Jumat, 20 September 2019

Nabi-Nabi dan Rasul

NABI-NABI DAN RASUL


Nabi dan Rasul merupakan dua lafadz yang berbeda, akan tetapi bersatu dalam hubungannya dengan syara’. Perbedaannya adalah, bahwa Rasul merupakan orang yang diwahyukan kepadanya syariat dan diperintahkan untuk menyampaikannya. Sedangkan Nabi adalah orang yang diwahyukan kepadanya syariat yang telah dibawa oleh sebagian Rasul dan diperintahkan untuk menyampaikannya. Jadi, Rasul adalah orang yang diperintahkan untuk menyampaikan syariatnya sendiri. Sedangkan Nabi adalah orang yang diperintahkan untuk menyampaikan syariat (yang telah ada dan diwahyukan kepada Rasul sebelumnya-pen). Al-Qadli al-Baidlawi di dalam menafsirkan firman Allah Swt:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ۬ وَلَا نَبِىٍّ ... (٥٢)
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang Nabi. (TQS. al-Hajj [22]: 52)

berkata: ‘Rasul adalah orang yang diutus oleh Allah Swt dengan syariat yang baru untuk mengajak manusia kepadanya. Dan Nabi adalah orang yang diutus oleh Allah Swt untuk menyampaikan syariat yang sebelumnya’. Maka sayyidina Musa as adalah seorang Nabi karena diberikan kepadanya wahyu berupa syariat, dan beliau juga adalah Rasul karena syariat yang diwahyukan kepadanya adalah risalah baginya. Sedangkan sayyidina Harun as adalah seorang Nabi,karena beliau diberi wahyu berupa syariat. Namun beliau bukanlah Rasul karena syariat yang diwahyukan kepadanya untuk disampaikan kepada orang lain bukanlah risalah baginya melainkan risalahnya Musa as. Sayyidina Muhammad saw adalah Nabi, karena beliau adalah diberi wahyu berupa syariat. Beliau juga seorang Rasul, karena syariat yang diwahyukan kepadanya merupakan risalah baginya. Risalah merupakan mediasi/tali penghubung hamba antara Allah dengan hamba itu sendiri, untuk menjelaskan solusi-solusi yang diperlukan demi kemaslahatan dunia dan akhirat. Hikmah (Allah) mengharuskan diutusnya Rasul-rasul karena di dalamnya terdapat hukum (kebijaksanaan) dan kemaslahatan. Pengutusan para Rasul benar-benar telah terjadi. Allah telah mengutus para Rasul dari kalangan manusia kepada manusia dengan membawa kabar gembira bagi golongan yang beriman dan bertakwa, berupa surga dan pahala. Lalu memberikan peringatan kepada golongan kafir dan berbuat maksiat, berupa neraka dan azab yang pedih. Mereka menjelaskan kepada manusia apa saja yang diperlukannya berupa perkaraperkara dunia dan akhirat. Hal ini tidak memberi jalan bagi akal untuk menelusurinya, karena tidak adanya pengetahuan tentang manusia dan keadaan tentang dirinya sendiri. Allah telah menguatkan para Nabi dan Rasul dengan segala mukjizat yang luar biasa. Mukjizat adalah perkara yang nampak diluar kebiasaan melalui tangan-tangan yang mengaku dirinya sebagai Nabi, untuk menentang para pelaku munkar dengan melemahkan mereka untuk mendatangkan hal yang semisalnya. Jika hal ini tidak didukung dengan mukjizat, sungguh tidak wajib menerima perkataannya, dan tidak bisa dibedakan antara orang yang benar mengaku sebagai Rasul dengan orang yang berbohong. Dengan tampaknya mukjizat maka muncul kepastian akan kebenaran ke-Rasulannya bagi orang yang merasa puas dengan mukjizat tersebut, dan mukjizat tidak muncul (berasal) dari manusia.

Nabi yang pertama adalah Adam ‘alaihissalam, dan yang terakhir adalah Muhammad saw. Ke-Nabian Adam telah terbukti dengan al-Quran. Allah Swt berfirman: 

إِنَّ ٱللَّهَ ٱصۡطَفَىٰٓ ءَادَمَ وَنُوحً۬ا وَءَالَ إِبۡرَٲهِيمَ وَءَالَ عِمۡرَٲنَ عَلَى ٱلۡعَـٰلَمِينَ (٣٣)

Sesungguhnya Allah Telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing). (TQS Ali Imran [3]: 33)

وَعَصَىٰٓ ءَادَمُ رَبَّهُ ۥ فَغَوَىٰ (١٢١) ثُمَّ ٱجۡتَبَـٰهُ رَبُّهُ ۥ فَتَابَ عَلَيۡهِ وَهَدَىٰ (١٢٢)...

Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk. (TQS. Thaha [20]: 121-122)

Makna dari ijtibaahu pada ayat tersebut adalah Dia memilihnya. Selain itu juga al-Quran menunjukkan bahwa Allah memerintah Adam dan melarangnya. Allah Swt berfirman: 

وَقُلۡنَا يَـٰٓـَٔادَمُ ٱسۡكُنۡ أَنتَ وَزَوۡجُكَ ٱلۡجَنَّةَ وَكُلَا مِنۡهَا رَغَدًا حَيۡثُ شِئۡتُمَا وَلَا تَقۡرَبَا هَـٰذِهِ ٱلشَّجَرَةَ ... (٣٥)

Dan Kami berfirman: ‘Hai Adam diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini’. (TQS. al-Baqarah [2]: 35)

Ditambah lagi suatu kepastian bahwa pada zamannya tidak terdapat Nabi selain beliau. Beliau adalah seorang Nabi {yang diberitakan} melalui wahyu, bukan dengan yang lainnya. Nabi adalah orang yang diberi wahyu berupa syariat. Dan setiap perintah dan larangan merupakan syariat. Jadi hal ini telah diwahyukan kepadanya, maka dia adalah Nabi. Begitu pula tentang ke-Nabiannya telah ditetapkan di dalam Sunnah. Telah diriwayatkan dari Tirmidzi berupa hadits dari Abu Sa’id al-Khudri:

Begitu juga berdasarkan kesepakatan para sahabat bahwa Adam adalah seorang Nabi.

Adapun tentang ke-Nabian Muhammad saw, maka beliau menyebut dirinya sebagai Nabi dan menampakkan mukjizatnya. Pengakuan beliau mengenai ke-Nabiannya telah diketahui secara mutawatir, yang berarti kebenarannya pasti. Tentang penampakkan mukjizat, beliau menyampaikan kalam Allah Swt sekaligus menantang para bulagha’ (orang-orang yang terkenal fasih berbahasa Arab-pen) yang sempurna balaghahnya. Namun, mereka tidak mampu menandingi surat yang paling pendek (sekalipun) walau mereka berupaya keras menandinginya. Lalu mereka menentangnya dengan melontarkan kata-kata dan balaghah, padahal mereka orang yang ahli dalam masalah ini, hingga menentangnya dengan cara kekerasan dan pedang. Lagi pula tidak pernah sampai dari seorangpun di antara mereka –agar terpenuhi unsur penyampaian– bahwa mereka mampu mendatangkan sesuatu yang mendekatinya (al-Quran-pen). Hal ini menunjukkan dengan pasti bahwa al-Quran datang dari Allah Swt. Dan dapat diketahui melalui al-Quran kebenaran pengakuan Nabi Muhammad saw secara meyakinkan.

Bilangan para Nabi dan Rasul itu tidak diketahui, karena Allah Swt berfirman kepada Rasulullah saw:

وَلَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا رُسُلاً۬ مِّن قَبۡلِكَ مِنۡهُم مَّن قَصَصۡنَا عَلَيۡكَ ... (٧٨)
 Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.
(TQS. al-Mukmin [40]: 78)


Meskipun tentang bilangan (Nabi dan Rasul) diriwayatkan pada beberapa hadits, akan tetapi hadits-hadits yang menjelaskan bilangan para Nabi dan Rasul adalah khabar ahad, yang tidak diterima (hujjahnya) dalam masalah akidah. Andaikata khabar ahad itu memenuhi seluruh syarat yang disebutkan dalam ilmu hadits, hal itu tidak menunjukkan apapun kecuali dugaan saja (dzanni). Dan hal yang dzanni tidak diterima (hujjahnya) dalam masalah akidah. Karena itu hal yang datang dari mereka dibatasi oleh al-Quran al-Karim, karena bersifat qath’i (pasti). Selain itu tidak ada riwayat dari mereka tentang bilangan (Nabi dan Rasul) di dalam hadits mutawattir. Beberapa dari mereka disebutkan di dalam al-Quran. Allah Swt berfirman:

 وَتِلۡكَ حُجَّتُنَآ ءَاتَيۡنَـٰهَآ إِبۡرَٲهِيمَ عَلَىٰ قَوۡمِهِۦ‌ۚ نَرۡفَعُ دَرَجَـٰتٍ۬ مَّن نَّشَآءُ‌ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ۬ (٨٣) وَوَهَبۡنَا لَهُ ۥۤ إِسۡحَـٰقَ وَيَعۡقُوبَ‌ۚ ڪُلاًّ هَدَيۡنَا‌ۚ وَنُوحًا هَدَيۡنَا مِن قَبۡلُ‌ۖ وَمِن ذُرِّيَّتِهِۦ دَاوُ ۥدَ وَسُلَيۡمَـٰنَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَىٰ وَهَـٰرُونَ‌ۚ وَكَذَٲلِكَ نَجۡزِى ٱلۡمُحۡسِنِينَ (٨٤) وَزَكَرِيَّا وَيَحۡيَىٰ وَعِيسَىٰ وَإِلۡيَاسَ‌ۖ كُلٌّ۬ مِّنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ (٨٥) وَإِسۡمَـٰعِيلَ وَٱلۡيَسَعَ وَيُونُسَ وَلُوطً۬ا‌ۚ وَڪُلاًّ۬ فَضَّلۡنَا عَلَى ٱلۡعَـٰلَمِينَ (٨٦) وَمِنۡ ءَابَآٮِٕهِمۡ وَذُرِّيَّـٰتِہِمۡ وَإِخۡوَٲنِہِمۡ‌ۖ وَٱجۡتَبَيۡنَـٰهُمۡ وَهَدَيۡنَـٰهُمۡ إِلَىٰ صِرَٲطٍ۬ مُّسۡتَقِيمٍ۬ (٨٧) ذَٲلِكَ هُدَى ٱللَّهِ يَہۡدِى بِهِۦ مَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦ‌ۚ وَلَوۡ أَشۡرَكُواْ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ (٨٨) أُوْلَـٰٓٮِٕكَ ٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَـٰهُمُ ٱلۡكِتَـٰبَ وَٱلۡحُكۡمَ وَٱلنُّبُوَّةَ‌ۚ .. (٨٩)

Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Ya‘qub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik, dan Zakaria, Yahya, ‘Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh. dan Ismail, Alyasa‘, Yunus dan Luth. Masing-masingnya Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya), (dan Kami lebihkan pula derajat) sebagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka. Dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi Nabi-nabi dan Rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus. Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hambahamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. Mereka
itulah orang-orang yang telah kami berikan kepada mereka kitab, hikmat (pemahaman agama) dan kenabian. (TQS. al-An’aam [6]:83-89)

وَإِسۡمَـٰعِيلَ وَإِدۡرِيسَ وَذَا ٱلۡكِفۡلِ‌ۖ ڪُلٌّ۬ مِّنَ ٱلصَّـٰبِرِينَ (٨٥) وَأَدۡخَلۡنَـٰهُمۡ فِى رَحۡمَتِنَآ‌ۖ إِنَّهُم مِّنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ (٨٦)

 Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar. Kami telah memasukkan mereka ke dalam rahmat Kami. Sesungguhnya mereka termasuk orangorang
yang saleh. (TQS. al-Anbiya [21]: 85-86)


وَإِلَىٰ مَدۡيَنَ أَخَاهُمۡ شُعَيۡبً۬ا‌ۗ ... (٨٥)

 Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu‘aib. (TQS. al-A’raf [7]:85)

 وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمۡ صَـٰلِحً۬ا‌ۗ ... (٧٣)

 Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Shaleh. (TQS. al-A’raf [7]: 73)

  وَإِلَىٰ عَادٍ أَخَاهُمۡ هُودً۬ا‌ۗ ... (٦٥)

 Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. (TQS. al-A’raf [7]: 65)

 وَيَـٰٓـَٔادَمُ ٱسۡكُنۡ أَنتَ وَزَوۡجُكَ ٱلۡجَنَّةَ ... (١٩)

 (Dan Allah berfirman): ‘Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga. (TQS. al-A’raf [7]: 19)

 مُّحَمَّدٌ۬ رَّسُولُ ٱللَّهِ‌ۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُ ۥۤ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلۡكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيۡنَہُمۡ‌ۖ ... (٢٩)

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. (TQS. al-Fath [48]: 29)


Keberadaan seluruh Nabi dan Rasul adalah sebagai orang yang menyampaikan (wahyu) dari Allah Swt, karena inilah makna dari ke-Nabian dan ke-Rasulan. Selain itu juga sebagai penyampai kebenaran dan sebagai pemberi nasehat bagi manusia agar pengutusan dan risalahnya tidak menjadi sia-sia. Mereka ma’shum (terpelihara) dari berbuat bohong dan berbuat kesalahan didalam tabligh (penyampaian). Mereka juga terpelihara dari perilaku maksiat. Tidak ada berita tentang Nabi dan Rasul dalam dalil naqli yang qath’i --al-Quran maupun hadits mutawatir-- yang menyatakan adanya salah seorang di antara mereka melakukan kemaksiyatan setelah diutus menjadi nabi dan rasul. Kalaupun ada, semua berdasar pada hadits-hadits yang dzanni tsubut dan ayat-ayat yang dzanni dalalah. Sementara dalil dzanni tidak bisa dibenturkan dengan dalil aqli tentang ishmah (kemaksiyatan nabi).

Sedangkan berita dalam al-Quran tentang Adam AS yang memakan buah dari pohon yang dilarang allah, al itu tidak bertentangan dengan keharusan ishmah yang terpelihara pada penyampaian risalah kepada manusia di dunia. sebab peristiwa itu terjadi di surga yang hikmahnya hanya diketahui Allah Swt. Berarti itu merupakan topik lain. Perkara ishmah hanya berkaitan dengan risalah untuk manusia di atas bumi, di dunia.

Sabtu, 17 Agustus 2019

Filosof-filosof Muslim


FILOSOF-FILOSOF MUSLIM


Tatkala masalah filsafat yang berhubungan dengan (pembahasan) ketuhanan mulai masuk di tengah-tengah kaum Muslim, sebagian ulama di masa akhir periode Umawiy dan awal masa Abbasiy seperti Hasan al-Bashry, Ghailan ad-Dimasyqi dan Jahm bin Shafwan, mereka melemparkan masalah kalamiyah (perkataan para mutakallimin) yang berbeda-beda dan beraneka ragam. Sesudah mereka muncul para ulama yang mengetahui mantiq Aristoteles dan mereka mengkaji sendiri sebagian buku-buku filsafat yang telah diterjemahkan. Akibatnya pembahasan mengenai masalah kalamiyah meluas. Mereka mengkaji ilmu kalam yang telah dikenal. Mereka itu antara lain Washil bin Ata’, Amru bin Ubaid, Abu Huzail al-‘Allaf dan an-Nadham. Kajian yang mereka lakukan bukan kajian yang bersifat filsafat murni melainkan kajian tentang pemikiran-pemikiran filsafat secara luas, sehingga mereka menguasai berbagai macam aliran filsafat sekaligus pendapat masing-masing filosofnya, berupa wawasan (penguasaan) tentang permasalahan yang diamati, bukan tentang seluruh permasalahan. Mereka membatasi diri terhadap sebagian pembahasan filsafat karena mereka masih mengkaitkan diri mereka dengan keimanannya pada al-Quran. Karena itu mereka tidak keluar dari barisan (pemeluk) Islam. Mereka hanya memperluas pencarian dalil-dalil, dan menyebut diri mereka orang yang bebas dalam berargumentasi. Hal itu dilakukan untuk mengokohkan kekuatan iman dan untuk memelihara kemahasucian Allah Swt. Jadi, tidak terjadi pada diri mereka penyimpangan apapun dalam hal akidah meskipun yang diyakininya berbeda-beda. Mereka adalah orang Islam yang membela agamanya.

Sesudah masa para mutakallimin muncul orang-orang yang tidak menyebutkan jati diri mereka sebagai kelompok atau aliran. Mereka tidak memperoleh dukungan dari seorang muslimpun, kendati pembahasan dari orang-orang itu dianggap baik. Mereka adalah para filosof muslim yang datang di negeri-negeri Islam setelah zamannya para mutakallimin. Yang membuat mereka eksis di tengah-tengah kaum Muslim karena mereka dengan mudah mengkaji seluruh pemikiran filsafat dan buku-bukunya. Dan pembahasan ini amat digemari oleh manusia pada masa itu. Sebagian mereka mengembangkan seluasluasnya pemikiran-pemikiran filsafat tersebut, sehingga ada diantara mereka yang mempelajarinya secara mendalam dan luas di segala bidang, dalam seluruh (bentuk) pemikiran, mencakup segala visi yang mengarah pada filsafat sesuai dengan keuniversalannya. Lalu dicerna sesuai dengan parameter filsafat, dan dapat menunjangnya untuk berpikir menurut cara filsafat sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang bersifat filsafat. Kajian terhadap filsafat yang amat luas dan mendalam -terutama filsafat Yunani- di kalangan kaum Muslim memunculkan para filosof. Filosof muslim yang pertama adalah Ya’kub al-Kindi -wafat tahun 260 H- yang diikuti para filosof muslim lainnya. Dengan demikian para filosof muslim tidak muncul di negeri-negeri Islam kecuali setelah munculnya para mutakallimin, dan setelah metode para mutakallimin mendominasi (negeri-negeri Islam). Metode tersebut lalu menjadi obyek pembahasan, diskusi dan perdebatan sehingga filsafat menjadi tersohor di mata kebanyakan para mutakallimin maupun kalangan ulama. Sebelumnya tidak ada seorang muslimpun yang menjadi filosof. Akhirnya di negeri-negeri Islam dijumpai para mutakallimin dan para filosof dari kalangan para ulama. Hanya saja terdapat perbedaan antara para mutakallimin dengan para filosof. Mutakallimin adalah mereka yang menguasai sebagian pemikiranpemikiran filsafat. Sedangkan para filosof adalah ulama filsafat. Karena itu para filosof menganggap sebelah mata para mutakallimin. Para filosof berpendapat bahwa mutakallimin adalah ahlu safsathah (kelompok yang pandai memutarbalikkan fakta), tidak mengetahui hakekat filsafat dan kelompok yang senang berdebat. Sedangkan mereka (para filosof) adalah orang-orang yang membahas perkara-perkara yang secara logis masuk akal dengan pembahasan filsafat yang benar.

Masing-masing mutakallimin dan filosof membahas tentang ketuhanan. Namun terdapat perbedaan antara metode mutakallimin dengan metode para filosof. Perbedaan keduanya sebagai berikut :

  1. Bahwa para mutakallimin masih berpegang kepada landasanlandasan keimanan dan menyatakan kebenarannya serta mengimaninya. Mereka menjadikan dalil-dalilnya yang bersifat aqliyah untuk mengokohkan dasar-dasar keimanan. Mereka menyusun bukti-bukti berdasarkan keimanan tadi secara akal dengan buktibukti yang bersifat mantiq (logika). Mereka menjadikan pembahasan yang bersifat aqliyah dengan uslub yang bersifat mantiq untuk memperkuat akidah mereka, karena mereka beriman dengan dasar-dasar Islam yang pokok sehingga mereka menyusun bukti-bukti dan hujjah untuk membuktikan sesuatu yang mereka imani.
  2. Pembahasan mutakallimin terbatas dalam perkara yang berhubungan dengan pembelaan terhadap akidah mereka, dan menjatuhkan seluruh hujjah musuh-musuh mereka, baik dari kalangan kaum Muslim –meski mereka saling bertentangan dalam pemahaman seperti mu’tazilah, murjiah, syi’ah, khawarij dan lain-lain– atau non muslim seperti Nasrani, Yahudi, Majusi dan selain mereka. Meski yang paling menonjol dalam pembahasan mereka adalah kritik terhadap kaum Muslim yang berasal dari kalangan mutakallimin dan para filosof.
  3. Pembahasan mutakallimin adalah pembahasan yang Islami, meskipun terdapat silang pendapat dan kontradiksi. Itu semua dianggap sebagai pendapat-pendapat yang Islami. Setiap muslim yang mengambil salah satu pendapat-pendapat mereka dianggap mengambil pendapat yang Islami. Apa yang dianutnya dianggap sebagai akidah Islam.


Inilah metode para mutakallimin dan sudut pandangnya. Sedangkan metode filsafat dapat di ringkas sebagai berikut:

  1. Para filosof membahas topik hanya sekedar untuk dibahas saja. Metode pembahasan mereka dan sandarannya hanya memandang pada masalah-masalah sebagaimana yang ditunjukkan oleh buktibukti. Pandangan mereka tentang ketuhanan adalah keberadaannya bersifat mutlak dan hal-hal yang harus dimiliki (ada) pada zatnya (tuhan). Mereka mulai mengkaji sambil merenungkan apa yang dihasilkan melalui bukti-bukti, berjalan setapak demi setapak hingga sampai pada kesimpulan -apapun hasilnya- lalu mereka yakini. Inilah tujuan dan pilar dari filsafat. Pembahasan mereka hanya bersifat filsafat, tidak ada hubungannya dengan Islam, meski di beberapa topik tampak adanya hubungan. Mereka seringkali menerima pembahasan sesuatu yang bersifat sam’iyah yang tidak bisa menggunakan bukti-bukti secara akal untuk menunjukkan kebenaran ataupun kebatilannya, seperti tentang hari kebangkitan atau hari kiamat, tentang pengembalian jasad. Mereka sering memunculkan sebagian filsafat Yunani yang dipengaruhi oleh akidah Islam, dan mengeluarkan hukum dalam suatu persoalan berdasarkan akidah Islam. Mereka sering melakukan penyesuaian (kompromi) antara persoalan-persoalan filsafat dengan persoalanpersoalan Islam, meski hal ini bersifat sampingan dan muncul karena keberadaan mereka sebagai seorang muslim yang terpengaruh dengan Islam. Jadi, bukan karena aspek pemikirannya terpengaruh (dengan Islam) lalu dijadikan sebagai asas seperti yang dijumpai pada mutakallimin. Pengaruhnya amat kuat seperti terpengaruhnya para filosof kristen dengan kemasehiannya atau para filosof Yahudi dengan ke-Yahudiannya. Itupun pokok-pokok pemikiran yang amat mendasar tetap menyusup di tengah-tengah pembahasan, atau paling tidak mempengaruhinya. Asas yang mereka jadikan sebagai pijakan adalah wujud mutlak dan hal-hal yang harus (dimiliki) pada zatnya. Secara hakiki mereka sangat terpengaruh oleh filsafat Yunani. Pola pikir mereka dibentuk oleh filsafat Yunani, sehingga mereka menuliskan pemikiran-pemikiran filsafatnya setelah mereka matang dalam filsafat Yunani. Filsafat mereka tidak memiliki hubungan sedikitpun dengan Islam.
  2. Para filosof muslim tidak bersikap membela Islam. Sikap mereka terfokus pada penyampaian berbagai hakekat yang disertai dengan bukti-bukti. Mereka tidak terjun dalam polemik lalu menjawabnya dalam rangka membela Islam, meski kadangkala terpengaruh. Yang menjadi pokok adalah pembahasan yang bersifat aqliy. Itu menjadi topik utamanya dan tidak ada lagi pembahasan lain, kecuali itu.
  3. Pembahasan para filosof muslim bukan pembahasan yang Islami. Pembahasannya hanya filsafat saja dan tidak ada hubungannya dengan Islam, dan tidak ada tempat bagi Islam dalam pembahasannya. Karena itu (pandangan-pandangannya) tidak dianggap sebagai pendapat yang Islami dan bukan termasuk tsaqafah Islam.


Inilah perbedaan antara metode mutakallimin dengan metode para filosof muslim. Itulah fakta tentang filosof muslim. Merupakan tindakan yang dzalim dan bertentangan dengan fakta sekaligus penipuan terhadap Islam menamakan filsafat yang digeluti oleh orang semisal al-Kindiy, al-Farabiy, Ibnu Sina dan lainnya dari kalangan filosof muslim sebagai filsafat Islam. Karena tidak ada hubungannya dengan Islam, bahkan bertolak belakang dengan Islam secara total, baik ditinjau dari segi asasnya maupun kebanyakan dari rinciannya. Dilihat darisegi asasnya, filsafat ini membahas sesuatu (yang ada) di balik alam semesta, tentang wujud yang mutlak. Berbeda dengan Islam yang hanya membahas sesuatu yang ada di alam semesta dan apa yang dapat diindera saja, bahkan melarang membahas tentang zat Allah dan apapun yang ada di balik alam semesta. Islam memerintahkan untuk menerimanya secara mutlak. Kemudian berhenti pada batas tertentu seraya disuruh mengimaninya tanpa tambahan, dan tidak mengijinkan akal untuk berusaha membahasnya. Sedangkan dari sisi rinciannya, di dalam filsafat ini terdapat banyak pembahasan yang dipandang oleh Islam sebagai kekufuran. Diantaranya pembahasan yang mengatakan tentang qidamnya alam dan alam itu azali. Pembahasan yang menyatakan bahwa kenikmatan surga itu bersifat ruhani bukan bersifat fisik.
Pembahasan yang mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui hal yang bersifat juz-i (rincian) dan lain-lain, yang jelas-jelas dan pasti kufur menurut Islam. Jadi, bagaimana mungkin filsafat ini dikatakan sebagai filsafat Islam dengan hal-hal yang jelas-jelas kontradiktif?

Bagaimanapun di dalam Islam tidak terdapat filsafat, karena Islam membatasi pembahasan yang bersifat aqliyah mengenai perkaraperkara yang bisa diindera saja, dan mencegah akal untuk membahas perkara yang ada di balik alam semesta sehingga menjadikan seluruh pembahasannya jauh dari filsifat. Dengan demikian pembahasan tersebut berjalan bukan berdasarkan metode filsafat, dan berjalan tidak dengan metode filsafat. Bahkan tidak menjadikan Islam mengandung (kemungkinan) satupun pembahasan filsafat. Sehingga tidak ada (istilah) filsafat Islam. Di dalam Islam hanya dijumpai pembahasan tentang al-Quran yang mulia dan as-Sunnah an-Nabawiyah. Hanya dua perkara ini saja pokok (ajaran) Islam, baik tentang akidah maupun hukumhukumnya, tentang perintah, larangan dan ikhbar (pemberitaan).

Sifat-sifat Allah

SIFAT-SIFAT ALLAH

Sebelum munculnya para mutakallimin tidak dikenal permasalahan (pembahasan khusus-pen) tentang sifat-sifat Allah dan tidak pernah persoalan ini muncul dalam setiap pembahasan. Di dalam al-Quran dan hadits yang mulia tidak didapati kata mengenai sifat-sifat Allah, begitu juga tidak ada seorang sahabatpun yang menyebutkan kata-kata tentang sifat-sifat Allah atau membahas tentang sifat-sifat Allah. Apa yang telah dikatakan oleh para mutakallimin tentang sifat-sifat Allah yang –menurut mereka- terdapat dalam ayat-ayat al-Quran harus dipahami berdasarkan konteks firman Allah Swt:
   
سُبۡحَـٰنَ رَبِّكَ رَبِّ ٱلۡعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ (١٨٠)
Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. (TQS. ash-Shaaffat [37]: 180)

لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَىۡءٌ۬‌ۖ  (١١)  
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. (TQS. asy-Syura [42]: 11) 

لَّا تُدۡرِڪُهُ ٱلۡأَبۡصَـٰرُ (١٠٣) 
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata. (TQS. al-An’aam [6]: 103)
Pensifatan terhadap Allah harus diambil dari al-Quran saja. Seperti misalnya di dalam al-Quran terdapat kata al-ilmu, maka harus  iambil dari pemisalan ayat berikut ini. Firman Allah Swt:

۞ وَعِندَهُ ۥ مَفَاتِحُ ٱلۡغَيۡبِ لَا يَعۡلَمُهَآ إِلَّا هُوَ‌ۚ وَيَعۡلَمُ مَا فِى ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ‌ۚ وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعۡلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ۬ فِى ظُلُمَـٰتِ ٱلۡأَرۡضِ وَلَا رَطۡبٍ۬ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِى كِتَـٰبٍ۬ مُّبِينٍ۬ (٥٩) 
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib. Tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (lauhil mahfuz). (TQS. al-An’aam [6]: 59)
Seperti al-hayat diambil dari pemisalan ayat berikut ini. Firman Allah Swt:

ٱللَّهُ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡحَىُّ ٱلۡقَيُّومُ‌ۚ  (٢٥٥)  
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang  idup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). (TQS. al-Baqarah [2]: 255) 

   هُوَ ٱلۡحَىُّ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ  (٦٥)
Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. (TQS. al-Mukmin [40]: 65)
Seperti al-qudrah diambil dari pemisalan ayat berikut ini. Firman Allah Swt:
 قُلۡ هُوَ ٱلۡقَادِرُ عَلَىٰٓ أَن يَبۡعَثَ عَلَيۡكُمۡ عَذَابً۬ا مِّن فَوۡقِكُمۡ أَوۡ مِن تَحۡتِ أَرۡجُلِكُمۡ أَوۡ يَلۡبِسَكُمۡ  (٦٥)

Katakanlah: ‘Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan). (TQS. al-An’aam [6]: 65)
۞ أَوَلَمۡ يَرَوۡاْ أَنَّ ٱللَّهَ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضَ قَادِرٌ عَلَىٰٓ أَن يَخۡلُقَ مِثۡلَهُمۡ وَجَعَلَ لَهُمۡ أَجَلاً۬ لَّا رَيۡبَ فِيهِ فَأَبَى ٱلظَّـٰلِمُونَ إِلَّا كُفُورً۬ا (٩٩)

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwasanya Allah yang menciptakan langit dan bumi adalah kuasa (pula) menciptakan yang serupa dengan mereka. (TQS. al-Isra [17]: 99)
Seperti as-sam’u diambil dari pemisalan ayat berikut ini. Firman Allah Swt: 

إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ۬ (١٨١)  
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (TQS. al-Baqarah [2]: 181)

وَٱللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ۬ (٢٢٥)  
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (TQS. al-Baqarah [2]: 224)
Seperti al-bashar diambil dari pemisalan ayat berikut ini. Firman Allah Swt:

وَأَنَّ ٱللَّهَ سَمِيعُۢ بَصِيرٌ۬ (٦١)  
Dan bahwasanya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (TQS. al-Hajj [22]: 61)

وَڪَانَ رَبُّكَ بَصِيرً۬ا (٢٠)  
Dan adalah Tuhanmu Maha Melihat. (TQS. al-Furqan [25]: 20)

إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ (٢٠)  
Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (TQS. al-Mukmin [40]: 20)
Seperi al-kalam diambil dari pemisalan ayat berikut ini. Firman Allah Swt:

وَكَلَّمَ ٱللَّهُ مُوسَىٰ تَڪۡلِيمً۬ا (١٦٤)
Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (TQS. an-Nisa [4]: 164)

وَلَمَّا جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَـٰتِنَا وَكَلَّمَهُ ۥ رَبُّهُ ۥ  (١٤٣)
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya. (TQS. al-A’raaf [7]: 143)
Seperti al-iradah diambil dari pemisalan ayat berikut ini. Firman Allah Swt:

إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ۬ لِّمَا يُرِيدُ (١٠٧)
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. (TQS. Hud [11]: 107)

إِنَّمَآ أَمۡرُهُ ۥۤ إِذَآ أَرَادَ شَيۡـٴً۬ـا أَن يَقُولَ لَهُ ۥ كُن فَيَكُونُ (٨٢)
Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia. (TQS. Yasin [36]: 82)

وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ يَفۡعَلُ مَا يُرِيدُ (٢٥٣)
Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya. (TQS. al-Baqarah [2]: 253)
Seperti al-khaliq diambil dari pemisalan ayat berikut ini. Firman Allah Swt:

ٱللَّهُ خَـٰلِقُ ڪُلِّ شَىۡءٍ۬‌ۖ (٦٢)
Allah menciptakan segala sesuatu. (TQS. az-Zumar [39]: 62)

وَخَلَقَ ڪُلَّ شَىۡءٍ۬ فَقَدَّرَهُ ۥ تَقۡدِيرً۬ا (٢)
Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (TQS. al-Furqan [25]: 2)
Sifat-sifat tersebut terdapat di dalam al-Quran yang mulia. Juga dijumpai pula sifat-sifat yang lain, seperti al-wahdaniyah, al-qidam dan lain-lain. Kaum Muslim di masa lalu tidak pernah berselisih pendapat bahwa Allah itu satu dan bersifat azali lagi memiliki sifat hayyun, qâdirun, samî’un, bashîrun, mutakallimun, ‘âlimun serta murîdun.
Lalu datang para mutakallimin yang menyebarkan pemikiranpemikiran filsafat. Maka muncul perselisihan pendapat di kalangan para mutakallimin tentang sifat-sifat Allah tadi. Kelompok mu’tazilah berkata, bahwa zat Allah dan sifat-sifatNya itu satu. Allah bersifat ‘âlimun, hayyun dan qâdirun itu pada zat-Nya, jadi ilmu, qudrah dan hayat bukanlah tambahan pada zatNya, sebab jika ‘âlimun dengan ilmu dianggap sebagai tambahan pada zat-Nya, dan hayyun dengan hayat sebagai tambahan pada zat-Nya, berarti keadaannya sama dengan manusia.
(Yaitu) mesti ada sifat dan mausuf (sesuatu yang disifati), juga hâmil (yang membawa) dan ahmûl (sesuatu yang dibawa). Hal semacam ini merupakan kondisi (yang bersifat) jasmani (fisik). Maha suci Allah dari (sifat) penjasmanian. Seandainya kami mengatakan setiap sifat itu berdiri dengan sendirinya sungguh yang kekal itu akan berbilang (qudama). Dengan ungkapan lain akan terdapat banyak Tuhan.
Sementara itu (kelompok) ahli sunnah berkata, Allah Swt memiliki sifat-sifat azaliyah yang bersatu dengan zat-Nya, yaitu (bukan Dia dan bukan selainNya). Keberadaan-Nya memiliki sifat-sifat, maka mengapa harus ditetapkan bahwa Allah itu ‘âlimun, hayyun, qâdirun dan seterusnya. Dan telah diketahui bahwa masing-masing dari ilmu, hayat, qudrah dan yang semisalnya, menunjukkan pengertian (adanya) tambahan terhadap mafhum al-wajibul wujud (wajib keberadaannya). Semua itu bukan kalimat sinonim. Jadi, tidak mungkin terjadi seperti yang dikatakan oleh kelompok mu’tazilah, bahwa Dia itu ‘alimun la ilma lahu (‘alim tetapi tidak memiliki ilmu), dan qadirun la qudrata lahu (qadir tidak memiliki kekuasaan atau kemampuan) dan lain-lain sebagainya. Hal seperti itu mustahil ada. Itu sama saja dengan mengatakan bahwa warna hitam tetapi tidak ada hitamnya. Nash-nash telah menerangkan tentang ketetapan ilmu, qudrah-Nya dan lain-lain. Dan hal itu telah ditunjukkan oleh hasil perbuatan yang mutqinah (tepat) atas keberadaan ilmu dan qudrah-Nya. Bukan sekedar dinamakan alim (berilmu) dan qadir (berkuasa) saja. Keberadaan sifat Allah yang azali, berarti tidak mustahil melakukan berbagai peristiwa dengan zat-Nya yang Mahatinggi. Sifatnya yang qadim dan azali tidak mungkin melakukan sebuah peristiwa saja. Mengenai keberadaan sifat-sifat-Nya yang menyatu dengan zat-Nya yang Maha tinggi maka hal itu merupakan bagian terpenting yang secara pasti harus ada, karena tidak ada maknanya mensifati sesuatu kecuali apa yang ia lakukan. Tidak ada makna (keberadaanNya) sebagai ‘aliman dengan melakukan sifat terhadap perkara yang sudah diketahui. Tetapi makna (keberadaanNya) sebagai ‘aliman berar ti menguasai sifat mengetahui. Adapun keberadaan sifat (bukan Dia dan bukan selain-Nya) berarti sifat-sifat Allah bukanlah zat-Nya itu sendiri, karena akal memastikan bahwa sifat bukanlah mausuf (yang disifati). Artinya, sifat tersebut merupakan makna tambahan pada zat. Hal itu merupakan sifat bagi Allah sehingga bukan selain Allah. Ia bukanlah sesuatu, bukan pula berupa zat ataupun benda, melainkan sifat bagi zat. Keberadaannya bukanlah zat Allah, bukan pula selain Allah, ia merupakan sifat bagi Allah.
Tentang perkataan kelompok mu’tazilah, seandainya dijadikan seluruh sifat berdiri tegak dengan sendirinya maka yang kekal itu akan berbilang (qudama). Pernyataan semacam ini (bisa diterima) jika keberadaan sifat itu sebagai zat. Kalau keberadaannya sebagai sifat bagi zat yang qadim (terdahulu) maka tidak akan menjadikan zat tersebut berbilang. Boleh saja sifat-sifat itu berbilang bagi satu zat, lagi pula yang demikian itu tidak menghilangkan sifat wahdaniyah dan tidak akan terjadi politheisme (banyak tuhan). Karena itu ahli sunnah menetapkan -secara akal- bahwa Allah memiliki sifat-sifat yaitu selain zat-Nya dan bukan yang selain-Nya, karena sifat bukanlah mausuf (yang disifatkan), dan ia tidak terpisah dari mausuf. Kemudian ahli sunnah menjelaskan makna setiap sifat-sifat azali. Mereka berkata bahwa sifat ilmu adalah sifat azali yang mampu menyingkap seluruh ma’lumat ketika sifat itu berhubungan dengan ma’lumat tadi. Begitu pula sifat qudrah adalah sifat azali yang berpengaruh dalam segala hal yang dapat dikuasai ketika sifat qudrah ini berhubungan dengan hal yang dikuasainya tadi. Sifat hayat adalah sifat azali yang mengharuskan kelayakan yang hidup. Sifat qudrah merupakan kekuatan. Sifat mendengar (as-sam’u) adalah sifat azali yang berhubungan dengan segala yang didengar. Sifat melihat (al-bashar) adalah sifat azali yang berhubungan dengan segala yang dilihat. Berdasarkan sifat-sifat tersebut Allah mampu mengetahui secara sempurna, bukan melalui jalan khayalan ataupun persangkaan, bahkan bukan berdasarkan jalan yang dipengaruhi oleh perasaan maupun hawa nafsu. Iradah dan masyiah, keduanya adalah ungkapan tentang sifat yang terdapat pada hayyun (yang hidup), yang mengharuskan pengkhususan salah satu yang dikuasai di dalam satu waktu untuk melakukan kejadian dengan kadar kemampuan terhadap keseluruhan yang merata. Sifat kalam adalah sifat azali yang telah diungkapkan secara teratur, dikenal dengan al-Quran. Allah Swt berbicara/berkata-kata dengan kalam. Ia merupakan sifat bagi-Nya dan azali, bukan dari jenis huruf-huruf maupun suara-suara. Yaitu sifat yang berlawanan dengan sukut (diam) atau afat (wabah/bahaya). Allah Swt berkata-kata dengan sifat-Nya sebagai ‘amirun (yang memerintah), nahin (yang melarang), mukhbirun (pemberi khabar). Atas seluruh (sifat) ‘amirun, nahin dan mukhbirun mendapati makna dari dirinya, kemudian ia akan menunjuk kearahnya.
Itulah penjelasan ahli sunnah tentang sifat-sifat Allah, setelah mereka menetapkan bahwa Allah memiliki sifat-sifat azaliyah. Namun kelompok mu’tazilah mengingkari keberadaan makna-makna ini bagi sifat-sifat Allah, karena mereka (mu’tazilah) menegasikan bagi Allah memiliki sifat-sifat (yang merupakan) tambahan bagi zat-Nya. Mereka berpendapat apabila dipastikan bahwa Allah itu qadir, ‘alim, muhith (Maha Meliputi Segalanya), maka zat Allah dan sifat-sifat-Nya tidak bisa diikuti oleh perubahan, karena perubahan itu merupakan sifat baharu (muhdats). Mahasuci Allah dari sifat-sifat baharu. Apabila keberadaan sesuatu itu dijadikan setelah (sebelumnya) tidak ada, dan meniadakan sesuatu setelah keberadaannya, dan qudrah serta iradah Allah menguasai hal itu -sehingga qudrah dan iradah-Nya (mampu) menjadikan sesuatu dari ketiadaannya dan meniadakannya setelah sesuatu itu ada- maka bagaimana qudrah ketuhanan yang bersifat qadim berhubungan dengan sesuatu yang baharu (muhdats) hingga qudrah tersebut dapat mengadakannya? Dan mengapa qudrah tersebut mengadakannya pada saat ini, bukan pada saat lainnya dan bukan pada masa pertama? Qudrah yang secara langsung berjalan terhadap sesuatu setelah sebelumnya tidak berhubungan secara langsung dengan sesuatu tadi, menunjukkan adanya perubahan pada qudrah. Padahal sudah pasti bahwa Allah tidak diikuti oleh perubahan. Keadaan-Nya adalah qadim dan azali. Begitu pula pernyataan tentang iradah. Contoh seperti itu dikatakan juga tentang ilmu. Ilmu adalah mengungkap sesuatu yang ma’lum (diketahui) atas apa yang ada. Sementara ma’lum (yang diketahui) tersebut dapat berubah dari waktu ke waktu. Daun pepohonan yang jatuh berguguran setelah keberadaan (sebelum)nya tidak berguguran. Tanah yang lembab berubah menjadi tanah yang kering. Kehidupan berubah menjadi kematian. Ilmu Allah mampu menyingkap sesuatu berdasarkan penyandaran pada ilmu-Nya, sehingga Dia Mahamengetahui sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi. Dia Mahamengetahui sesuatu bahwa keberadaannya itu benar-benar ada, dan Mahamengetahui sesuatu bahwa keberadaannya itu benar-benar tidak ada. Maka bagaimana ilmu Allah mengalami perubahan disebabkan (adanya) perubahan terhadap segala sesuatu yang ada? Ilmu yang mengalami perubahan yang disebabkan oleh (adanya) perubahan tentang berbagai kejadian adalah ilmu yang bersifat baharu (muhdats). Dan Allah Swt tidak melakukan sesuatu yang muhdats, karena setiap hal yang berhubungan dengan sesuatu yang baharu berarti ia juga bersifat baharu (muhdats).
Pernyataan ini telah ditentang oleh kelompok ahli sunnah yang berkata bahwa qudrah memiliki dua ta’alluq (hubungan), yaitu azali yang tidak menghasilkan adanya al-maqdur (kemampuan) secara nyata, dan ta‘alluq hadits (hubungan yang bersifat baharu-pen) yang menghasilkan adanya al-maqdur secara nyata. Qudrah tersebut berhubungan dengan sesuatu hingga ia dapat mewujudkannya.
Qudrah itu telah ada sebelum terjadi hubungannya dengan sesuatu. Hubungannya dalam mewujudkan sesuatu itu tidak membuat qudrah tersebut menjadi baharu. Dan hubungannya secara langsung terhadap sesuatu setelah tidak adanya hubungan tersebut, bukan berarti terjadi perubahan pada qudrah. Jadi, qudrah adalah qudrah itu sendiri. Ia tidak mengalami perubahan, tetap berhubungan dengan sesuatu sekaligus mewujudkannya. Al-maqdurlah yang mengalami perubahan, sedangkan qudrah tidak berubah. Mengenai ilmu, maka segala sesuatu yang mungkin berhubungan dengan ilmu adalah ma’lum (sesuatu yang diketahui) secara nyata. Yang sesuai dengan ‘alimiyah (sifat kemahatahuan) adalah zat-Nya Swt,. Dan yang sesuai dengan ma’lumiyah (sifat yang diketahui) adalah zat-zat segala sesuatu. Maka hubungan zat dengan keseluruhan zat itu sama saja. Ilmu tidak berubah sesuai dengan zat. Yang berubah hanyalah aspek penambahannya. Dan ini boleh-boleh saja. Yang mustahil adalah perubahan ilmu itu sendiri dan sifat-sifat yang qadim, seperti qudrah, ilmu dan lainnya. Jadi, tidak mesti sifat-sifat itu qadim sehingga hubungannya harus bersifat qadim pula. Walhasil, bahwa zat yang bersifat qadim berhubungan dengan zat-zat yang bersifat baharu (muhdats).
Begitulah polemik itu berkecamuk antara kelompok mutakallimin mu’tazilah di satu sisi dengan kelompok ahli sunnah di sisi lain tentang sifat-sifat Allah. Sama seperti (polemik mereka pada) masalah lain, seperti qadla dan qadar. Anehnya ruang lingkup perdebatan yang dikobarkan oleh para mutakallimin sama seperti yang telah dikobarkan oleh para filosof Yunani sebelumnya. Para filosof Yunani mengobarkan ruang lingkup tentang masalah sifat-sifat al-Khaliq, sehingga muncul kelompok mu’tazilah yang menjawab tentang masalah itu. Meskipun demikian jawaban mereka masih dalam batas-batas keimanan mereka kepada Allah, dan masih dalam koridor pendapat-pendapat yang bertumpu pada tauhid. Lalu muncul kelompok ahli sunnah yang menentang pendapat mereka, untuk mengurangi tekanan filsafat Yunani, dan dibalik apa yang menjadi teori yang bersifat hipotetis maupun premis-premis yang bersifat mantiq (logika). Merekapun terjatuh ke dalam perangkap yang sama dengan kelompok mu’tazilah sehingga kelompok mu’tazilah menentang pendapat mereka (para ahli sunnah). Mereka menjadikan akal sebagai asas/landasan dalam berdiskusi dan berpolemik tentang perkara-perkara yang bisa dijangkau dan yang tidak bisa dijangkau oleh akal, mengenai hal yang dapat diindera dan yang tidak dapat diindera oleh manusia. Mereka menjadikan ayat-ayat dan hadits-hadits sebagai pendukung pendapatnya. Mereka mentakwil dalil ayat-ayat dan hadits-hadits yang berbeda dengan arah pendapat mereka. Dengan demikian seluruh kelompok mutakallimin baik itu kalangan mu’tazilah, ahli sunnah maupun lainnya sama-sama men-jadikan akal sebagai asas/landasan. Dan menjadikan ayat-ayat Allah sebagai pendukung arah pandangan akal, atau ayat-ayat tersebut ditakwilkan agar dapat dipahami sesuai dengan pandangan akal orang yang memahami diantara mereka.
Yang menghantarkan para mutakallimin hingga bersikap seperti ini terkait dengan dua perkara berikut:
Pertama, mereka tidak mengetahui definisi tentang akal.
Kedua, mereka tidak bisa membedakan antara metode al-Quran dalam memahami berbagai hakekat, dengan metode para filosofdalam memahami hakekat.
Ketidaktahuan mereka tentang definisi akal tampak jelas dari definisi mereka mengenai akal. Telah diriwayatkan bahwa mereka mengatakan: ‘akal adalah kekuatan di dalam jiwa atau daya pemahaman’. Ini merupakan makna dari perkataan mereka ‘watak/instink yang disertai oleh ilmu mengenai perkara-perkara yang dianggap penting disaat seluruh perangkatnya benar’. Mereka juga mengatakan: ‘akal adalah jauhar (inti) yang dapat mengetahui segala perkara ghaib melalui berbagai perantara atau mengetahui segala hal yang dapat disaksikan melalui musyahadah (penginderaan)’. Mereka juga mengatakan: ‘akal adalah jiwa itu sendiri’. Barangsiapa yang pemahamannya tentang akal sesuai dengan pemahaman di atas maka bukan hal yang mengherankan jika dirinya dijuluki dengan kebebasan, sehingga ia menyusun suatu teori terhadap berbagai premis yang ada, lalu melahirkan kesimpulan yang sebenarnya tidak pernah ada. Ia mengatakan tentang dirinya sendiri bahwa ia mengetahui kesimpulan ini berdasarkan akal. Berdasarkan hal ini pembahasan yang bersifat aqli pada mereka tidak memiliki batasan tertentu. (Bagi mereka) seluruh topik layak dibahas, hingga sampai pada beberapa kesimpulan dan itu dinamakan sebagai pembahasan yang bersifat aqli. Begitupun kesimpulannya bersifat aqli. Tidak mengherankan jika kelompokmu’tazilah mengatakan, bahwa ta’alluq qudrah Allah yang azali dengan al-maqdur yang bersifat baharu menjadikan sifat qudrah sebagai sesuatu yang baharu pula. Mereka menganggap bahwa hal itu adalah pembahasan yang bersifat aqli dan kesimpulannya pun bersifat aqli pula. Sementara ahli sunnah berkata -pada saat itu- bahwa ta’alluq qudrah Allah dengan al-maqdur tidak menjadikan qudrah itu mengalami perubahan, dan tidak menjadikannya sesuatu yang baharu, karena yang membuat qudrah menjadi baharu adalah perubahan qudrah itu sendiri, bukan perubahan al-maqdur. Mereka juga menganggap bahwa hal itu merupakan pembahasan yang bersifat aqli, dan kesimpulannya pun bersifat aqli. Sebab, akal menurut mereka adalah an-nafsu (jiwa) atau watak atau instink yang disertai dengan ilmu mengenai hal-hal yang dianggap perlu. Jadi, ia membahas tentang segala sesuatu. Kalau mereka mengetahui makna akal yang sebenarnya tentu mereka tidak akan terlibat dalam pembahasan hipotetis yang terlalu menduga-duga. Lagi pula seluruh kesimpulan yang dihasilkannya tidak bersifat praktis, dan hanya (berasal) dari sesuatu yang dihasilkan (dikaitkan dengan) sesuatu yang lain lalu hal itu disebut dengan hakekat yang bersifat aqliyah.
Dewasa ini pengertian tentang akal sudah kita peroleh penjelasannya, sehingga kita dapat mengetahui bahwa jika segala sesuatu yang ada tidak memadai untuk dibahas secara akal, maka tidak mungkin kita namakan pembahasannya bersifat aqliyah, dan hal itu tidak mengizinkan kita untuk membahasnya. Kita telah mengetahui bahwa definisi akal adalah: ‘perpindahan fakta melalui perantaraan indera menuju otak dan disertai dengan ma’lumat sabiqah (informasi-informasi terdahulu) yang akan menafsirkan fakta tersebut’. Jadi, pembahasan yang bersifat aqliy harus ada empat macam, yaitu: pertama adalah otak, kedua adalah indera, ketiga adalah fakta, dan yang keempat adalah ma’lumat sabiqah yang berhubungan dengan fakta tersebut. Jika satu unsur saja dari empat perkara tadi tidak ada maka tidak mungkin terjadi pembahasan yang bersifat aqliy secara mutlak, meski dimungkinkan adanya pembahasan yang bersifat mantiqi (bersifat logika), dan mungkin pula adanya pembahasan yang bersifat khayal atau angan-angan. Semua ini tidak ada nilainya sama sekali karena hal itu tidak berada di bawah pemahaman akal, atau sumbernya tidak berada dalam cakupan pemahaman akal. Karena tidak adanya pengetahuan para mutakallimin tentang pengertian akal, maka mereka disebut sebagai kelompok bebas pada seluruh pembahasan yang tidak tercakup di dalam indera, atau mereka tidak memiliki ma’lumat sabiqah yang berkaitan dengan (segala sesuatu).
Para mutakallimin tidak mampu membedakan antara metode al-Quran dengan metode para filosof mengenai pembahasan yang bersifat aqliyah. Al-Quran membahas tentang ketuhanan, dan para filosof juga membahas tentang ketuhanan. Pembahasan para filosof tentang ketuhanan menganalisis wujud yang mutlak dan apa-apa yang harus ada (dikehendaki) pada zatnya (tuhan). Mereka tidak membahas tentang alam semesta. Mereka malah membahas perkara yang ada di balik alam semesta. Mereka menyusun bukti-bukti (argumentasi) yang dimulai dengan premis-premis, hingga (dari susunan bukti-bukti tersebut) sampai pada suatu kesimpulan. Dari kesimpulan ini mereka susun lagi dengan kesimpulan lainnya hingga menjadi kesimpulan-kesimpulan baru. Begitulah seterusnya hingga mereka sampai pada hal-hal yang dianggapnya sebagai hakekat tentang suatu zat dan apa yang dikehendaki oleh zat tersebut. Mereka berbeda-beda dalam menghasilkan kesimpulan yang telah dicapainya. Jalan yang mereka tempuh dalam pembahasan hanya satu, yaitu apa yang ada di balik alam semesta. Lalu mereka mengukuhkan setiap argumentasi yang dihasilkannya, baik itu bertumpu pada asumsi-asumsi sebuah teori, atau berdasarkan argumentasi yang lain, yang sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang dianggap oleh mereka sebagai kesimpulan yang qath’i dan harus diyakini.
Metode pembahasan semacam ini bertentangan dengan metode al-Quran, karena al-Quran hanya membahas tentang alam semesta, mengenai benda-benda yang telah ada, tentang bumi, matahari, bulan, bintang, binatang, manusia, segala makhluk melata, unta, gunung dan lain-lain yang termasuk perkara yang dapat diindera. Dari situ mampu menjadikan seseorang sadar tentang adanya Pencipta alam semesta, adanya Pencipta segala yang ada, Pencipta matahari, unta, gunung, manusia dan lain-lain sebagainya yang diperoleh melalui penginderaannya terhadap segala sesuatu yang ada. Tatkala membahas hal-hal yang ada di balik alam semesta -yang tidak dapat diindera dan tidak dapat dijangkau melalui segala sesuatu yang ada-, maka al-Quran mensifatinya sebagai fakta atau menetapkannya sebagai suatu fenomena seraya memerintahkan (manusia) untuk mengimaninya dengan perintah yang pasti. Dan al-Quran tidak memerintahkan untuk mengalihkan pandangan manusia agar memikirkannya, demikian juga tidak mengalihkan pandangan manusia kepada sesuatu hingga ia bisa memikirkannya melalui sesuatu tadi. Seperti tentang sifat-sifat Allah,surga, neraka, jin, syaitan dan yang semisalnya. Metode ini telah dipahami oleh para sahabat, dan mereka berjalan sesuai metode tersebut. Mereka terjun di negerinya dengan mengemban risalah Islam kepada manusia untuk membahagiakan mereka dengan risalah Islam tadi, sebagaimana mereka memperoleh kebahagiaan dengan risalah tersebut. Keadaan seperti ini tetap berlangsung hingga berakhirnya abad pertama. Lalu pemikiran-pemikiran filsafat Yunani mulai menyusup hingga munculnya para mutakallimin. Maka metode pembahasan yang bersifat aqliyah mengalami perubahan. Setelah itu terjadi polemik mengenai zat Allah dan sifat-sifat-Nya. Bahkan polemik tersebut makin menjadi-jadi, meski persoalan yang diperdebatkan tidak tergolong pembahasan yang bersifat aqliyah sama sekali. Sebab, topik pembahasannya mengenai sesuatu yang tidak tercakup dalam penginderaan, padahal segala sesuatu yang tidak dapat diindera tidak memiliki ruang bagi akal untuk membahasnya. Bagaimanapun, pembahasan tentang sifat-sifat Allah, apakah zat itu sendiri ataupun bukan, sama saja dengan membahas tentang zat. Dan secara prinsip pembahasan tentang zat itu dilarang, malah mustahil untuk dibahas. Karena itu seluruh pembahasan para mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah tidak pada tempatnya dan termasuk kesalahan yang harus diluruskan. Sifat-sifat Allah bersifattauqifiyah (tidak bisa diganggu gugat). Apa yang terdapat dalam beberapa nash yang bersifat qath’i –seperti yang telah kita sebutkan itulah (yang kita pahami) apa adanya. Kita tidak boleh menambahkan satu sifat pun yang tidak ditemukan di dalam nash. Dan kita tidak boleh menjelaskan satu sifat pun kalau tidak terdapat (penjelasan tersebut) di dalam nash-nash yang qath’i.