitannya hal itu berhubungan dengan keimanan kepada Allah. Karena itu pembahasan mengenai qadla dan qadar harus dilakukan berdasarkan madlulnya (pengertiannya) yang telah diletakkan pada tempat pembahasannya. Maka jadilah sebagai bagian dari akidah.

Penunjukkan arti qadla dan qadar, atau dengan ungkapan lain permasalahan qadla dan qadar menyangkut seluruh perbuatan yang berhubungan dengan hamba (manusia) dan segala khasiat yang dimiliki oleh benda (sesuatu). Karena masalah yang ada memang menyangkut perbuatan-perbuatan hamba dan apa yang muncul dari perbuatan tersebut. Apakah khasiat-khasiat sesuatu (benda) yang ditimbulkan oleh (perbuatan) seorang hamba tadi Allah yang menciptakan dan mewujudkannya, ataukah dari hamba? Aliran mu’tazilah mengatakan bahwa hambalah yang menciptakan perbuatannya sendiri. Dialah yang menciptakan perbuatan dan mengadakannya. Mereka berselisih dalam masalah khasiat-khasiat. Sebagian ada yang mengatakan bahwa hamba yang menciptakan seluruh khasiat yang ditimbulkan oleh manusia, dan dia pula yang mewujudkannya. Sementara sebagian lainnya membedakan antara khasiat-khasiat dengan khasiat-khasiat yang lain. Yakni sebagian khasiat diciptakan oleh manusia pada benda (sesuatu) kemudian mewujudkannya, dan sebagian khasiat lain diciptakan oleh Allah pada benda (sesuatu) kemudian mewujudkannya. Sedangkan aliran jabariyah mengatakan bahwa Allah menciptakan segala perbuatan manusia termasuk seluruh khasiat-khasiat yang ditimbulkan oleh manusia pada benda. Dia pula yang mewujudkannya. Hamba tidak turut campur dalam penciptaan perbuatan maupun dalam mewujudkannya, termasuk pada penciptaan khasiat, sekalipun pada suatu benda. Ahli sunnah berkata bahwa perbuatan-perbuatan hamba dan khasiat-khasiat yang ditimbulkan oleh hamba pada suatu benda diciptakan oleh Allah, akan tetapi mereka mengatakan bahwa Allah menciptakannya ketika seorang hamba melakukan perbuatan itu dan ketika seorang hamba menciptakan khasiat pada benda tersebut. Jadi, Allah menciptakannya ketika adanya (munculnya) qudrah dan iradah pada hamba, bukan berdasarkan qudrah dan iradahnya hamba.

Inilah masalah qadla dan qadar, termasuk kesimpulan dari berbagai pendapat yang ada di dalamnya. Orang yang mendalami masalah ini akan menjumpai keharusan untuk mengetahui asas yang membangunnya agar pembahasannya berada pada alur (ruang lingkup)nya sehingga menghasilkan hasil yang diinginkan, bukan hanya sekadar hasil. Asas (dasar) pembahasan qadla dan qadar bukan menyangkut perbuatan hamba dari segi apakah dia yang menciptakannya atau Allah. Bukan pula tentang iradah Allah Swt yang berhubungan dengan perbuatan hamba, sehingga perbuatan tersebut harus terwujud berdasarkan iradah tadi. Juga tidak terkait dengan ilmu Allah Swt dari sisi bahwa Dia mengetahui seorang hamba akan melakukan sesuatu (perbuatan) sehingga ilmu-Nya mencakup segala hal yang akan dilakukan seorang hamba. Dasar pembahasan qadla dan qadar bukan tentang keberadaan perbuatan seorang hamba yang telah tertulis di lauhil mahfuz sehingga dia harus melakukannya sesuai dengan apa yang telah tertulis. Memang benar, perkara-perkara tadi bukanlah asas (dasar) dalam pembahasan qadla dan qadar, karena tidak ada hubungannya pembahasan ini jika ditinjau (dikait-kaitkan) dengan pahala dan siksa. Hubungannya hanya dari sisi mengadakan (mewujudkan) dari tidak ada; dari segi iradah yang terkait dengan seluruh kemungkinan-kemungkinan; dan dari sisi ilmu (Allah) yang mencakup segala sesuatu serta kandungan atas segala hal yang tertulis di lauhil mahfuz. Hubungan-hubungan ini merupakan topik-topik yang berbeda, terlepas (berbeda) dengan pembahasan pahala dan siksa yang dilakukan seseorang. Topik pembahasan yang dibangun oleh qadla dan qadar adalah masalah pahala dan siksa atas perbuatan hamba.Yakni, apakah seorang hamba terikat harus melakukan perbuatan baik atau buruk, ataukah mempunyai pilihan terhadapnya? Apakah ia memiliki pilihan (ikhtiar) untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya, ataukah tidak mempunyai pilihan? Orang yang mendalami perbuatan-perbuatan manusia akan melihat bahwa manusia itu hidup di dalam dua daerah. Yang pertama adalah manusia (memiliki) kekuasaan atasnya. Di dalam daerah ini manusia mampu menjangkau tindakan-tindakannya, dan di dalam jangkauannya itu terdapat perbuatan-perbuatan yang dilakukannya semata-mata berdasarkan pilihannya. Yang kedua adalah daerah yang menguasai manusia. Manusia berada di dalam ruang lingkupnya Di dalam daerah ini terdapat perbuatan-perbuatan yang manusia tidak memiliki peran di dalamnya, baik yang terjadi padanya atau yang menimpanya.

Perbuatan-perbuatan yang ada di dalam lingkaran yang menguasainya. Manusia tidak turut campur didalamnya dan tidak ada urusannya dengan keberadaannya. Daerah ini terdiri dari dua macam. Pertama, bagian yang ditentukan secara langsung oleh nidzamul wujud. Kedua, bagian yang tidak ditentukan secara langsung oleh nidzamul wujud, meskipun segala sesuatu tidak keluar dari nidzamul wujud. Sesuatu yang ditentukan secara langsung oleh nidzamul wujud (mau tidak mau) harus tunduk kepadanya. Karena itu ia dipaksa berjalan sesuai dengan nidzamul wujud. Ia berjalan bersama-sama alam semesta dan kehidupan sesuai dengan peraturan tertentu yang tidak pernah dilanggar. Perbuatan-perbuatan yang termasuk di dalam daerah ini terjadi bukan karena keinginan (manusia)nya. Manusia (di dalam daerah ini–pen) dipaksa ikut bukan (diberikan) pilihan. Contohnya, manusia datang (lahir) ke dunia ini bukan karena kehendaknya, dan akan meninggalkannya juga bukan atas kehendaknya. Manusia dengan badannya tidak mampu terbang di udara, tidak dapat berjalan diatas air secara normal, tidak bisa menciptakan untuk dirinya warna kedua matanya, tidak dapat merubah bentuk kepalanya maupun bentuk tubuhnya. Yang menjadikan semua itu adalah Allah Swt tanpa ada pengaruh atau hubungan apapun dari hamba yang diciptakan. Sebab, Allahlah yang menciptakan nidzamul wujud, menjadikannya sebagai pengatur terhadap segala hal yang ada, dan menjadikan sesuatu yang ada berjalan sesuai dengan aturan tersebut dan hal itu tidak bisa dilanggar. Adapun bagian kedua yaitu perbuatan-perbuatan yang tidak termasuk dalam kekuasaannya, tidak ada kemampuan bagi manusia untuk menolaknya, akan tetapi tidak ditentukan oleh nidzamul wujud. Yaitu mencakup perbuatan-perbuatan yang berasal dari manusia atau menimpa manusia begitu saja (secara paksa) dan manusia sama sekali tidak mampu menolaknya. Misalnya, jika seseorang jatuh dari atas tembok lalu menimpa orang lain sehingga orang itu mati, atau seseorang yang menembak burung lalu mengenai seseorang tanpa diketahuinya hingga mati. Begitu juga misalnya kereta api atau mobil yang menabrak, atau pesawat terbang yang jatuh karena kerusakan mendadak yang tidak mungkin dihindarinya. Tabrakan mobil atau jatuhnya pesawat tadi berakibat meninggalnya para penumpang. Dan contoh-contoh lain yang semisalnya. Perbuatan-perbuatan yang muncul dari manusia atau yang menimpa manusia, jika tidak termasuk yang ditentukan oleh nidzamul wujud namun bukan berdasarkan keinginannya dan bukan dalam lingkup kemampuannya, maka hal itu termasuk ke dalam daerah yang menguasai manusia. Seluruh perbuatan yang tercakup di dalam daerah yang menguasai manusia ini disebut dengan qadla, karena Allah Swt yang menentukan perbuatan (tersebut). Lagi pula tidak terdapat kebebasan berkehendak bagi hamba dalam perbuatan tersebut, bahkan ia tidak memiliki pilihan apapun. Karena itu Allah tidak menghisab seorang hamba atas perbuatan-perbuatan tadi, apapun manfaat atau mudaratnya, disukai atau tidak disukai oleh manusia, dan bagaimanapun kebaikan dan keburukan yang ada di dalamnya –sesuai dengan penafsiran manusia- meskipun hanya Allah yang mengetahui keburukan dan kebaikan atas perbuatan-perbuatan tadi. Manusia tidak memiliki pengaruh atas perbuatan tersebut, tidak mengetahui tentang perbuatan itu termasuk cara pengadaannya. Bahkan manusia sama sekali tidak mampu mengelak atau menyongsongnya. Dengan demikian maka manusia tidak diberi pahala dan tidak disiksa atas kejadian-kejadian tersebut. Inilah yang disebut dengan qadla. Orang menyebut bahwa kejadian (perbuatan) itu adalah qadla. Manusia harus mengimani qadla, yaitu berasal dari Allah.

Sedangkan perbuatan-perbuatan yang ada di dalam daerah yang dikuasai manusia, adalah lingkaran dimana manusia berjalan berdasarkan pilihannya sesuai dengan peraturan yang dipilihnya, yakni syariat Allah atau selain syariat Allah. Di dalam daerah inilah terdapat perbuatan-perbuatan yang berasal dari manusia atau yang menimpanya berdasarkan pada kehendak manusia. Manusia berjalan, makan, minum, bepergian, kapanpun dapat dilakukannya (sesuai keinginannya). Juga manusia mampu meninggalkannya kapanpun dikehendakinya. Manusia (dapat) membakar dengan api, memotong dengan pisau (kapan pun diinginkannya). Manusia memenuhi kebutuhan nalurinya, kebutuhan untuk memiliki (sesuatu) atau kebutuhan terhadap makanannya kapanpun ia inginkan. Dia melakukannya berdasarkan pilihannya, dan meninggalkan perbuatan tersebut sesuai juga dengan pilihannya. Karena itu manusia akan ditanya tentang perbuatan yang dilakukannya yang tergolong dalam daerah ini. Dan manusia akan diberi pahala jika (melakukan) perbuatan yang memang layak mendapatkan pahala, dan akan disiksa jika (melakukan) perbuatan yang memang layak mendapatkan siksa.

Perbuatan-perbuatan ini tidak ada hubungannya dengan qadla. Begitu pun sebaliknya. Sebab, manusia melakukannya berdasarkan keinginan dan pilihannya. Dengan demikian maka perbuatan-perbuatan yang bersifat ikhtiariyah tidak termasuk dalam kategori qadla.

Adapun qadar adalah, bahwa perbuatan-perbuatan (kejadian) yang muncul baik di dalam daerah yang dikuasai manusia maupun daerah yang menguasainya terjadi dari sesuatu dan atas sesuatu, berupa materi alam semesta, manusia dan kehidupan. Perbuatan-perbuatan tersebut menimbulkan pengaruh. Artinya, dari perbuatan tadi muncul perkara lain, yaitu apakah yang ditimbulkan manusia atas sesuatu berupa khasiat-khasiat itu diciptakan oleh manusia atau Allah Swt yang menciptakan khasiat-khasiat tadi seperti halnya menciptakan sesuatu? Orang yang mendalami akan menjumpai bahwa perkara-perkara yang terjadi pada sesuatu berasal dari khasiat-khasiat sesuatu, bukan dari perbuatan manusia. Alasannya manusia tidak mampu mengadakannya kecuali pada sesuatu yang sudah ada khasiatnya. Sementara, pada sesuatu yang tidak ada khasiatnya manusia tidak mungkin mampu mewujudkan apa yang dia inginkan. Dengan demikian perkara-perkara tersebut bukan berasal dari perbuatan manusia melainkan berasal dari khasiat-khasiat sesuatu. Allah Swt telah menciptakan sesuatu dan menentukan padanya khasiat-khasiat dalam bentuk yang telah ditentukan padanya. Misalnya, penentuan bibit kurma yang tumbuh dari biji itu kurma, bukan apel. Juga penentuan bahwa sperma manusia akan menjadi manusia, bukan binatang. Allah telah menciptakan bagi sesuatu itu khasiat-khasiat yang khas. Allah menciptakan pada api khasiat membakar, pada kayu khasiat untuk terbakar dan pada pisau khasiat untuk memotong. Dan menjadikan (khasiat-khasiat) itu suatu kepastian sesuai dengan nidzamul wujud yang tidak pernah menyimpang. Jika tampak penyimpangan berarti Allah telah mencabut khasiat tersebut. Ini merupakan perkara yang menyalahi adat, yang terjadi pada para Nabi dan menjadi mu’jizat bagi mereka. Allah menciptakan pada sesuatu khasiat-khasiat, begitu pula Allah menciptakan pada manusia gharizah (naluri) dan hajatul udluwiyah (kebutuhan jasmani). Padanya diberikan khasiat-khasiat tertentu seperti halnya khasiat-khasiat sesuatu. Maka diciptakan dalam gharizah annau khasiat berupa kecenderungan pada lain jenis, diciptakan pada gharizah al-baqa khasiat berupa ingin memiliki. Pada hajatul udluwiyah terdapat khasiat berupa rasa lapar. Khasiat-khasiat ini dijadikan sebagai suatu kepastian mengikuti sunnatul wujud. Khasiat-khasiat yang diciptakan Allah Swt pada sesuatu, pada gharizah dan hajatul udluwiyah yang ada pada manusia, inilah yang disebut dengan qadar. Karena hanya Allah yang menciptakan segala sesuatu, gharizah-gharizah, hajatul udluwiyah dan menentukan padanya khasiat-khasiatnya. Tatkala muncul syahwat pada seseorang, melihat ketika membuka mata, batu dilemparkan dan melayang keatas tatkala dilemparkan keatas, dan kebawah ketika dilemparkan kebawah, semua itu bukan dari perbuatan manusia, melainkan dari perbuatan Allah. Artinya, Allah memaksa sesuatu untuk demikian. Allah yang menciptakannya dan menciptakan padanya khasiat-khasiat tertentu. Itu semuanya dari Allah bukan dari hamba. Manusia tidak memiliki peran dan pengaruh sedikitpun sama sekali. Inilah (yang dinamakan) qadar. Dan yang disebut dengan qadar dalam pembahasan tentang qadla dan qadar adalah khasiat segala sesuatu yang ditimbulkan oleh manusia. Manusia harus percaya bahwa yang menentukan khasiat-khasiat segala sesuatu hanyalah Allah Swt.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa qadla dan qadar adalah perbuatan hamba yang terdapat di dalam daerah yang menguasainya dan seluruh khasiat yang ditimbulkan pada sesuatu. Pengertian iman terhadap qadla dan qadar -baik dan buruknya dari Allah Swt adalah percaya bahwa seluruh perbuatan manusia yang terjadi dengan cara paksa dan tidak dapat mengelak, kemudian khasiat yang ditimbulkan pada setiap sesuatu, itu adalah dari Allah Swt, bukan dari hamba (manusia) dan tidak ada campur tangan manusia didalamnya. Jadi, seluruh perbuatan yang bersifat ikhtiariyah berada di luar pembahasan qadla dan qadar, karena seluruh perbuatan yang terjadi pada manusia atau yang menimpanya itu dilakukan berdasarkan pilihan manusia. Sebab, Allah menciptakan manusia, menciptakan pula khasiat-khasiat pada sesuatu, pada gharizah dan hajatul udluwiyah. Kemudian Allah menciptakan untuk manusia itu akal yang bisa membedakan (mana yang baik dan mana yang buruk), diberikan kepadanya ikhtiar (pilihan) untuk melakukan perbuatan atau meninggalkannya atau tidak harus diperbuatnya ataupun meninggalkan sesuatu, dan tidak diwujudkan pada khasiat-khasiat segala sesuatu, gharizah dan hajatul udluwiyah itu sesuatu yang mengharuskan manusia untuk melaksanakan atau meninggalkannya. Dengan demikian manusia adalah orang yang memilih untuk melakukan perbuatan atau meninggalkannya berdasarkan pemberian Allah, berupa akal yang bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dijadikannya akal itu sebagai manath at-taklif asy-syar’i (sandaran pembebanan –hukum- syara). Berdasarkan hal ini maka diberikan kepadanya pahala atas perbuatan baik, karena akalnya memilih untuk melakukan perbuatan yang sesuai dengan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dan dijatuhkan siksa atas perbuatan buruk, karena akalnya memilih tindakan untuk menentang perintah Allah dan melakukan apa yang dilarang-Nya. Balasan terhadap perbuatan tersebut merupakan kebenaran dan keadilan, karena manusialah yang memilih pelaksanaannya, bukan dipaksa. Lagi pula perkara ini tidak ada urusannya dengan qadla dan qadar. Yang jadi perhatian disini adalah hamba (manusia)lah yang melakukan perbuatan itu sendiri berdasarkan pilihannya. Karena itu manusia dimintai tanggung jawabnya tentang kasb (usaha)nya. Allah berfirman:


كُلُّ نَفۡسِۭ بِمَا كَسَبَتۡ رَهِينَةٌ (٣٨)

Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. (TQS. al-Mudatstsir [74]: 38)

Selasa, 18 Oktober 2016

Al-Qadla

AL-QADLA



Di dalam bahasa terdapat kata qadla, yaqdli, dan qadla-anasysyai, artinya dia telah membuat sesuatu dengan segenap kesempurnaan dan ketentuannya. Wa qadla baina al-khashmaini, artinya telah menghukumi atau memutuskan, maka selesailah suatu perkara. Kata qadla terdapat di dalam beberapa ayat al-Quran. Allah Swt berfirman:

ڪَذَٲلِكِ ٱللَّهُ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُ‌ۚ إِذَا قَضَىٰٓ أَمۡرً۬ا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ ۥ كُن فَيَكُونُ (٤٧)

Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: ‘Jadilah’, lalu jadilah dia. (TQS. Ali Imran [3]: 47)

Maksudnya, apabila suatu perkara telah diputuskan maka perkara tersebut termasuk sesuatu yang tidak dihalang-halangi dan dirintangi.
Allah Swt berfirman:

هُوَ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن طِينٍ۬ ثُمَّ قَضَىٰٓ أَجَلاً۬‌ۖ

DialahYang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (ketentuanmu). (TQS. al-An’am [6]: 2)

Maksudnya, Allah menjadikan makhluk yang telah diciptakan dari tanah berupa ajal (tempo) antara kejadiannya dan kematiannya.
Allah Swt berfirman:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. (TQS. al-Isra [17]: 23)

Maksudnya, Allah memerintahkan suatu kewajiban (yaitu) agar kalian tidak menyembah selainNya.
Allah berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ۬ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُ ۥۤ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. (TQS. al-Ahzab [33]: 36)

Maksudnya, Allah memerintahkan suatu perkara dan memutuskan suatu hukum.
Allah berfirman:

فَقَضَٮٰهُنَّ سَبۡعَ سَمَـٰوَاتٍ۬

Maka Dia menjadikannya tujuh langit. (TQS. Fushshilat [41]: 12)

Maksudnya, Allah telah menciptakan langit dengan ketentuan-ketentuan di saat kejadiannya sebanyak tujuh lapis.
Allah Swt berfirman:

وَلَـٰكِن لِّيَقۡضِىَ ٱللَّهُ أَمۡرً۬ا ڪَانَ مَفۡعُولاً۬

(Allah mempertemukan dua pasukan itu) agar Dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan. (TQS. al-Anfal [8]: 42)

Maksudnya untuk menentukan suatu perkara yang keberadaannya wajib dilaksanakan.
Allah berfirman:

وَقُضِىَ ٱلۡأَمۡرُ‌ۚ

Dan diputuskanlah perkaranya. (TQS. al-Baqarah [2]: 210)

Maksudnya telah selesai suatu perkara, yaitu keruntuhan dan kehancuran mereka kemudian berakhir.
Allah berfirman:

لِيُقۡضَىٰٓ أَجَلٌ۬ مُّسَمًّ۬ى‌ۖ

Untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan. (TQS. al-An’am [6]: 60)

Maksudnya, menetapkan ajal yang telah ditentukan dan diputuskan hingga dibangkitkan kematian dan pembalasan terhadap segala perbuatan mereka.
Allah berfirman:

قُل لَّوۡ أَنَّ عِندِى مَا تَسۡتَعۡجِلُونَ بِهِۦ لَقُضِىَ ٱلۡأَمۡرُ بَيۡنِى وَبَيۡنَڪُمۡ‌ۗ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِٱلظَّـٰلِمِينَ (٥٨)

Katakanlah: “kalau sekiranya ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya, tentu telah diselesaikan Allah urusan yang ada antara aku dan kamu. (TQS. al-An’am [6]: 58)

Maksudnya, sungguh perkara itu telah berakhir dan Kuhancurkan kalian segera.
Allah berfirman:

وَكَانَ أَمۡرً۬ا مَّقۡضِيًّ۬ا

Dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan. (TQS. Maryam [19]: 21)

Maksudnya adalah sebuah perkara dan hukum yang di tetapkan Allah. Perkara tersebut telah ditetapkan keberadaannya, maksudnya adalah memang harus terjadi (dan tidak bisa ditolak) untukmu (Maryam), karena ia termasuk qadla Allah (keputusan Allah Swt). Allah telah berfirman:

كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتۡمً۬ا مَّقۡضِيًّ۬ا

Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. (TQS. Maryam [19]: 71)

Al-Hatmu asal katanya dari hatama al-amru, artinya suatu perkara yang diwajibkan dengan kewajiban yang pasti dan mengikat. Artinya, kedatangan mereka wajib bagi Allah. Allah mewajibkan atas diri-Nya dan memutuskannya sendiri. Dengan demikian kata qadla merupakan lafadz musytarakah yang memiliki beberapa pengertian. Di antaranya membuat sesuatu berdasarkan keputusan, menghendaki suatu perkara serta menjadikan sesuatu, menyuruh suatu perintah serta menyempurnakan perintah tersebut, kepastian diwujudkannya suatu perkara serta pastinya perkara tersebut, penyelesaian sebuah perkara serta ketetapan perkara tersebut, dan menetapkan suatu perintah yang pasti dilaksanakan.

Dari beberapa pengertian tadi tidak dijumpai bahwa qadla berarti hukum Allah pada perkara-perkara yang bersifat kulliyyat (global) saja. Juga tidak dijumpai pada perkara-perkara parsial (rinciannya). Oleh karena ini maka kata qadla mempunyai beberapa makna bahasa yang telah digunakan al-Quran. Dan tidak ada pertentangan mengenai makna-makna tersebut. Makna-makna diatas digunakan menurut lafadz bahasa. Jadi akal tidak turut campur didalamnya. Apabila ia memiliki makna syara’ maka makna tersebut harus terdapat di dalam ayat atau hadits sehingga bisa dikatakan bahwa pengertiannya bermakna syara’. Namun tidak dijumpai kecuali makna-makna tersebut. Dengan demikian maka maksud dari (kata) qadla yang terdapat di dalam berbagai ayat bukanlah (istilah dan pengertian) qadla dan qadar seperti diperselisihkan oleh mutakallimin, dan tidak ada hubungannya dengan pembahasan qadla dan qadar pada ayat-ayat tersebut. Juga tidak ada hubungannya dengan pembahasan qadla dan qadar pada ayat-ayat dan hadits-hadits yang memuat makna qadar. Sesungguhnya ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut membicarakan tentang sifat-sifat Allah dan segala perbuatan-Nya. Sedangkan qadla dan qadar membahas tentang perbuatan hamba. Ayat-ayat tersebut membahasnya secara syara’ dan pengertiannya (diambil) secara bahasa. Pembahasan qadla dan qadar di kalangan mutakallimin bersifat aqli. Ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut menafsirkannya berdasarkan makna bahasa atau syara. Sedangkan pembahasan qadla dan qadar memiliki makna istilah sebagaimana yang telah diletakkan oleh mutakallimin.