Rabu, 05 Oktober 2016

Kejanggalan-kejanggalan Perilaku

KEJANGGALAN-KEJANGGALAN PERILAKU


Dapat disaksikan bahwa kebanyakan aktivitas kaum Muslim bertentangan dengan akidah Islam mereka. Juga dijumpai banyaknya pribadi-pribadi Islami yang tingkah lakunya bertentangan dengan keberadaan mereka sebagai pribadi-pribadi yang Islami. Sebagian orang menyangka bahwa perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan akidah Islam itu telah mengeluarkannya dari Islam. Dan tingkah laku yang tampak bertentangan dengan sifat-sifat seorang muslim -yang berpegang teguh pada agamanya- telah mengeluarkannya sebagai pribadi yang Islami.

Sebenarnya adanya kejanggalan di dalam perilaku seorang muslim tidak sampai mengeluarkannya dari kepribadiannya yang Islami. Itu karena kadangkala seseorang lengah sehingga meniggalkan ikatan mafahim dengan akidahnya; atau kadangkala dia tidak mengetahui bahwa mafahimnya itu bertentangan dengan akidahnya atau dengan keberadaannya sebagai pribadi yang Islami; atau setan tengah menguasai hatinya, sehingga perbuatannya bertentangan dengan akidahnya. Pada kondisi ini dia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan akidahnya; atau kontradiktif dengan sifatnya sebagai seorang muslim yang terikat dengan agamanya; atau bertentangan dengan perintah dan larangan Allah Swt. Seluruh perbuatan ataupun sebagiannya itu dilakukan, akan tetapi dia tetap masih memeluk akidah Islam dan menjadikannya sebagai asas dalam berpikir dan muyulnya. Karena itu tidak benar pernyataan bahwa dia telah keluar dari Islam atau tidak memiliki syakhshiyah Islam lagi. Sebab, selama dia memeluk akidah Islam berarti dia seorang muslim, meskipun kadang-kadang dia berbuat maksiat di dalam beberapa perbuatannya. Selama akidah Islam dijadikan asas dalam berpikir dan muyulnya maka dia tetap berkepribadian Islam walaupun kadangkala beberapa tingkah lakunya itu fasik. Karena yang dijadikan patokan adalah keyakinannya terhadap akidah Islam dan menjadikannya sebagai asas dalam berpikir dan muyul, meskipun terdapat kejanggalan-kejanggalan dalam perbuatan dan tingkah lakunya.

Seorang muslim tidak keluar dari Islam kecuali dengan mencampakkan keyakinan akidah Islamnya baik perkataan maupun perbuatannya. Dia tidak keluar dari kepribadiannya yang Islami kecuali jika mencampakkan akidah Islam dalam aspek pemikiran dan muyulnya, yaitu tidak lagi menjadikan akidah Islam sebagai asas bagi pemikiran dan muyulnya. Apabila dia berpaling dari akidah Islam berarti dia telah keluar dari ke-Islamannya. Jika tidak berpaling dia tetap sebagai seorang muslim. Jadi, tetap dikategorikan sebagai seorang muslim karena dia bukan membangkang terhadap akidah Islam. Dia tetap sebagai muslim akan tetapi tidak memiliki syakhshiyah Islam. Karena dia memeluk akidah Islam namun tidak menjadikannya sebagai asas dalam berpikir dan muyulnya. Hal itu disebabkan ikatan mafahim dengan akidah Islam bukanlah ikatan yang bersifat otomatis (seperti mesin-pen), dimana mafhum tidak akan bergerak kecuali sesuai dengan akidah. Ikatan keduanya bersifat ‘sosial’, memiliki kemungkinan untuk berpisah ataupun kembali lagi. Dengan demikian bukan perkara yang aneh jika seorang muslim terjerumus dalam perbuatan maksiat, melanggar perintah serta larangan Allah dalam beberapa perbuatan. Kadangkala seseorang melihat kenyataan yang bertentangan antara tingkah laku dengan ikatan akidahnya. Kadangkala seseorang mengkhayalkan bahwa kemaslahatan terdapat pada apa yang dilakukannya, kemudian dia menyesal dan menyadari kesalahannya, lalu diapun kembali kepada Allah. Pelanggaran terhadap perintah dan larangan Allah itu tidak membunuh keberadaan akidah Islam yang ada pada dirinya, akan tetapi hanya menodai keterikatan perbuatannya dengan akidah. Karena itu orang yang terjerumus perbuatan maksiat atau fasik tidak dianggap murtad (keluar dari Islam). Dia dianggap seorang muslim yang maksiat dalam perbuatan yang dilakukannya itu, dan dia diberikan sanksi atas perbuatan maksiatnya tadi. Dia tetap seorang muslim selama masih memeluk akidah Islam. Jadi, tidak bisa dikatakan bahwa dia tidak berkepribadian Islam hanya karena lengah atau sekali dikuasai setan. Selama dia menjadikan akidah Islam sebagai asas pemikiran dan muyulnya, maka syakhshiyah Islamnya itu tetap ada, selama tidak terdapat cacat ataupun keraguan (atas akidah Islam-pen).

Pada masa Rasulullah saw terjadi beberapa peristiwa yang menimpa sahabat dimana seorang sahabat melanggar sebagian perintah dan larangan, akan tetapi pelanggaran tersebut tidak sampai membunuh ke-Islamannya dan tidak mempengaruhi syakhshiyah Islamnya. Itu karena mereka adalah manusia biasa bukan malaikat. Mereka seperti manusia lainnya, tidak ma’shum (bebas dari dosa). Mereka juga bukan Nabi. Hathib bin Abi Baltha’ah telah menyampaikan berita kepada kaum kafir Quraisy tentang (rencana) serangan (manuver militer) Rasulullah terhadap mereka padahal beliau sangat merahasiakan hal ini. Beliau juga pernah memalingkan leher (wajah) Fadhal bin Abbas ketika beliau melihat ia tengah memandang seorang wanita yang berbincang-bincang dengan Beliau dengan pandangan yang berulang-ulang, yang muncul dari keinginan dan syahwat. Orang-orang Anshar pada tahun penaklukan (kota Makkah-pen) membicarakan tentang Rasulullah, bahwa beliau akan pergi meninggalkan mereka, kembali kepada keluarga beliau padahal beliau bersumpah tidak akan meninggalkan mereka. Para sahabat besar melarikan diri dalam perang Hunain seraya mening-alkan Rasulullah ditengah-ditengah pertempuran bersama segelintir para sahabat. Dan peristiwa-peristiwa lain yang pernah terjadi, namun Rasulullah tidak menganggapnya sebagai satu perkara yang membunuh ke-Islaman sipelakunya dan tidak mempengaruhi keberadaan mereka sebagai pribadi-pribadi Islam.

Ini cukup dijadikan dalil/bukti bahwa kejanggalan yang terjadi dalam tingkah laku tidak sampai mengeluarkan seorang muslim dari ke-Islamannya serta tidak mengeluarkannya dari orang yang memiliki kepribadian Islam.

Meskipun demikian bukan berarti boleh melanggar perintah dan larangan Allah. Satu perkara yang tidak bisa di ragukan lagi adalah bahwa melanggar dan membenci (segala perintah dan larangan Allah-pen) haram hukumnya. Ini bukan berarti orang yang memiliki kepribadian Islam boleh bertentangan dengan sifat-sifat seorang muslim yang berpegang teguh dengan agamanya dalam pembentukan kepribadian Islam. Yang perlu ditekankan adalah bahwa kaum Muslim itu adalah manusia. Itu adalah kepribadian Islam yang dimiliki manusia biasa bukan malaikat. Jadi, apabila manusia itu bersalah maka perlakukanlah dia sesuai dengan hukum-hukum Allah berupa pemberian sanksi terhadap kesalahannya jika termasuk dalam perkara yang harus diberikan sanksi. Dengan demikian bukan berarti bahwa mereka tidak memiliki syakhshiyah Islam lagi.

Yang paling prinsip adalah selamatnya akidah Islam pada diri seseorang, kemudian membangun pemikiran dan muyulnya berdasarkan akidah Islam sehingga terbentuk syakhshiyah Islam. Selama asasnya itu benar dan pilar yang membangun pemikiran dan muyulnya ada dalam koridor akidah Islam, maka syakhshiyah Islam seorang muslim tidak binasa karena kesalahan yang jarang dilakukannya, atau terdapat kejanggalan-kejanggalan dalam tingkah lakunya.

Apabila terdapat kekacauan pada akidah maka seseorang dapat keluar dari Islam meskipun seluruh aktivitasnya dibangun berdasarkan hukum-hukum Islam. Karena seluruh perbuatannya saat itu tidak lagi didasari oleh akidah Islam, melainkan didasari oleh selain akidah Islam. Mungkin didasari oleh adat istiadat, mengikuti arus orang banyak, karena manfaat, atau sebab lainnya. Jika terdapat kekacauan, seperti menjadikan manfaat atau akal sebagai asas yang membangun tingkah lakunya, maka dia tetap seorang muslim karena akidahnya tetap selamat. Hanya saja dia tidak berkepribadian Islam meskipun dia termasuk pengemban dakwah, dan walaupun seluruh tingkah lakunya sesuai dengan hukum-hukum Islam. Karena yang menopang pemikiran dan muyul atas akidah Islam adalah keyakinan terhadap akidah Islam. Dan itulah yang menjadikan seseorang berkepribadian Islam. Karena itu orang-orang yang mencintai Islam dan menghendaki kemenangan dan pertolongan harus berhati-hati. Yaitu tidak membangun pemikiran-pemikiran (akal) mereka atas pemikiran dan hukum-hukum Islam, tetapi membangun pemikiran dan hukum-hukum Islam atas akal-akal mereka, atas tolok ukur manfaat ataupun atas hawa nafsu mereka. Hendaknya mereka berhati-hati dalam perbuatan mereka ini karena hal itu justru akan menjauhkan mereka dari kepribadian Islam, meskipun akidah mereka selamat dari kekacauan, disamping mereka harus mengetahui lebih banyak tentang pemikiran-pemikiran Islam dan hukum-hukumnya. Diantara perkara yang harus diperhatikan adalah bahwa memeluk akidah Islam berarti beriman terhadap seluruh apa yang dibawa Rasulullah secara global dan beriman terhadap apa yang telah ditetapkan oleh dalil-dalil qath’iy (pasti) secara terperinci. Menerima dengan penuh keridhaan dan berserah diri. Juga harus diketahui bahwa hanya sekedar mengetahui saja tidaklah cukup. Membangkang terhadap perkara terkecil yang telah ditetapkan secara yakin bahwa hal itu berasal dari Islam dapat mengeluarkan seseorang dan memisahkannya dari Islam. Islam itu harus utuh, tidak menerima (iman yang) parsial. Islam tidak membolehkan kecuali menerimanya secara sempurna. Meninggalkan sebagiannya hukumnya kufur. Berdasarkan hal ini jelas bahwa keyakinan tentang pemisahan agama dari kehidupan atau pemisahan agama dari negara adalah kekufuran yang nyata. Allah Swt berfirman:

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكۡفُرُونَ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ وَيُرِيدُونَ أَن يُفَرِّقُواْ بَيۡنَ ٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ وَيَقُولُونَ نُؤۡمِنُ بِبَعۡضٍ۬ وَنَڪۡفُرُ بِبَعۡضٍ۬ وَيُرِيدُونَ أَن يَتَّخِذُواْ بَيۡنَ ذَٲلِكَ سَبِيلاً (١٥٠) أُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡكَـٰفِرُونَ حَقًّ۬ا‌ۚ وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَـٰفِرِينَ عَذَابً۬ا مُّهِينً۬ا (١٥١)

150. Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan[373] antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan Kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan Perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir),

151. Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.

[373] Maksudnya: beriman kepada Allah, tidak beriman kepada rasul-rasul-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar