AKIDAH ISLAM
Akidah Islam adalah iman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat,
qadha dan qadar baik buruknya dari Allah Swt. Makna iman adalah pembenaran
secara pasti (tashdiq al-jazim) sesuai dengan kenyataan berdasarkan dalil. Jika
pembenaran saja tanpa disertai dalil tidak digolongkan iman, karena tidak
termasuk pembenaran yang pasti kecuali apabila bersumber dari dalil. Jika tidak
disertai dalil maka tidak ada kepastian. Jadi, kalau Cuma pembenaran saja
terhadap suatu berita tidak termasuk iman. Berdasarkan hal ini pembenaran harus
berdasarkan dalil agar menjadi bersifat pasti, atau agar tergolong iman. Ini
berarti adanya dalil terhadap segala sesuatu yang dituntut untuk diimani adalah
suatu hal yang pasti agar pembenaran terhadap sesuatu tadi tergolong iman. Maka
adanya dalil merupakan syarat pokok adanya keimanan, tanpa melihat lagi apakah
hal itu shahih (benar) atau fasid (rusak).
Dalil itu ada dua macam, yaitu
dalil ‘aqli (akal) dan dalil naqli (dari al-Quran dan hadits-pen). Yang
menentukan apakah dalil itu ‘aqli atau naqli adalah fakta dari permasalahan
yang ditunjukkan untuk diimani. Apabila permasalahannya adalah fakta yang bisa
diindera maka dipastikan dalilnya ‘aqli bukan naqli. Namun jika permasalahannya
tidak dapat diindera maka dalilnya adalah naqli. Dalil naqli itu sendiri
diperoleh dari perkara yang bisa diindera. Maksudnya keberadaannya sebagai
dalil tercakup didalam perkara yang dapat diindera. Karena itu dalil naqli
digolongkan sebagai dalil yang layak untuk diimani tergantung pada dalil aqli
dalam menetapkannya sebagai dalil.
Orang yang mendalami perkara
yang dituntut akidah Islam untuk diimani akan menjumpai bahwa iman kepada
(wujud) Allah dalilnya adalah aqli. Alasannya perkara tersebut -yaitu adanya
al-Khaliq bagi segala yang ada- dapat dijangkau dengan panca indera. Namun, iman
terhadap (keberadaan) malaikat dalilnya adalah naqli. Alasannya keberadaan
malaikat tidak dapat dijangkau indera. Malaikat tidak bisa dijangkau zatnya dan
tidak bisa dijangkau dengan apapun yang menunjukkan atas (keberadaan)nya.
Sedangkan iman terhadap kitab-kitab Allah dapat dijabarkan sebagai berikut.
Jika yang dimaksud adalah iman terhadap al-Quran maka dalilnya aqli, karena
al-Quran dapat diindera dan dijangkau. Demikian pula kemukjizatan al-Quran
dapat diindera sepanjang zaman. Tetapi jika yang dimaksud adalah iman terhadap
kitab-kitab selain al-Quran, seperti Taurat, Injil dan Zabur, maka dalilnya
adalah naqli. Alasannya bahwa kitab-kitab ini adalah dari sisi Allah tidak
dapat dijangkau (keberadaannya) sepanjang zaman. Kitab-kitab tersebut adalah
dari sisi Allah dan dapat dijangkau keberadaanya tatkala ada Rasul yang
membawanya sebagai mukjizat. Kemukjizatannya berhenti saat waktunya berakhir.
Jadi, mukjizat tersebut tidak bisa dijangkau oleh orang-orang (pada masa)
setelahnya. Namun sampai kepada kita berupa berita yang mengatakan bahwa kitab
tersebut berasal dari Allah dan diturunkan kepada Rasul. Karena itu dalilnya
naqli bukan aqli, karena akal –di setiap zaman- tidak mampu menjangkau bahwa
kitab itu adalah kalam Allah dan akal tidak mampu mengindera kemukjizatannya.
Begitu pula halnya iman terhadap para Rasul. Iman terhadap Rasul, Muhammad saw
dalilnya aqli, karena pengetahuan akan al-Quran sebagai kalam Allah dan ia
dibawa oleh Rasul, Muhammad adalah sesuatu yang dapat diindera. Dengan mengindera
al-Quran dapat diketahui bahwa Muhammad itu Rasulullah. Hal itu dapat dijumpai
sepanjang zaman dan setiap generasi. Sedangkan iman terhadap para Nabi dalilnya
adalah naqli, karena dalil (bukti) kenabian para Nabi –yaitu mukjizat-mukjizat
mereka- tidak dapat diindera kecuali oleh orang-orang yang sezaman dengan
mereka. Bagi orang-orang yang datang setelah mereka hingga zaman sekarang bahkan
sampai kiamat pun, mereka tidak menjumpai mukjizat tersebut. Bagi seseorang tidak ada bukti
yang dapat diindera atas kenabiannya. Karena itu bukti atas kenabiannya bukan
dengan dalil aqli melainkan dengan dalil naqli. Lain lagi bukti atas kenabian
Muhammad saw yang berupa mukjizat beliau. Mukjizat tersebut (selalu) ada dan
dapat diindera, yaitu al-Quran. Jadi dalilnya adalah aqli. Dalil hari kiamat adalah
naqli, karena hari kiamat tidak dapat diindera. lagi pula tidak ada satu pun
perkara yang dapat diindera yang menunjukkan tentang hari kiamat. Dengan
demikian tidak terdapat (satu) dalil aqli pun untuk hari kiamat. Dalilnya
adalah naqli. Sedangkan qadha dan qadar dalilnya aqli, karena qadha adalah
perbuatan manusia yang dilakukannya atau yang menimpanya (dan tidak dapat
ditolak). Ia adalah sesuatu yang dapat diindera maka dalilnya adalah aqli.
Qadar adalah khasiat sesuatu yang dimunculkan (dimanfaatkan)
oleh manusia, seperti kemampuan membakar yang ada pada api, kemampuan memotong
yang ada pada pisau. Khasiat ini adalah sesuatu yang dapat diindera, maka dalil
untuk perkara qadar adalah aqli.
Pembahasan tadi dilihat dari
sisi jenis dalil-dalil akidah Islam. Adapun dalil masing-masing (topik) akidah
Islam adalah sebagai berikut. Dalil adanya Allah terdapat di setiap benda.
Keberadaan segala sesuatu yang dapat diindera merupakan perkara yang pasti.
Bahwa segala sesuatu itu membutuhkan kepada yang lain juga merupakan perkara yang
pasti. Dan segala sesuatu itu adalah makhluk yang diciptakan oleh al-Khaliq
adalah perkara yang pasti, karena (segala sesuatu itu) membutuhkan, artinya
diciptakan. Sifat membutuhkan menunjukkan bahwa sebelumnya ada sesuatu sehingga
segala sesuatu itu tidak bersifat azali (tak berawal dan tak berakhir-pen). Di
sini tidak bisa dikatakan bahwa karena sesuatu itu membutuhkan kepada sesuatu
yang lain berarti segala sesuatu itu saling melengkapi satu dengan yang
lainnya. Jadi secara keseluruhan tidak membutuhkan. Pernyataan tersebut tidak bisa
diterima, karena bukti menunjukkan pada (keberadaan) sesuatu (benda) tertentu
seperti ballpen, teko, kertas dan yang sejenisnya. Bukti atas ballpen, teko,
dan kertas adalah semuanya diciptakan oleh penciptanya. Benda-benda tadi dari
sisi (keberadaannya) adalah sesuatu yang membutuhkan kepada yang lain, tanpa
memandang lagi yang mewujudkannya. Sesuatu yang lain yang dibutuhkan oleh
segala sesuatu (antara lain benda-benda-pen) tentu berbeda dengan apa yang dapat disaksikan dan diindera.
Ketika sesuatu membutuhkan kepada yang lain menjadi bukti bahwa dia tidak
bersifat azali, dia adalah makhluk. Pernyataan bahwa sesuatu itu –dilihat dari
segi asalnya- adalah materi dan membutuhkan kepada materi tidak dapat diterima
. Artinya dia membutuhkan kepada dirinya sendiri bukan kepada yang lain, sehingga
disimpulkan bahwa dia tidak bersifat membutuhkan. Pernyataan seperti ini tidak
bisa diterima karena jika diterima bahwa sesuatu itu materi dan dia membutuhkan
kepada materi (lainnya) berarti dia sebenarnya membutuhkan kepada selain dari
materi bukan membutuhkan terhadap dirinya sendiri. Itu karena materi itu
sendiri tidak mampu menyempurnakan (memenuhi) kebutuhan materi yang lain,
sehingga harus ada sesuatu selain materi agar bisa memenuhi kebutuhannya.
Materi membutuhkan kepada yang lain bukan kepada dirinya sendiri. Misalnya air,
agar berubah menjadi uap membutuhkan panas. Lalu kita sepakati bahwa panas itu
adalah materi dan air juga materi. Dalam hal ini tidak cukup dengan adanya
panas saja otomatis air tadi berubah, akan tetapi harus ada kadar panas
tertentu (derajat/suhu tertentu) agar menghasilkan perubahan materi. Kadar
panas tertentu itulah yang dibutuhkan oleh air. Kadar panas (derajat/suhu tertentu)
tersebut bukan air dan bukan pula panas, dia bukanlah materi. Materi dipaksa
untuk tunduk terhadap kadar (panas) tadi. Jadi materi tadi membutuhkan kepada
sesuatu (lain) yang menentukan kadar tadi. Jadi membutuhkan kepada selain
materi. Kebutuhan materi terhadap (sesuatu) yang lain merupakan perkara yang
pasti. Berarti materi bersifat membutuhkan, diciptakan oleh Sang Pencipta.
Kesimpulannya adalah bahwa segala sesuatu yang dapat dijangkau dan diindera itu
diciptakan oleh Sang Pencipta.
Pencipta harus bersifat azali,
tidak ada permulaan. Jika tidak bersifat azali berarti dia adalah makhluk bukan
al-Khaliq (Pencipta). Keberadaan-Nya sebagai Pencipta mengharuskan-Nya bersifat
azali. Jadi, Sang Pencipta itu secara pasti harus bersifat azali. Apabila kita mencermati
segala sesuatu yang memungkinkannya bisa dianggap sebagai Pencipta, maka
terdapat tiga kemungkinan, yaitu bisa Pencipta itu materi, alam semesta
(tabi’ah), atau Allah Swt. Keberadaan materi sebagai Pencipta adalah batil
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa materi membutuhkan kepada
sesuatu yang menentukan kadar baginya agar terjadi perubahan, sehingga tidak
bersifat azali. Dan sesuatu yang tidak bersifat azali bukanlah Sang Pencipta.
Begitu pula bahwa alam semesta itu adalah Sang Pencipta, batil. Karena alam
adalah kumpulan dari segala sesuatu
beserta dengan sistem yang mengaturnya. Dan segala sesuatu di alam semesta ini
berjalan sesuai dengan sistem peraturan ini.
Keteraturan tersebut bukan
timbul dari peraturan itu sendiri, karena tanpa keberadaan sesuatu yang diatur
maka tidak akan ada peraturan. Dia tidak muncul dari sesuatu, karena keberadaan
sesuatu itu tidak secara otomatis menciptakan peraturan. Adanya sesuatu itu tidak
menjadikannya teratur (karena dirinya) sendiri tanpa ada (sesuatu) yang
mengatur. Dia juga tidak muncul dari kumpulan sesuatu beserta peraturannya,
karena keteraturan itu tidak akan terjadi kecuali sesuai dengan hal (sesuatu)
lain dimana peraturan beserta segala sesuatu itu tunduk kepadanya. Sesuatu yang
lain (khusus ini) -bagi segala sesuatu termasuk peraturannya- inilah yang
mewujudkan keteraturan. Sesuatu yang lain ini pula yang (mampu) memaksa segala
sesuatu termasuk peraturannya. Dan keteraturan tidak akan terjadi kecuali
sesuai dengan kehendak-Nya. Itu tidak muncul dari peraturan, juga bukan dari
sesuatu ataupun kumpulannya. Ia muncul di luar perkara-perkara (benda-benda maupun
peraturan-pen) tadi. Alam semesta (tabi’ah) tidak mampu menggerakkan kecuali
sesuai (kehendak lain) yang berasal dari luar alam semesta. Alam semesta
membutuhkan kepada faktor lain sehingga alam semesta tidak bersifat azali. Dan
sesuatu yang tidak bersifat azali bukanlah al-Khaliq (Pencipta). Dengan
demikian tidak ada lagi (pilihan) bahwa yang menjadi Pencipta adalah yang
memiliki sifat azali, yaitu Allah Swt.
Keberadaan Allah itu adalah
perkara yang dapat diindera dan dapat dijangkau melalui panca indera. Sesuatu
yang dapat dijangkau dan diindera telah menunjukkan kebutuhannya kepada yang
bersifat azali, yaitu kepada adanya Sang Pencipta. Manusia itu semakin memikirkan
seluruh ciptaan Allah dan mencermati alam semesta serta berusaha memperhatikan
waktu dan tempat maka dia akan melihat dirinya yang amat kecil sekali
dibandingkan dengan alam semesta yang bergerak. Dia akan melihat bahwa alam
semesta yang sangat beragam itu, seluruhnya berjalan dengan cara tertentu dan
sistem yang baku. Dengan (cara seperti) itu keberadaan Sang Pencipta dapat
dijangkau, termasuk ke-Esaan-Nya. Dan tampaklah Kebesaran dan Kekuasaan-Nya.
Apa yang dilihatnya berupa pergantian malam dan siang, pergerakan angin, adanya
laut-laut, sungai-sungai, dan planet-planet, semua itu adalah dalil-dalil aqli
dan bukti-bukti nyata yang berbicara tentang keberadaan (wujud) Allah, ke-Esaan
dan kekuasaan-Nya. Firman Allah Swt:
إِنَّ
فِى خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَـٰفِ ٱلَّيۡلِ
وَٱلنَّهَارِ وَٱلۡفُلۡكِ ٱلَّتِى تَجۡرِى فِى ٱلۡبَحۡرِ بِمَا يَنفَعُ
ٱلنَّاسَ وَمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مِن مَّآءٍ۬ فَأَحۡيَا
بِهِ ٱلۡأَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِہَا وَبَثَّ فِيہَا مِن ڪُلِّ دَآبَّةٍ۬
وَتَصۡرِيفِ ٱلرِّيَـٰحِ وَٱلسَّحَابِ ٱلۡمُسَخَّرِ بَيۡنَ ٱلسَّمَآءِ
وَٱلۡأَرۡضِ لَأَيَـٰتٍ۬ لِّقَوۡمٍ۬ يَعۡقِلُونَ (١٦٤)
Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di
laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari
langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya
dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan
yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sungguh (terdapat) tanda-tanda
(keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (TQS. al-Baqarah [2]:
164)
أَمۡ خُلِقُواْ مِنۡ غَيۡرِ شَىۡءٍ أَمۡ هُمُ ٱلۡخَـٰلِقُونَ (٣٥) أَمۡ خَلَقُواْ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضَۚ بَل لَّا يُوقِنُونَ (٣٦)
Apakah mereka diciptakan tanpa
sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah
mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa
yang mereka katakan). (TQS. ath-Thuur [52]: 35-36)
Jadi, akal mampu menjangkau
keberadaan (wujud) Allah, dan akal pula yang dijadikan sebagai metode dalam
beriman. Karena itu, Islam mewajibkan untuk menggunakan akal dan menjadikannya sebagai
pemutus dalam mengimani wujud Allah Swt. Dari sini maka dalil tentang wujud
Allah itu adalah dalil aqli.
Ada orang yang mengatakan bahwa
alam itu kekal dan bersifat azali, tidak ada awalnya. Juga ada yang mengatakan
bahwa materi itu kekal dan bersifat azali, tidak ada awalnya. Mereka mengatakan
bahwa alam tidak membutuhkan kepada yang lainnya. Dia berdiri sendiri, karena
sesuatu yang ada di alam merupakan gambaran dari bermacam-macam materi. Jadi
semuanya adalah materi. Kebutuhan sebagian terhadap sebagian yang lain bukan
termasuk sebagai kebutuhan. Kebutuhan sesuatu terhadap dirinya tidak dianggap
sebagai kebutuhan, malahan dia berdiri sendiri tidak memerlukan kepada yang
lain. Materi itu azali, tidak ada awalnya, karena dia berdiri sendiri, tidak
memerlukan kepada yang lain. Maka alam itu bersifat azali dan kekal, berdiri
sendiri, tidak memerlukan kepada yang lain.
Jawaban terhadap perkara tadi
ada dua macam, yaitu Pertama, bahwa segala sesuatu yang ada di
alam ini tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan dan mengadakan (ibda’)
sesuatu dari tidak ada (menjadi ada), baik hal itu dilakukan secara
bersama-sama ataupun sendiri-sendiri. Jika yang satu tidak mampu menciptakan
dan mengadakan sesuatu dari tidak adanya, lalu disempurnakan (dibantu) oleh
yang lain (yang juga tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan dan
mengadakan-pen), maka baik yang pertama maupun yang kedua sama-sama tidak
memiliki kemampuan untuk menciptakan dan mengadakan sesuatu dari tidak ada
menjadi ada. Ketidakmampuannya dalam menciptakan dan mengadakan sesuatu dari
tidak ada, tampak dan dapat diindera. Ini berarti dia tidak bersifat azali,
karena sesuatu yang bersifat azali, yang tidak ada permulaannya, harus terhindar
dari sifat-sifat tidak mampu (lemah), serta wajib bersifat kuasa untuk
menciptakan dan mengadakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Segala sesuatu
yang diadakan itu wujudnya harus bersandar kepadanya agar dia dikatakan azali.
Karena itu alam tidak bersifat azali dan tidak kekal. Alasannya karena alam
tidak mampu menciptakan dan mengadakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada.
Ketidakmampuan sesuatu untuk menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada
adalah bukti nyata bahwa dia tidak bersifat azali.
Kedua, telah
kami katakan bahwa sesuatu itu agar bisa memenuhi kebutuhan yang lain
membutuhkan pada kadar tertentu yang tidak mampu lagi dilewatinya.
Penjelasannya sebagai berikut. Bahwa si A membutuhkan kepada si B dan si B
membutuhkan kepada si C dan si C membutuhkan kepada si A, demikian seterusnya
yang menunjukkan kebutuhannya terhadap yang lainnya sebagai bukti bahwa
masing-masing mereka tidak bersifat azali. Sebagiannya menyempurnakan
(melengkapi) sebagian yang lain. Memenuhi kebutuhan sebagian yang lain tidak
bersifat mutlak, melainkan terjadi sesuai dengan kadar tertentu. Yaitu sesuai
dengan aturan tertentu. Tidak bisa menyempurnakan kecuali sesuai dengan aturan
tadi, atau dia tidak mampu (bersifat lemah) untuk keluar dari aturan tadi.
Sesuatu yang menyempurnakan itu tidak bisa melakukannya secara otomatis. Dia tidak
mampu untuk memenuhinya sendirian. Dia bisa memenuhinya berdasarkan aturan yang
telah mengharuskannya (yang berasal dari pihak lain-pen) dimana dia dipaksa
untuk tunduk kepadanya. Jadi, baik sesuatu yang disempurnakan maupun yang
menyempurnakan, keduanya membutuhkan kepada pihak lain yang menentukan aturan tertentu
kepada mereka berdua hingga kebutuhannya terpenuhi. Mereka berdua tidak mampu
menyalahi aturan tersebut, dan kebutuhan itu tidak akan terpenuhi tanpa adanya
aturan tersebut. Berarti pihak yang mengharuskan aturan atas mereka adalah
pihak yang dibutuhkan. Dengan demikian segala sesuatu secara keseluruhan
meskipun satu sama lain saling menyempurnakan akan tetapi tetap membutuhkan kepada
yang lain. Yaitu membutuhkan kepada pihak yang memaksanya untuk tunduk sesuai
dengan aturan tertentu. Misalnya air, agar berubah menjadi es membutuhkan titik
beku, sehingga orang mengatakan bahwa air itu materi, titik beku adalah materi
dan es itu materi. Agar materi berubah menjadi materi yang berbentuk lain, dia
membutuhkan kepada materi. Yaitu membutuhkan kepada dirinya sendiri bukan
kepada yang lain. Namun faktanya tidak seperti ini. Air agar berubah menjadi es
memerlukan suhu dengan tingkat derajat tertentu, bukan sembarang suhu.
Sementara suhu itu adalah sesuatu. Kondisinya tidak akan berubah kecuali dengan
tingkat derajat tertentu, dan itu adalah sesuatu yang lain dan dia bukanlah
suhu. Artinya, tingkat suhu yang diperlukan agar dapat mempengaruhi dan (pada
tingkat suhu tersebut-pen) air dapat berubah, bukan berasal dari air. Jika
tidak, maka air dapat berubah (menjadi es-pen) sekehendaknya. Tingkat suhu tadi
bukan berasal dari suhu, jika tidak maka pada suhu berapapun akan berubah (menjadi
es-pen). Berarti hal itu bukan berasal dari materi. Jika tidak maka perubahan itu akan terjadi
kapanpun dikehendaki oleh materi. Kenyataannya justru sangat dipengaruhi oleh
faktor selain materi. Berdasarkan hal ini maka materi itu membutuhkan kepada
sesuatu yang lain, yang mampu menentukan tingkat/kadar tertentu agar materi itu
mengalami perubahan atau berubah. Yang menentukan tingkat/kadar tersebut adalah
pihak lain. Ini berarti materi membutuhkan kepada sesuatu yang lain. Dengan
demikian materi tidak bersifat azali, karena yang bersifat azali dan yang kekal
itu tidak membutuhkan kepada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu berdiri
sendiri, tempat seluruh materi bersandar kepadanya. Ketidakmampuan materi dari
yang lainnya itu merupakan dalil yang amat jelas bahwa materi tidak bersifat
azali. Materi adalah makhluk (diciptakan). Dengan memandang secara sekilas terhadap
alam semesta manusia manapun akan mengetahui bahwa penciptaan terhadap sesuatu
-baik sesuatu itu menempati ruang maupun yang muncul dari energi- tidak mungkin
ada kecuali adanya sesuatu yang bisa dijangkau dan diindera, juga karena adanya
peraturan tertentu dengan sesuatu yang bisa dijangkau dan diindera tadi hingga memunculkan
sesuatu. Pada alam tidak terdapat penciptaan dari sesuatu yang tidak ada
menjadi ada, dan tidak terdapat penciptaan selain dari yang menentukan
kadar/tingkat atas sesuatu yang diciptakan, dimana mereka harus tunduk
kepadanya. Dengan kata lain di dunia ini tidak ada sesuatu yang mampu
menciptakan (mengadakan) dari tidak ada menjadi ada, juga tidak terdapat
sesuatu yang diciptakan tanpa memiliki kadar, yaitu tanpa aturan tertentu. Maka
sesuatu yang diciptakan (diadakan) dan telah ada di dunia ini tidak bersifat
azali maupun kekal. Segala sesuatu yang sedang diciptakan (diadakan) jelas-jelas
bahwa dia diciptakan dari sesuatu yang dapat dijangkau dan diindera. Jelas pula
bahwa keberadaannya tunduk pada kadar tertentu yang dilekatkan kepadanya.
Sedangkan segala sesuatu yang telah ada tampak jelas ketidakmampuannya untuk
menciptakan dari tidak ada menjadi ada. Jelas pula ketundukannya terhadap aturan
tertentu yang melekat padanya. Aturan tersebut bukan berasal dari dirinya
sendiri. Jika tidak, berarti ia mampu meninggalkan (aturan itu) dan tidak
tunduk kepadanya. Berarti muncul (berasal) dari yang lain. Ketidakmampuan segala
sesuatu yang bisa dijangkau dan diindera di alam ini -yaitu ketidakmampuan alam
untuk menciptakan dari tidak ada menjadi ada- dan tunduknya pada aturan yang
berasal selain dari dirinya, hal itu merupakan bukti nyata bahwa alam tidak
bersifat azali dan tidak kekal. Alam diciptakan oleh sesuatu yang bersifat
azali dan kekal.
Adapun orang yang mengatakan
bahwa penciptaan merupakan sebuah kadar (ukuran tertentu-pen) dan ketentuan
(takyif) seraya mengingkari keberadaan al-Khaliq, maka perkataan mereka ini
berarti bahwa segala sesuatu yang dapat dijangkau dan diindera termasuk aturan
tertentu yang mengikatnya, keduanya itulah yang menciptakan (dirinya
sendiri-pen). Karena kadar dan ketentuan itu tidak mungkin ada kecuali dengan
adanya sesuatu yang dapat dijangkau dan diindera serta dengan adanya aturan
tertentu yang berasal dari sesuatu yang lain. Itu berarti penciptaan tersebut
berasal dari dari dua macam unsur ini -yaitu segala sesuatu yang dapat
dijangkau dan diindera dengan aturan tertentu-. Kedua unsur ini sebagai
pencipta. Inilah yang dimaksud dengan perkataan bahwa penciptaan itu adalah
kadar dan ketentuan. Pernyataan ini tertolak. Sebab, aturan itu tidak muncul
dari segala sesuatu, juga tidak berasal dari dirinya sendiri, akan tetapi telah
dilekatkan pada segala sesuatu yang dapat dijangkau dan diindera oleh sesuatu (yang
lain) yang tidak mampu di jangkau dan diindera.
Berdasarkan penjelasan tadi
tampak bahwa tidak mungkin menjadikan kadar dan ketentuan sebagai sesuatu yang
mampu mencipta (mengadakan). Karena mustahil dia sendiri mampu mewujudkannya.
Harus ada sesuatu yang tidak mampu dijangkau dan diindera yang memaksa aturan
tertentu terhadap segala sesuatu yang bisa dijangkau dan diindera sehingga
terwujud. Dengan demikian tampak bahwa kadar dan ketentuan itu bukanlah sesuatu
(yang mampu) menciptakan, dan tidak mungkin (kadar dan ketentuan itu) mampu mewujudkannya
secara mutlak.
Apabila pencipta tidak mampu
menciptakan sesuatu yang dapat dijangkau atau diindera dari tidak ada menjadi
ada, maka tidak dapat dikatakan sebagai pencipta, karena tidak mampu mewujudkan
sesuatu sesuai dengan kehendaknya, dimana untuk mewujudkan sesuatu dia harus
tunduk bersama-sama yang lain agar bisa mewujudkan sesuatu. Artinya, dia
bersifat lemah dan tidak bersifat azali karena dia sendiri tidak mampu
menciptakan dan membutuhkan kepada yang lainnya. Yang tidak mampu dan berhajat
(kepada yang lain) itu tidak bersifat azali. Lebih dari itu makna dari Pencipta
yang sebenarnya adalah yang menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada, dan
segala sesuatu itu keberadaannya bersandar kepada-Nya saja. Sedangkan Dia tidak
bersandar kepada yang lain. Jadi, jika dia tidak mampu mewujudkan sesuatu dari
tidak ada menjadi ada dan lemah dalam menciptakan maka segala sesuatu itu tidak
lagi bersandar kepadanya. Ini menunjukkan bahwa dia bukanlah satu-satunya
pencipta. Dia bukanlah al-Khaliq. Agar dapat dikatakan sebagai al-Khaliq, maka
Dia harus mampu mewujudkan sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Dia memiliki
sifat qudrah (mampu) dan iradah (berkehendak), tidak membutuhkan kepada
sesuatu, tidak bersandar kepada sesuatu, sementara sesuatu itu bersandar kepada-Nya.
Berdasarkan hal ini maka Dialah yang mengadakan sesuatu dari tidak ada menjadi
ada supaya disebut sebagai mencipta. Dan mau tidak mau Dialah juga yang harus
mewujudkan sesuatu dari tidak ada menjadi ada sehingga Dia disebut sebagai
al-Khaliq.
Adapun dalil iman terhadap para
Malaikat adalah dalil naqli. Allah Swt berfirman:
شَهِدَ
ٱللَّهُ أَنَّهُ ۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلۡمَلَـٰٓٮِٕكَةُ
وَأُوْلُواْ ٱلۡعِلۡمِ قَآٮِٕمَۢا بِٱلۡقِسۡطِۚ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا
هُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَڪِيمُ (١٨)
Allah menyatakan bahwasanya
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang menegakkan keadilan.
Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu).
(TQS. Ali Imran [3]: 18)
لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ
وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَـٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ
ٱلۡأَخِرِ وَٱلۡمَلَـٰٓٮِٕڪَةِ وَٱلۡكِتَـٰبِ وَٱلنَّبِيِّـۧنَ
Sesungguhnya kebajikan itu ialah
beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.
(TQS. al-Baqarah [2]: 177)
ءَامَنَ
ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۚ
كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَـٰٓٮِٕكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ
Demikian pula orang-orang yang
beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
dan rasulrasul-Nya.(TQS. al-Baqarah [2]: 285)
يَـٰٓأَيُّہَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ ءَامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَٱلۡكِتَـٰبِ
ٱلَّذِى نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَٱلۡڪِتَـٰبِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ مِن
قَبۡلُۚ وَمَن يَكۡفُرۡ بِٱللَّهِ وَمَلَـٰٓٮِٕكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ
وَرُسُلِهِۦ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَـٰلاَۢ بَعِيدًا
(١٣٦)
Barangsiapa yang kafir kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitabkitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari
kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (TQS. an-Nisa
[4]: 136)
Sedangkan dalil iman terhadap
kitab-kitab terdapat perbedaan antara iman kepada al-Quran dengan iman kepada
kitab samawi lainnya. Dalil yang menunjukkan bahwa al-Quran itu berasal dari Allah
dan al-Quran merupakan kalamullah adalah dalil aqli, karena al-Quran adalah
sesuatu yang bisa diindera, dan memungkinkan bagi akal untuk menjangkau bahwa
keberadaannya dari sisi Allah Swt. Al-Quran merupakan ungkapan berbahasa Arab
dalam bentuk lafadz dan kalimat-kalimatnya. Orang-orang Arab juga berbicara
dengan ungkapan-ungkapannya, diantaranya syair dan prosa dengan berbagai macam
coraknya. Ungkapan-ungkapan mereka terpelihara dalam berbagai kitab dan diriwayatkan
melalui hafalan yang dibawa oleh generasi ke generasi dan diceritakan oleh satu
dengan yang lainnya. Dari sini muncul beberapa kemungkinan (tentang
al-Quran-pen).
Pertama, mungkin
corak ungkapan mereka itu berasal dari mereka sendiri. Artinya, telah diungkapkan
oleh orang Arab yang sangat fasih. Kedua, mungkin bukan corak
ungkapan mereka. Berarti telah diungkapkan oleh selain orang Arab. Ketiga,
mungkin saja orang Arab mampu mengungkapkan yang semisal al-Quran, atau mungkin
juga orang Arab itu tidak mampu melontarkan ungkapan yang seperti al-Quran,
padahal al-Quran merupakan ungkapan berbahasa Arab. Jika mereka mampu
mengungkapkan yang semisal dengan al-Quran berarti mereka juga akan mampu
mendatangkan yang semisal dengan al-Quran. Dengan kata lain al-Quran itu adalah
ungkapan manusia seperti mereka. Namun jika mereka tidak mampu mendatangkan
yang semisal dengan al-Quran padahal al-Quran itu adalah ungkapan berbahasa
Arab dan mereka adalah orang-orang yang paling fasih dan pandai dikalangan
orang-orang Arab, berarti al-Quran itu bukanlah ungkapan manusia.
Orang yang mengamati al-Quran
dan mengamati ungkapan orang-orang Arab akan menjumpai bahwa al-Quran memiliki
ciri khas, berupa corak ungkapan yang tidak pernah diucapkan dikalangan bangsa
Arab. Mereka tidak pernah mendatangkan gaya ungkapan seperti ini, baik sebelum
diturunkannya al-Quran maupun sesudahnya, sampai-sampai mereka tidak mampu
mengikuti dan meniru uslubnya. Ini menunjukkan bahwa orang-orang Arab tidak
pernah menggunakan ungkapan perkataan tersebut. Artinya, al-Quran itu bukan
perkataan mereka. Disamping itu telah terbukti melalui periwayatan yang mutawatir,
yang menunjukkan kepastian dan keyakinan bahwa orang-orang Arab tidak mampu
mendatangkan ungkapan yang semisal dengan al-Quran, terlebih lagi adanya
tantangan dari al-Quran terhadap mereka. Al-Quran telah menceriterakan tentang
mereka:
وَإِن
ڪُنتُمۡ فِى رَيۡبٍ۬ مِّمَّا نَزَّلۡنَا عَلَىٰ عَبۡدِنَا فَأۡتُواْ
بِسُورَةٍ۬ مِّن مِّثۡلِهِۦ وَٱدۡعُواْ شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ
إِن كُنتُمۡ صَـٰدِقِينَ (٢٣)
Dan jika kamu (tetap) dalam
keraguan tentang al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad),
buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Quran itu dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (TQS.
al-Baqarah [2]: 23)
أَمۡ
يَقُولُونَ ٱفۡتَرَٮٰهُۖ قُلۡ فَأۡتُواْ بِسُورَةٍ۬ مِّثۡلِهِۦ
وَٱدۡعُواْ مَنِ ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ صَـٰدِقِينَ
(٣٨)
Atau (patutkah) mereka
mengatakan: ‘Muhammad membuat-buatnya’. Katakanlah: ‘(Kalau benar yang kamu
katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa
yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang
yang benar’. (TQS. Yunus [10]:38)
أَمۡ
يَقُولُونَ ٱفۡتَرَٮٰهُۖ قُلۡ فَأۡتُواْ بِعَشۡرِ سُوَرٍ۬ مِّثۡلِهِۦ
مُفۡتَرَيَـٰتٍ۬ وَٱدۡعُواْ مَنِ ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن
كُنتُمۡ صَـٰدِقِينَ (١٣)
Bahkan mereka mengatakan:
‘Muhammad telah membuat-buat al-Quran itu’. Katakanlah: ‘(Kalau demikian), maka
datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah
orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang
orang-orang yang benar’. (TQS. Huud [11]: 13)
قُل
لَّٮِٕنِ ٱجۡتَمَعَتِ ٱلۡإِنسُ وَٱلۡجِنُّ عَلَىٰٓ أَن يَأۡتُواْ بِمِثۡلِ
هَـٰذَا ٱلۡقُرۡءَانِ لَا يَأۡتُونَ بِمِثۡلِهِۦ وَلَوۡ كَانَ بَعۡضُہُمۡ
لِبَعۡضٍ۬ ظَهِيرً۬ا (٨٨)
Katakanlah: ‘Sesungguhnya jika
manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Quran ini, niscaya
mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian
mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain’. (TQS. al-Isra [17]: 88)
Meskipun al-Quran melontarkan
tantangan yang kuat akan tetapi mereka tidak mampu mendatangkan yang semisal
dengan al-Quran. Apabila sudah terbukti bahwa al-Quran tidak pernah diungkapkan
oleh orang-orang Arab dan mereka tidak mampu mendatangkan yang semisalnya, maka
jelas bahwa al-Quran itu berasal dari Allah dan al-Quran itu adalah kalamullah.
Mustahil orang-orang selain Arab yang mengungkapkannya, karena al-Quran adalah ungkapan
berbahasa Arab. Lagi pula al-Quran telah membuat orang-orang Arab tidak
berdaya. Tidak bisa juga dikatakan bahwa al-Quran itu adalah perkataan Nabi
Muhammad, karena Nabi Muhammad sendiri berbahasa Arab dan dari golongan Arab.
Apabila sudah terbukti kelemahan orang-orang Arab, maka dengan sendirinya
terbukti pula kelemahan pada Nabi, karena beliau adalah orang Arab.
Ditambah lagi bahwa corak
ungkapan -dari segi lafadz dan kalimat-kalimatnya- setiap manusia itu tunduk
(mengikuti) sesuai dengan apa yang telah menjadi kebiasan pada zamannya, atau
sesuatu yang diriwayatkan dari perkataan orang-orang terdahulu. Ketika seseorang
memperbaharui ungkapan-ungkapannya maka dia akan memperbaharui pula penggunaan
lafadz dan makna-makna yang baru, atau image baru. Dan mustahil dia mengucapkan
sesuatu yang belum pernah diketahuinya. Yang disaksikan dalam corak/gaya
al-Quran, bahwa ungkapan-ungkapan yang ada di dalamnya -dilihat dari segi lafadz
dan kalimat-kalimatnya- tidak dikenal di masa Rasul, begitu juga di masa
sebelumnya dikalangan orang-orang Arab. Oleh karenanya mustahil secara aqli
orang-orang Arab -sebagai manusia- mengungkapkan sesuatu yang belum pernah
dikenalnya. Jadi, mustahil pula corak ungkapan al-Quran itu berasal dari lafadz
dan kalimat-kalimat Nabi Muhammad, karena beliau belum pernah mengenalnya. Maka al-Quran itu adalah kalamullah
yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad, dan berasal dari sisi Allah. Perkara ini
telah terbukti dengan dalil aqli ketika turunnya al-Quran. Juga terbukti dengan
dalil aqli pada masa sekarang, karena manusia tetap tidak mampu untuk
mendatangkan yang semisal dengan al-Quran, dan kelemahan ini tetap dirasakan
secara inderawi oleh semesta alam.
Kesimpulannya bahwa al-Qur’an
itu (memiliki kemungkinan) berasal dari salah satu dibawah ini. Yaitu mungkin
berasal dari orang-orang Arab atau dari Muhammad atau dari Allah. Karena
semuanya berbahasa Arab. Tidak mungkin al-Quran itu datang selain dari tiga
(kemungkinan) ini. Kemungkinan (pertama) bahwa al-Quran itu dari orang-orang
Arab adalah batil (tertolak), karena mereka tidak mampu mendatangkan yang
semisal dengan al-Quran. Mereka mengakui kelemahannya. Dan kenyataannya
sampai sekarangpun mereka tetap tidak mampu mendatangkan yang semisal dengan
al-Quran. Ini menunjukkan bahwa al-Quran bukan berasal dari orang-orang Arab. Maka
tinggal dua kemungkinannya, mungkin dari Muhammad atau dari Allah. Kemungkinan
(kedua) bahwa al-Quran itu dari Nabi Muhammad adalah batil (tertolak), karena
beliau juga adalah orang Arab. Betapapun jeniusnya tidak mungkin melebihi
orang-orang yang ada dimasanya. Apabila orang-orang Arab lemah (tidak mampu),
maka Nabi Muhammad pun tidak mampu. Dan Nabi Muhammad adalah salah seorang
diantara mereka. Telah diriwayatkan dari Nabi Muhammad melalui riwayat yang
mutawatir, sabda beliau:
Jika kita bandingkan ucapan
Muhammad dengan kalam al-Quran maka tidak terdapat kemiripan diantara keduanya.
Ini menunjukkan bahwa al-Quran bukanlah ucapan Muhammad, melainkan
kalamullah.
Disamping
itu seluruh ahli syair, para penulis, para filosof danpara pemikir di dunia ini
pada permulaan (usia)nya menggunakan gaya bahasa yang sedikit lemah. Kemudian
gaya bahasa mereka mulai meningkat sampai mencapai puncak kemampuan mereka.
Karena itu uslub mereka sangat beragam dari segi tinggi rendahnya. Terlebih
lagi terdapat pemikiran yang lemah (tidak masuk akal) dan ungkapan-ungkapan yang
janggal dalam perkataan mereka. Sedangkan kita jumpai bahwa al-Quran sejak awal
mula diturunkannya ayat pertama:
ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ (١)
Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang menciptakan. (TQS. al-‘Alaq [96]: 1)
Sampai ayat yang terakhir
diturunkan:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ (٢٧٨)
Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut). (TQS. al-Baqarah [2]: 278)
Uslubnya (gaya bahasa) tetap
(tidak berubah) yang penuh dengan ketinggian balaghah dan fashahahnya
(kefasihannya) serta ketinggian pemikiran dan ketegasan (kekuatan) ungkapan-ungkapannya.
Didalamnya tidak dijumpai satu ungkapanpun yang janggal dan tidak ditemui pula
satu pemikiranpun yang rendah atau tidak masuk akal. Al-Quran memiliki satu
corak. Semuanya dalam satu uslub yang global dan rinci bagaikan satu kalimat,
yang menunjukkan bahwa al-Quran bukanlah perkataan manusia yang memungkinkan
adanya kontradiksi dalam ungkapan-ungkapan dan pengertian-pengertiannya.
Al-Quran adalah perkataan Rabb semesta
alam. Inilah
pembahasan tentang al-Quran sebagai bagian dari kitab-kitab samawi. Islam
memerintahkan kita untuk mengimaninya. Adapun kitab-kitab samawi yang lain,
dalilnya adalah naqli bukan aqli, Allah Swt berfirman:
يَـٰٓأَيُّہَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ ءَامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَٱلۡكِتَـٰبِ
ٱلَّذِى نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَٱلۡڪِتَـٰبِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ مِن
قَبۡلُۚ
Wahai
orang-orang yang beriman tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada
kitab yangAllah turunkan kepada RasulNya, serta kepada kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. (TQS. an-Nisa [4]: 136)
لَّيۡسَ
ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ
وَلَـٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ
وَٱلۡمَلَـٰٓٮِٕڪَةِ وَٱلۡكِتَـٰبِ وَٱلنَّبِيِّـۧنَ
Sesungguhnya
kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi. (TQS. al-Baqarah [2]: 177)
وَأَنزَلۡنَآ
إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقً۬ا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ
ٱلۡڪِتَـٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِۖ
Dan
Kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa
yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap kitab-kitab yang lain itu. (TQS. al-Maidah [5]: 48)
وَهَـٰذَا
كِتَـٰبٌ أَنزَلۡنَـٰهُ مُبَارَكٌ۬ مُّصَدِّقُ ٱلَّذِى بَيۡنَ يَدَيۡهِ
Dan
ini (al-Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan, yang diberkahi,
membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya. (TQS. al-An’am [6]: 92)
وَمَا
كَانَ هَـٰذَا ٱلۡقُرۡءَانُ أَن يُفۡتَرَىٰ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلَـٰكِن
تَصۡدِيقَ ٱلَّذِى بَيۡنَ يَدَيۡهِ
Tidaklah
mungkin al-Quran ini dibuat oleh selain Allah, akan tetapi (al-Quran itu)
membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. (TQS.Yunus [10]: 37)
Adapun dalil iman kepada para
rasul, terdapat perbedaan antara iman terhadap Nabi Muhammad dengan para Rasul
yang lain. Dalil atas kenabian Muhammad adalah dalil aqli bukan dalil naqli.
Dalil orang yang mengaku bahwa dia adalah Nabi dan Rasul adalah mukjizat-mukjizat
yang dibawanya sebagai bukti atas kenabian dan kerasulannya, dan syariat yang
dibawanya untuk memperkuat mukjizat tersebut. Mukjizat Muhammad yang merupakan
dalil atas kenabian dan kerasulannya adalah al-Quran dan syariat yang beliau
bawa adalah hanyalah al-Quran. Maka al-Quran itu sendiri mukjizat dan sampai sekarangpun
tetap merupakan mukjizat. Karena telah ditetapkan dengan jalan mutawatir --yang
merupakan dalil yang qath’i dan yakin— bahwa yang membawa al-Quran adalah Nabi
Muhammad, Ini merupakan bukti yang pasti dan telah terbukti pula bahwa al-Quran
adalah syariat Allah dan datang dari Allah. Tidak ada yang datang dengan
membawa syariat Allah kecuali para Nabi dan Rasul. Maka hal ini menjadi dalil aqli
bahwa Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul dari Allah Swt.
Sedangkan mukjizat-mukjizat para
Nabi lainnya telah sirna dan berlalu. Kitab-kitabnya yang ada sekarang tidak
dibangun dengan menggunakan dalil aqli untuk menyatakan bahwa kitab-kitab itu
dari Allah, karena mukjizat yang mendukung bahwa kitab-kitab tersebut dari
Allah telah terputus dan telah sirna. Maka untuk menyatakan mereka itu Nabi
atau Rasul tidak dibangun dengan dalil aqli, kecuali Sayidina Muhammad saw.
Kenabian dan kerasulan mereka dibuktikan melalui dalil naqli. Allah Swt
berfirman:
ءَامَنَ
ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۚ
كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَـٰٓٮِٕكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ لَا
نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٍ۬ مِّن رُّسُلِهِۦۚ
Rasul telah beriman kepada
al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang
yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitabNya,
dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): ‘Kami tidak membeda-bedakan antara
seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya’. (TQS. al-Baqarah [2]:
285)
قُولُوٓاْ
ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَمَآ أُنزِلَ إِلَيۡنَا وَمَآ أُنزِلَ إِلَىٰٓ
إِبۡرَٲهِـۧمَ وَإِسۡمَـٰعِيلَ وَإِسۡحَـٰقَ وَيَعۡقُوبَ وَٱلۡأَسۡبَاطِ
وَمَآ أُوتِىَ مُوسَىٰ وَعِيسَىٰ وَمَآ أُوتِىَ ٱلنَّبِيُّونَ مِن
رَّبِّهِمۡ لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٍ۬ مِّنۡهُمۡ وَنَحۡنُ لَهُ ۥ
مُسۡلِمُونَ (١٣٦)
Katakanlah (hai orang-orang
mukmin): ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan
apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya dan
apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan
seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’. (TQS.
al-Baqarah [2]: 136)
Adapun dalil iman terhadap hari
akhir yaitu hari kiamat, adalah dalil naqli bukan dalil aqli. Sebab, hari
kiamat tidak dapat dijangkau oleh akal. Allah Swt berfirman:
وَهَـٰذَا
كِتَـٰبٌ أَنزَلۡنَـٰهُ مُبَارَكٌ۬ مُّصَدِّقُ ٱلَّذِى بَيۡنَ يَدَيۡهِ
وَلِتُنذِرَ أُمَّ ٱلۡقُرَىٰ وَمَنۡ حَوۡلَهَاۚ وَٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ
بِٱلۡأَخِرَةِ يُؤۡمِنُونَ بِهِۦۖ
Dan agar kamu memberi peringatan
kepada (penduduk) Ummul Qura (Makkah) dan orang-orang yang diluar
lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman
kepadanya (al-Quran). (TQS. al-An’am [6]: 92)
إِلَـٰهُكُمۡ إِلَـٰهٌ۬ وَٲحِدٌ۬ۚ فَٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡأَخِرَةِ قُلُوبُہُم مُّنكِرَةٌ۬ وَهُم مُّسۡتَكۡبِرُونَ (٢٢)
Maka orang-orang yang tidak
beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan
mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong. (TQS. an-Nahl [16]: 22)
لِلَّذِينَ
لَا يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡأَخِرَةِ مَثَلُ ٱلسَّوۡءِۖ وَلِلَّهِ ٱلۡمَثَلُ
ٱلۡأَعۡلَىٰۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ (٦٠)
Orang-orang yang tidak beriman
kepada kehidupan akhirat mempunyai sifat yang buruk. (TQS. an-Nahl [16]: 60)
وَأَنَّ ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡأَخِرَةِ أَعۡتَدۡنَا لَهُمۡ عَذَابًا أَلِيمً۬ا (١٠)
Dan sesungguhnya orang-orang
yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat Kami sediakan bagi mereka azab yang
pedih. (TQS. al-Isra [17]: 10)
فَإِذَا نُفِخَ فِى ٱلصُّورِ نَفۡخَةٌ۬ وَٲحِدَةٌ۬ (١٣) وَحُمِلَتِ ٱلۡأَرۡضُ وَٱلۡجِبَالُ فَدُكَّتَا دَكَّةً۬ وَٲحِدَةً۬ (١٤) فَيَوۡمَٮِٕذٍ۬ وَقَعَتِ ٱلۡوَاقِعَةُ (١٥) وَٱنشَقَّتِ ٱلسَّمَآءُ فَهِىَ يَوۡمَٮِٕذٍ۬ وَاهِيَةٌ۬ (١٦) وَٱلۡمَلَكُ عَلَىٰٓ أَرۡجَآٮِٕهَاۚ وَيَحۡمِلُ عَرۡشَ رَبِّكَ فَوۡقَهُمۡ يَوۡمَٮِٕذٍ۬ ثَمَـٰنِيَةٌ۬ (١٧) يَوۡمَٮِٕذٍ۬ تُعۡرَضُونَ لَا تَخۡفَىٰ مِنكُمۡ خَافِيَةٌ۬ (١٨)
Maka apabila sangkakala ditiup
sekali tiup dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya
sekali bentur. Maka pada hari itu terjadilah hari kiamat, dan terbelahlah
langit, karena pada hari itu langit menjadi lemah. Dan malaikat-malaikat berada
di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung
‘Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka. Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada
Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah). (TQS.
al-Haaqqah [69]: 13-18)
Rasulullah saw bersabda:
Inilah perkara-perkara yang
harus diimani, terdiri dari lima perkara. Yaitu beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat. Ditambah
juga beriman kepada qadha dan qadar. Istilah iman tidak bisa dilepaskan dengan
ke-Islaman seseorang. Seseorang tidak dianggap muslim kecuali jika dia
mengimani lima perkara ini serta beriman kepada qadha dan qadar. Allah Swt berfirman:
يَـٰٓأَيُّہَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ ءَامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَٱلۡكِتَـٰبِ
ٱلَّذِى نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَٱلۡڪِتَـٰبِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ مِن
قَبۡلُۚ وَمَن يَكۡفُرۡ بِٱللَّهِ وَمَلَـٰٓٮِٕكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ
وَرُسُلِهِۦ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَـٰلاَۢ بَعِيدًا
(١٣٦)
Wahai orang-orang yang beriman
tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah
turunkan kepada Rasul-Nya, serta kepada kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, dan hari
kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (TQS. an-Nisa
[4]: 136)
Al-Quran dan hadits telah
menetapkan lima perkara ini dalam bentuk yang sangat jelas, disertai sebutan
dan perkaranya. Tidak ada iman tanpa adanya lima perkara ini sesuai dengan
keputusan yang jelas dan pasti tentang perkara tertentu yang disertai namanya sebagaimana
yang telah disinggung. Nash-nash tersebut adalah nash-nash yang qath’i
ats-tsubut (nash-nash yang pasti sumbernya, yaitu al-Quran dan hadits-hadits
mutawatir-pen) dan qath’i dilalah (yang pasti penunjukannya maknanya-pen) dan
menunjuk hanya pada lima perkara ini saja, tidak lebih.
Memang benar, telah disinggung
iman terhadap qadar, seperti yang tercantum di dalam hadits tentang Jibril.
Pada sebagian riwayat Jibril telah datang dan berkata:
Hanya saja hadits tersebut
adalah hadits ahad. Terlebih lagi bahwa yang dimaksud dengan qadar di sini
adalah ilmu Allah, bukan qadha dan qadar yang menjadi obyek perselisihan (dalam pemahaman). Iman terhadap qadha
dan qadar -sesuai dengan nama dan perkaranya- telah menjadi obyek perselisihan
tentang pemahamannya. Tidak terdapat nash yang qath’i (pasti) tentang perkara ini.
Hanya saja beriman terhadap perkaranya sebagai bagian dari aqidah merupakan
perkara yang wajib diimani. Sebutan dan perkaranya (yaitu qadha dan qadar-pen)
sama sekali tidak dikenal pada masa sahabat. Tidak ada nash yang shahih dengan
nama tersebut. Istilah itu terkenal pada awal masa tabi’in. Sehingga sejak saat
itu mulai dikenal dan dibahas. Yang membawa dan
menjadikannya sebagai topik pembahasan adalah para ahli kalam. Perkara ini
tidak pernah muncul sebelum timbulnya ilmu kalam. Tidak ada yang membahasnya
dengan nama ini (qadha dan qadar) dan perkaranya kecuali dikalangan ahli kalam,
yaitu setelah berakhirnya abad pertama hijriah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar