Sabtu, 17 Agustus 2019

Filosof-filosof Muslim


FILOSOF-FILOSOF MUSLIM


Tatkala masalah filsafat yang berhubungan dengan (pembahasan) ketuhanan mulai masuk di tengah-tengah kaum Muslim, sebagian ulama di masa akhir periode Umawiy dan awal masa Abbasiy seperti Hasan al-Bashry, Ghailan ad-Dimasyqi dan Jahm bin Shafwan, mereka melemparkan masalah kalamiyah (perkataan para mutakallimin) yang berbeda-beda dan beraneka ragam. Sesudah mereka muncul para ulama yang mengetahui mantiq Aristoteles dan mereka mengkaji sendiri sebagian buku-buku filsafat yang telah diterjemahkan. Akibatnya pembahasan mengenai masalah kalamiyah meluas. Mereka mengkaji ilmu kalam yang telah dikenal. Mereka itu antara lain Washil bin Ata’, Amru bin Ubaid, Abu Huzail al-‘Allaf dan an-Nadham. Kajian yang mereka lakukan bukan kajian yang bersifat filsafat murni melainkan kajian tentang pemikiran-pemikiran filsafat secara luas, sehingga mereka menguasai berbagai macam aliran filsafat sekaligus pendapat masing-masing filosofnya, berupa wawasan (penguasaan) tentang permasalahan yang diamati, bukan tentang seluruh permasalahan. Mereka membatasi diri terhadap sebagian pembahasan filsafat karena mereka masih mengkaitkan diri mereka dengan keimanannya pada al-Quran. Karena itu mereka tidak keluar dari barisan (pemeluk) Islam. Mereka hanya memperluas pencarian dalil-dalil, dan menyebut diri mereka orang yang bebas dalam berargumentasi. Hal itu dilakukan untuk mengokohkan kekuatan iman dan untuk memelihara kemahasucian Allah Swt. Jadi, tidak terjadi pada diri mereka penyimpangan apapun dalam hal akidah meskipun yang diyakininya berbeda-beda. Mereka adalah orang Islam yang membela agamanya.

Sesudah masa para mutakallimin muncul orang-orang yang tidak menyebutkan jati diri mereka sebagai kelompok atau aliran. Mereka tidak memperoleh dukungan dari seorang muslimpun, kendati pembahasan dari orang-orang itu dianggap baik. Mereka adalah para filosof muslim yang datang di negeri-negeri Islam setelah zamannya para mutakallimin. Yang membuat mereka eksis di tengah-tengah kaum Muslim karena mereka dengan mudah mengkaji seluruh pemikiran filsafat dan buku-bukunya. Dan pembahasan ini amat digemari oleh manusia pada masa itu. Sebagian mereka mengembangkan seluasluasnya pemikiran-pemikiran filsafat tersebut, sehingga ada diantara mereka yang mempelajarinya secara mendalam dan luas di segala bidang, dalam seluruh (bentuk) pemikiran, mencakup segala visi yang mengarah pada filsafat sesuai dengan keuniversalannya. Lalu dicerna sesuai dengan parameter filsafat, dan dapat menunjangnya untuk berpikir menurut cara filsafat sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang bersifat filsafat. Kajian terhadap filsafat yang amat luas dan mendalam -terutama filsafat Yunani- di kalangan kaum Muslim memunculkan para filosof. Filosof muslim yang pertama adalah Ya’kub al-Kindi -wafat tahun 260 H- yang diikuti para filosof muslim lainnya. Dengan demikian para filosof muslim tidak muncul di negeri-negeri Islam kecuali setelah munculnya para mutakallimin, dan setelah metode para mutakallimin mendominasi (negeri-negeri Islam). Metode tersebut lalu menjadi obyek pembahasan, diskusi dan perdebatan sehingga filsafat menjadi tersohor di mata kebanyakan para mutakallimin maupun kalangan ulama. Sebelumnya tidak ada seorang muslimpun yang menjadi filosof. Akhirnya di negeri-negeri Islam dijumpai para mutakallimin dan para filosof dari kalangan para ulama. Hanya saja terdapat perbedaan antara para mutakallimin dengan para filosof. Mutakallimin adalah mereka yang menguasai sebagian pemikiranpemikiran filsafat. Sedangkan para filosof adalah ulama filsafat. Karena itu para filosof menganggap sebelah mata para mutakallimin. Para filosof berpendapat bahwa mutakallimin adalah ahlu safsathah (kelompok yang pandai memutarbalikkan fakta), tidak mengetahui hakekat filsafat dan kelompok yang senang berdebat. Sedangkan mereka (para filosof) adalah orang-orang yang membahas perkara-perkara yang secara logis masuk akal dengan pembahasan filsafat yang benar.

Masing-masing mutakallimin dan filosof membahas tentang ketuhanan. Namun terdapat perbedaan antara metode mutakallimin dengan metode para filosof. Perbedaan keduanya sebagai berikut :

  1. Bahwa para mutakallimin masih berpegang kepada landasanlandasan keimanan dan menyatakan kebenarannya serta mengimaninya. Mereka menjadikan dalil-dalilnya yang bersifat aqliyah untuk mengokohkan dasar-dasar keimanan. Mereka menyusun bukti-bukti berdasarkan keimanan tadi secara akal dengan buktibukti yang bersifat mantiq (logika). Mereka menjadikan pembahasan yang bersifat aqliyah dengan uslub yang bersifat mantiq untuk memperkuat akidah mereka, karena mereka beriman dengan dasar-dasar Islam yang pokok sehingga mereka menyusun bukti-bukti dan hujjah untuk membuktikan sesuatu yang mereka imani.
  2. Pembahasan mutakallimin terbatas dalam perkara yang berhubungan dengan pembelaan terhadap akidah mereka, dan menjatuhkan seluruh hujjah musuh-musuh mereka, baik dari kalangan kaum Muslim –meski mereka saling bertentangan dalam pemahaman seperti mu’tazilah, murjiah, syi’ah, khawarij dan lain-lain– atau non muslim seperti Nasrani, Yahudi, Majusi dan selain mereka. Meski yang paling menonjol dalam pembahasan mereka adalah kritik terhadap kaum Muslim yang berasal dari kalangan mutakallimin dan para filosof.
  3. Pembahasan mutakallimin adalah pembahasan yang Islami, meskipun terdapat silang pendapat dan kontradiksi. Itu semua dianggap sebagai pendapat-pendapat yang Islami. Setiap muslim yang mengambil salah satu pendapat-pendapat mereka dianggap mengambil pendapat yang Islami. Apa yang dianutnya dianggap sebagai akidah Islam.


Inilah metode para mutakallimin dan sudut pandangnya. Sedangkan metode filsafat dapat di ringkas sebagai berikut:

  1. Para filosof membahas topik hanya sekedar untuk dibahas saja. Metode pembahasan mereka dan sandarannya hanya memandang pada masalah-masalah sebagaimana yang ditunjukkan oleh buktibukti. Pandangan mereka tentang ketuhanan adalah keberadaannya bersifat mutlak dan hal-hal yang harus dimiliki (ada) pada zatnya (tuhan). Mereka mulai mengkaji sambil merenungkan apa yang dihasilkan melalui bukti-bukti, berjalan setapak demi setapak hingga sampai pada kesimpulan -apapun hasilnya- lalu mereka yakini. Inilah tujuan dan pilar dari filsafat. Pembahasan mereka hanya bersifat filsafat, tidak ada hubungannya dengan Islam, meski di beberapa topik tampak adanya hubungan. Mereka seringkali menerima pembahasan sesuatu yang bersifat sam’iyah yang tidak bisa menggunakan bukti-bukti secara akal untuk menunjukkan kebenaran ataupun kebatilannya, seperti tentang hari kebangkitan atau hari kiamat, tentang pengembalian jasad. Mereka sering memunculkan sebagian filsafat Yunani yang dipengaruhi oleh akidah Islam, dan mengeluarkan hukum dalam suatu persoalan berdasarkan akidah Islam. Mereka sering melakukan penyesuaian (kompromi) antara persoalan-persoalan filsafat dengan persoalanpersoalan Islam, meski hal ini bersifat sampingan dan muncul karena keberadaan mereka sebagai seorang muslim yang terpengaruh dengan Islam. Jadi, bukan karena aspek pemikirannya terpengaruh (dengan Islam) lalu dijadikan sebagai asas seperti yang dijumpai pada mutakallimin. Pengaruhnya amat kuat seperti terpengaruhnya para filosof kristen dengan kemasehiannya atau para filosof Yahudi dengan ke-Yahudiannya. Itupun pokok-pokok pemikiran yang amat mendasar tetap menyusup di tengah-tengah pembahasan, atau paling tidak mempengaruhinya. Asas yang mereka jadikan sebagai pijakan adalah wujud mutlak dan hal-hal yang harus (dimiliki) pada zatnya. Secara hakiki mereka sangat terpengaruh oleh filsafat Yunani. Pola pikir mereka dibentuk oleh filsafat Yunani, sehingga mereka menuliskan pemikiran-pemikiran filsafatnya setelah mereka matang dalam filsafat Yunani. Filsafat mereka tidak memiliki hubungan sedikitpun dengan Islam.
  2. Para filosof muslim tidak bersikap membela Islam. Sikap mereka terfokus pada penyampaian berbagai hakekat yang disertai dengan bukti-bukti. Mereka tidak terjun dalam polemik lalu menjawabnya dalam rangka membela Islam, meski kadangkala terpengaruh. Yang menjadi pokok adalah pembahasan yang bersifat aqliy. Itu menjadi topik utamanya dan tidak ada lagi pembahasan lain, kecuali itu.
  3. Pembahasan para filosof muslim bukan pembahasan yang Islami. Pembahasannya hanya filsafat saja dan tidak ada hubungannya dengan Islam, dan tidak ada tempat bagi Islam dalam pembahasannya. Karena itu (pandangan-pandangannya) tidak dianggap sebagai pendapat yang Islami dan bukan termasuk tsaqafah Islam.


Inilah perbedaan antara metode mutakallimin dengan metode para filosof muslim. Itulah fakta tentang filosof muslim. Merupakan tindakan yang dzalim dan bertentangan dengan fakta sekaligus penipuan terhadap Islam menamakan filsafat yang digeluti oleh orang semisal al-Kindiy, al-Farabiy, Ibnu Sina dan lainnya dari kalangan filosof muslim sebagai filsafat Islam. Karena tidak ada hubungannya dengan Islam, bahkan bertolak belakang dengan Islam secara total, baik ditinjau dari segi asasnya maupun kebanyakan dari rinciannya. Dilihat darisegi asasnya, filsafat ini membahas sesuatu (yang ada) di balik alam semesta, tentang wujud yang mutlak. Berbeda dengan Islam yang hanya membahas sesuatu yang ada di alam semesta dan apa yang dapat diindera saja, bahkan melarang membahas tentang zat Allah dan apapun yang ada di balik alam semesta. Islam memerintahkan untuk menerimanya secara mutlak. Kemudian berhenti pada batas tertentu seraya disuruh mengimaninya tanpa tambahan, dan tidak mengijinkan akal untuk berusaha membahasnya. Sedangkan dari sisi rinciannya, di dalam filsafat ini terdapat banyak pembahasan yang dipandang oleh Islam sebagai kekufuran. Diantaranya pembahasan yang mengatakan tentang qidamnya alam dan alam itu azali. Pembahasan yang menyatakan bahwa kenikmatan surga itu bersifat ruhani bukan bersifat fisik.
Pembahasan yang mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui hal yang bersifat juz-i (rincian) dan lain-lain, yang jelas-jelas dan pasti kufur menurut Islam. Jadi, bagaimana mungkin filsafat ini dikatakan sebagai filsafat Islam dengan hal-hal yang jelas-jelas kontradiktif?

Bagaimanapun di dalam Islam tidak terdapat filsafat, karena Islam membatasi pembahasan yang bersifat aqliyah mengenai perkaraperkara yang bisa diindera saja, dan mencegah akal untuk membahas perkara yang ada di balik alam semesta sehingga menjadikan seluruh pembahasannya jauh dari filsifat. Dengan demikian pembahasan tersebut berjalan bukan berdasarkan metode filsafat, dan berjalan tidak dengan metode filsafat. Bahkan tidak menjadikan Islam mengandung (kemungkinan) satupun pembahasan filsafat. Sehingga tidak ada (istilah) filsafat Islam. Di dalam Islam hanya dijumpai pembahasan tentang al-Quran yang mulia dan as-Sunnah an-Nabawiyah. Hanya dua perkara ini saja pokok (ajaran) Islam, baik tentang akidah maupun hukumhukumnya, tentang perintah, larangan dan ikhbar (pemberitaan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar