Jumat, 07 Oktober 2016

Akidah Islam


AKIDAH ISLAM


Akidah Islam adalah iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, qadha dan qadar baik buruknya dari Allah Swt. Makna iman adalah pembenaran secara pasti (tashdiq al-jazim) sesuai dengan kenyataan berdasarkan dalil. Jika pembenaran saja tanpa disertai dalil tidak digolongkan iman, karena tidak termasuk pembenaran yang pasti kecuali apabila bersumber dari dalil. Jika tidak disertai dalil maka tidak ada kepastian. Jadi, kalau Cuma pembenaran saja terhadap suatu berita tidak termasuk iman. Berdasarkan hal ini pembenaran harus berdasarkan dalil agar menjadi bersifat pasti, atau agar tergolong iman. Ini berarti adanya dalil terhadap segala sesuatu yang dituntut untuk diimani adalah suatu hal yang pasti agar pembenaran terhadap sesuatu tadi tergolong iman. Maka adanya dalil merupakan syarat pokok adanya keimanan, tanpa melihat lagi apakah hal itu shahih (benar) atau fasid (rusak).

Dalil itu ada dua macam, yaitu dalil ‘aqli (akal) dan dalil naqli (dari al-Quran dan hadits-pen). Yang menentukan apakah dalil itu ‘aqli atau naqli adalah fakta dari permasalahan yang ditunjukkan untuk diimani. Apabila permasalahannya adalah fakta yang bisa diindera maka dipastikan dalilnya ‘aqli bukan naqli. Namun jika permasalahannya tidak dapat diindera maka dalilnya adalah naqli. Dalil naqli itu sendiri diperoleh dari perkara yang bisa diindera. Maksudnya keberadaannya sebagai dalil tercakup didalam perkara yang dapat diindera. Karena itu dalil naqli digolongkan sebagai dalil yang layak untuk diimani tergantung pada dalil aqli dalam menetapkannya sebagai dalil.

Orang yang mendalami perkara yang dituntut akidah Islam untuk diimani akan menjumpai bahwa iman kepada (wujud) Allah dalilnya adalah aqli. Alasannya perkara tersebut -yaitu adanya al-Khaliq bagi segala yang ada- dapat dijangkau dengan panca indera. Namun, iman terhadap (keberadaan) malaikat dalilnya adalah naqli. Alasannya keberadaan malaikat tidak dapat dijangkau indera. Malaikat tidak bisa dijangkau zatnya dan tidak bisa dijangkau dengan apapun yang menunjukkan atas (keberadaan)nya. Sedangkan iman terhadap kitab-kitab Allah dapat dijabarkan sebagai berikut. Jika yang dimaksud adalah iman terhadap al-Quran maka dalilnya aqli, karena al-Quran dapat diindera dan dijangkau. Demikian pula kemukjizatan al-Quran dapat diindera sepanjang zaman. Tetapi jika yang dimaksud adalah iman terhadap kitab-kitab selain al-Quran, seperti Taurat, Injil dan Zabur, maka dalilnya adalah naqli. Alasannya bahwa kitab-kitab ini adalah dari sisi Allah tidak dapat dijangkau (keberadaannya) sepanjang zaman. Kitab-kitab tersebut adalah dari sisi Allah dan dapat dijangkau keberadaanya tatkala ada Rasul yang membawanya sebagai mukjizat. Kemukjizatannya berhenti saat waktunya berakhir. Jadi, mukjizat tersebut tidak bisa dijangkau oleh orang-orang (pada masa) setelahnya. Namun sampai kepada kita berupa berita yang mengatakan bahwa kitab tersebut berasal dari Allah dan diturunkan kepada Rasul. Karena itu dalilnya naqli bukan aqli, karena akal –di setiap zaman- tidak mampu menjangkau bahwa kitab itu adalah kalam Allah dan akal tidak mampu mengindera kemukjizatannya. Begitu pula halnya iman terhadap para Rasul. Iman terhadap Rasul, Muhammad saw dalilnya aqli, karena pengetahuan akan al-Quran sebagai kalam Allah dan ia dibawa oleh Rasul, Muhammad adalah sesuatu yang dapat diindera. Dengan mengindera al-Quran dapat diketahui bahwa Muhammad itu Rasulullah. Hal itu dapat dijumpai sepanjang zaman dan setiap generasi. Sedangkan iman terhadap para Nabi dalilnya adalah naqli, karena dalil (bukti) kenabian para Nabi –yaitu mukjizat-mukjizat mereka- tidak dapat diindera kecuali oleh orang-orang yang sezaman dengan mereka. Bagi orang-orang yang datang setelah mereka hingga zaman sekarang bahkan sampai kiamat pun, mereka tidak menjumpai mukjizat tersebut. Bagi seseorang tidak ada bukti yang dapat diindera atas kenabiannya. Karena itu bukti atas kenabiannya bukan dengan dalil aqli melainkan dengan dalil naqli. Lain lagi bukti atas kenabian Muhammad saw yang berupa mukjizat beliau. Mukjizat tersebut (selalu) ada dan dapat diindera, yaitu al-Quran. Jadi dalilnya adalah aqli. Dalil hari kiamat adalah naqli, karena hari kiamat tidak dapat diindera. lagi pula tidak ada satu pun perkara yang dapat diindera yang menunjukkan tentang hari kiamat. Dengan demikian tidak terdapat (satu) dalil aqli pun untuk hari kiamat. Dalilnya adalah naqli. Sedangkan qadha dan qadar dalilnya aqli, karena qadha adalah perbuatan manusia yang dilakukannya atau yang menimpanya (dan tidak dapat ditolak). Ia adalah sesuatu yang dapat diindera maka dalilnya adalah aqli. Qadar adalah khasiat sesuatu yang dimunculkan (dimanfaatkan) oleh manusia, seperti kemampuan membakar yang ada pada api, kemampuan memotong yang ada pada pisau. Khasiat ini adalah sesuatu yang dapat diindera, maka dalil untuk perkara qadar adalah aqli.

Pembahasan tadi dilihat dari sisi jenis dalil-dalil akidah Islam. Adapun dalil masing-masing (topik) akidah Islam adalah sebagai berikut. Dalil adanya Allah terdapat di setiap benda. Keberadaan segala sesuatu yang dapat diindera merupakan perkara yang pasti. Bahwa segala sesuatu itu membutuhkan kepada yang lain juga merupakan perkara yang pasti. Dan segala sesuatu itu adalah makhluk yang diciptakan oleh al-Khaliq adalah perkara yang pasti, karena (segala sesuatu itu) membutuhkan, artinya diciptakan. Sifat membutuhkan menunjukkan bahwa sebelumnya ada sesuatu sehingga segala sesuatu itu tidak bersifat azali (tak berawal dan tak berakhir-pen). Di sini tidak bisa dikatakan bahwa karena sesuatu itu membutuhkan kepada sesuatu yang lain berarti segala sesuatu itu saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Jadi secara keseluruhan tidak membutuhkan. Pernyataan tersebut tidak bisa diterima, karena bukti menunjukkan pada (keberadaan) sesuatu (benda) tertentu seperti ballpen, teko, kertas dan yang sejenisnya. Bukti atas ballpen, teko, dan kertas adalah semuanya diciptakan oleh penciptanya. Benda-benda tadi dari sisi (keberadaannya) adalah sesuatu yang membutuhkan kepada yang lain, tanpa memandang lagi yang mewujudkannya. Sesuatu yang lain yang dibutuhkan oleh segala sesuatu (antara lain benda-benda-pen) tentu berbeda dengan apa yang dapat disaksikan dan diindera. Ketika sesuatu membutuhkan kepada yang lain menjadi bukti bahwa dia tidak bersifat azali, dia adalah makhluk. Pernyataan bahwa sesuatu itu –dilihat dari segi asalnya- adalah materi dan membutuhkan kepada materi tidak dapat diterima . Artinya dia membutuhkan kepada dirinya sendiri bukan kepada yang lain, sehingga disimpulkan bahwa dia tidak bersifat membutuhkan. Pernyataan seperti ini tidak bisa diterima karena jika diterima bahwa sesuatu itu materi dan dia membutuhkan kepada materi (lainnya) berarti dia sebenarnya membutuhkan kepada selain dari materi bukan membutuhkan terhadap dirinya sendiri. Itu karena materi itu sendiri tidak mampu menyempurnakan (memenuhi) kebutuhan materi yang lain, sehingga harus ada sesuatu selain materi agar bisa memenuhi kebutuhannya. Materi membutuhkan kepada yang lain bukan kepada dirinya sendiri. Misalnya air, agar berubah menjadi uap membutuhkan panas. Lalu kita sepakati bahwa panas itu adalah materi dan air juga materi. Dalam hal ini tidak cukup dengan adanya panas saja otomatis air tadi berubah, akan tetapi harus ada kadar panas tertentu (derajat/suhu tertentu) agar menghasilkan perubahan materi. Kadar panas tertentu itulah yang dibutuhkan oleh air. Kadar panas (derajat/suhu tertentu) tersebut bukan air dan bukan pula panas, dia bukanlah materi. Materi dipaksa untuk tunduk terhadap kadar (panas) tadi. Jadi materi tadi membutuhkan kepada sesuatu (lain) yang menentukan kadar tadi. Jadi membutuhkan kepada selain materi. Kebutuhan materi terhadap (sesuatu) yang lain merupakan perkara yang pasti. Berarti materi bersifat membutuhkan, diciptakan oleh Sang Pencipta. Kesimpulannya adalah bahwa segala sesuatu yang dapat dijangkau dan diindera itu diciptakan oleh Sang Pencipta.

Pencipta harus bersifat azali, tidak ada permulaan. Jika tidak bersifat azali berarti dia adalah makhluk bukan al-Khaliq (Pencipta). Keberadaan-Nya sebagai Pencipta mengharuskan-Nya bersifat azali. Jadi, Sang Pencipta itu secara pasti harus bersifat azali. Apabila kita mencermati segala sesuatu yang memungkinkannya bisa dianggap sebagai Pencipta, maka terdapat tiga kemungkinan, yaitu bisa Pencipta itu materi, alam semesta (tabi’ah), atau Allah Swt. Keberadaan materi sebagai Pencipta adalah batil seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa materi membutuhkan kepada sesuatu yang menentukan kadar baginya agar terjadi perubahan, sehingga tidak bersifat azali. Dan sesuatu yang tidak bersifat azali bukanlah Sang Pencipta. Begitu pula bahwa alam semesta itu adalah Sang Pencipta, batil. Karena alam adalah kumpulan dari segala sesuatu beserta dengan sistem yang mengaturnya. Dan segala sesuatu di alam semesta ini berjalan sesuai dengan sistem peraturan ini.

Keteraturan tersebut bukan timbul dari peraturan itu sendiri, karena tanpa keberadaan sesuatu yang diatur maka tidak akan ada peraturan. Dia tidak muncul dari sesuatu, karena keberadaan sesuatu itu tidak secara otomatis menciptakan peraturan. Adanya sesuatu itu tidak menjadikannya teratur (karena dirinya) sendiri tanpa ada (sesuatu) yang mengatur. Dia juga tidak muncul dari kumpulan sesuatu beserta peraturannya, karena keteraturan itu tidak akan terjadi kecuali sesuai dengan hal (sesuatu) lain dimana peraturan beserta segala sesuatu itu tunduk kepadanya. Sesuatu yang lain (khusus ini) -bagi segala sesuatu termasuk peraturannya- inilah yang mewujudkan keteraturan. Sesuatu yang lain ini pula yang (mampu) memaksa segala sesuatu termasuk peraturannya. Dan keteraturan tidak akan terjadi kecuali sesuai dengan kehendak-Nya. Itu tidak muncul dari peraturan, juga bukan dari sesuatu ataupun kumpulannya. Ia muncul di luar perkara-perkara (benda-benda maupun peraturan-pen) tadi. Alam semesta (tabi’ah) tidak mampu menggerakkan kecuali sesuai (kehendak lain) yang berasal dari luar alam semesta. Alam semesta membutuhkan kepada faktor lain sehingga alam semesta tidak bersifat azali. Dan sesuatu yang tidak bersifat azali bukanlah al-Khaliq (Pencipta). Dengan demikian tidak ada lagi (pilihan) bahwa yang menjadi Pencipta adalah yang memiliki sifat azali, yaitu Allah Swt.

Keberadaan Allah itu adalah perkara yang dapat diindera dan dapat dijangkau melalui panca indera. Sesuatu yang dapat dijangkau dan diindera telah menunjukkan kebutuhannya kepada yang bersifat azali, yaitu kepada adanya Sang Pencipta. Manusia itu semakin memikirkan seluruh ciptaan Allah dan mencermati alam semesta serta berusaha memperhatikan waktu dan tempat maka dia akan melihat dirinya yang amat kecil sekali dibandingkan dengan alam semesta yang bergerak. Dia akan melihat bahwa alam semesta yang sangat beragam itu, seluruhnya berjalan dengan cara tertentu dan sistem yang baku. Dengan (cara seperti) itu keberadaan Sang Pencipta dapat dijangkau, termasuk ke-Esaan-Nya. Dan tampaklah Kebesaran dan Kekuasaan-Nya. Apa yang dilihatnya berupa pergantian malam dan siang, pergerakan angin, adanya laut-laut, sungai-sungai, dan planet-planet, semua itu adalah dalil-dalil aqli dan bukti-bukti nyata yang berbicara tentang keberadaan (wujud) Allah, ke-Esaan dan kekuasaan-Nya. Firman Allah Swt:

إِنَّ فِى خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَـٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ وَٱلۡفُلۡكِ ٱلَّتِى تَجۡرِى فِى ٱلۡبَحۡرِ بِمَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ وَمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مِن مَّآءٍ۬ فَأَحۡيَا بِهِ ٱلۡأَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِہَا وَبَثَّ فِيہَا مِن ڪُلِّ دَآبَّةٍ۬ وَتَصۡرِيفِ ٱلرِّيَـٰحِ وَٱلسَّحَابِ ٱلۡمُسَخَّرِ بَيۡنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ لَأَيَـٰتٍ۬ لِّقَوۡمٍ۬ يَعۡقِلُونَ (١٦٤)

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (TQS. al-Baqarah [2]: 164)

أَمۡ خُلِقُواْ مِنۡ غَيۡرِ شَىۡءٍ أَمۡ هُمُ ٱلۡخَـٰلِقُونَ (٣٥) أَمۡ خَلَقُواْ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضَ‌ۚ بَل لَّا يُوقِنُونَ (٣٦)

Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). (TQS. ath-Thuur [52]: 35-36)

Jadi, akal mampu menjangkau keberadaan (wujud) Allah, dan akal pula yang dijadikan sebagai metode dalam beriman. Karena itu, Islam mewajibkan untuk menggunakan akal dan menjadikannya sebagai pemutus dalam mengimani wujud Allah Swt. Dari sini maka dalil tentang wujud Allah itu adalah dalil aqli.

Ada orang yang mengatakan bahwa alam itu kekal dan bersifat azali, tidak ada awalnya. Juga ada yang mengatakan bahwa materi itu kekal dan bersifat azali, tidak ada awalnya. Mereka mengatakan bahwa alam tidak membutuhkan kepada yang lainnya. Dia berdiri sendiri, karena sesuatu yang ada di alam merupakan gambaran dari bermacam-macam materi. Jadi semuanya adalah materi. Kebutuhan sebagian terhadap sebagian yang lain bukan termasuk sebagai kebutuhan. Kebutuhan sesuatu terhadap dirinya tidak dianggap sebagai kebutuhan, malahan dia berdiri sendiri tidak memerlukan kepada yang lain. Materi itu azali, tidak ada awalnya, karena dia berdiri sendiri, tidak memerlukan kepada yang lain. Maka alam itu bersifat azali dan kekal, berdiri sendiri, tidak memerlukan kepada yang lain.

Jawaban terhadap perkara tadi ada dua macam, yaitu Pertama, bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan dan mengadakan (ibda’) sesuatu dari tidak ada (menjadi ada), baik hal itu dilakukan secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri. Jika yang satu tidak mampu menciptakan dan mengadakan sesuatu dari tidak adanya, lalu disempurnakan (dibantu) oleh yang lain (yang juga tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan dan mengadakan-pen), maka baik yang pertama maupun yang kedua sama-sama tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan dan mengadakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Ketidakmampuannya dalam menciptakan dan mengadakan sesuatu dari tidak ada, tampak dan dapat diindera. Ini berarti dia tidak bersifat azali, karena sesuatu yang bersifat azali, yang tidak ada permulaannya, harus terhindar dari sifat-sifat tidak mampu (lemah), serta wajib bersifat kuasa untuk menciptakan dan mengadakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Segala sesuatu yang diadakan itu wujudnya harus bersandar kepadanya agar dia dikatakan azali. Karena itu alam tidak bersifat azali dan tidak kekal. Alasannya karena alam tidak mampu menciptakan dan mengadakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Ketidakmampuan sesuatu untuk menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada adalah bukti nyata bahwa dia tidak bersifat azali.

Kedua, telah kami katakan bahwa sesuatu itu agar bisa memenuhi kebutuhan yang lain membutuhkan pada kadar tertentu yang tidak mampu lagi dilewatinya. Penjelasannya sebagai berikut. Bahwa si A membutuhkan kepada si B dan si B membutuhkan kepada si C dan si C membutuhkan kepada si A, demikian seterusnya yang menunjukkan kebutuhannya terhadap yang lainnya sebagai bukti bahwa masing-masing mereka tidak bersifat azali. Sebagiannya menyempurnakan (melengkapi) sebagian yang lain. Memenuhi kebutuhan sebagian yang lain tidak bersifat mutlak, melainkan terjadi sesuai dengan kadar tertentu. Yaitu sesuai dengan aturan tertentu. Tidak bisa menyempurnakan kecuali sesuai dengan aturan tadi, atau dia tidak mampu (bersifat lemah) untuk keluar dari aturan tadi. Sesuatu yang menyempurnakan itu tidak bisa melakukannya secara otomatis. Dia tidak mampu untuk memenuhinya sendirian. Dia bisa memenuhinya berdasarkan aturan yang telah mengharuskannya (yang berasal dari pihak lain-pen) dimana dia dipaksa untuk tunduk kepadanya. Jadi, baik sesuatu yang disempurnakan maupun yang menyempurnakan, keduanya membutuhkan kepada pihak lain yang menentukan aturan tertentu kepada mereka berdua hingga kebutuhannya terpenuhi. Mereka berdua tidak mampu menyalahi aturan tersebut, dan kebutuhan itu tidak akan terpenuhi tanpa adanya aturan tersebut. Berarti pihak yang mengharuskan aturan atas mereka adalah pihak yang dibutuhkan. Dengan demikian segala sesuatu secara keseluruhan meskipun satu sama lain saling menyempurnakan akan tetapi tetap membutuhkan kepada yang lain. Yaitu membutuhkan kepada pihak yang memaksanya untuk tunduk sesuai dengan aturan tertentu. Misalnya air, agar berubah menjadi es membutuhkan titik beku, sehingga orang mengatakan bahwa air itu materi, titik beku adalah materi dan es itu materi. Agar materi berubah menjadi materi yang berbentuk lain, dia membutuhkan kepada materi. Yaitu membutuhkan kepada dirinya sendiri bukan kepada yang lain. Namun faktanya tidak seperti ini. Air agar berubah menjadi es memerlukan suhu dengan tingkat derajat tertentu, bukan sembarang suhu. Sementara suhu itu adalah sesuatu. Kondisinya tidak akan berubah kecuali dengan tingkat derajat tertentu, dan itu adalah sesuatu yang lain dan dia bukanlah suhu. Artinya, tingkat suhu yang diperlukan agar dapat mempengaruhi dan (pada tingkat suhu tersebut-pen) air dapat berubah, bukan berasal dari air. Jika tidak, maka air dapat berubah (menjadi es-pen) sekehendaknya. Tingkat suhu tadi bukan berasal dari suhu, jika tidak maka pada suhu berapapun akan berubah (menjadi es-pen). Berarti hal itu bukan berasal dari materi. Jika tidak maka perubahan itu akan terjadi kapanpun dikehendaki oleh materi. Kenyataannya justru sangat dipengaruhi oleh faktor selain materi. Berdasarkan hal ini maka materi itu membutuhkan kepada sesuatu yang lain, yang mampu menentukan tingkat/kadar tertentu agar materi itu mengalami perubahan atau berubah. Yang menentukan tingkat/kadar tersebut adalah pihak lain. Ini berarti materi membutuhkan kepada sesuatu yang lain. Dengan demikian materi tidak bersifat azali, karena yang bersifat azali dan yang kekal itu tidak membutuhkan kepada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu berdiri sendiri, tempat seluruh materi bersandar kepadanya. Ketidakmampuan materi dari yang lainnya itu merupakan dalil yang amat jelas bahwa materi tidak bersifat azali. Materi adalah makhluk (diciptakan). Dengan memandang secara sekilas terhadap alam semesta manusia manapun akan mengetahui bahwa penciptaan terhadap sesuatu -baik sesuatu itu menempati ruang maupun yang muncul dari energi- tidak mungkin ada kecuali adanya sesuatu yang bisa dijangkau dan diindera, juga karena adanya peraturan tertentu dengan sesuatu yang bisa dijangkau dan diindera tadi hingga memunculkan sesuatu. Pada alam tidak terdapat penciptaan dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada, dan tidak terdapat penciptaan selain dari yang menentukan kadar/tingkat atas sesuatu yang diciptakan, dimana mereka harus tunduk kepadanya. Dengan kata lain di dunia ini tidak ada sesuatu yang mampu menciptakan (mengadakan) dari tidak ada menjadi ada, juga tidak terdapat sesuatu yang diciptakan tanpa memiliki kadar, yaitu tanpa aturan tertentu. Maka sesuatu yang diciptakan (diadakan) dan telah ada di dunia ini tidak bersifat azali maupun kekal. Segala sesuatu yang sedang diciptakan (diadakan) jelas-jelas bahwa dia diciptakan dari sesuatu yang dapat dijangkau dan diindera. Jelas pula bahwa keberadaannya tunduk pada kadar tertentu yang dilekatkan kepadanya. Sedangkan segala sesuatu yang telah ada tampak jelas ketidakmampuannya untuk menciptakan dari tidak ada menjadi ada. Jelas pula ketundukannya terhadap aturan tertentu yang melekat padanya. Aturan tersebut bukan berasal dari dirinya sendiri. Jika tidak, berarti ia mampu meninggalkan (aturan itu) dan tidak tunduk kepadanya. Berarti muncul (berasal) dari yang lain. Ketidakmampuan segala sesuatu yang bisa dijangkau dan diindera di alam ini -yaitu ketidakmampuan alam untuk menciptakan dari tidak ada menjadi ada- dan tunduknya pada aturan yang berasal selain dari dirinya, hal itu merupakan bukti nyata bahwa alam tidak bersifat azali dan tidak kekal. Alam diciptakan oleh sesuatu yang bersifat azali dan kekal.

Adapun orang yang mengatakan bahwa penciptaan merupakan sebuah kadar (ukuran tertentu-pen) dan ketentuan (takyif) seraya mengingkari keberadaan al-Khaliq, maka perkataan mereka ini berarti bahwa segala sesuatu yang dapat dijangkau dan diindera termasuk aturan tertentu yang mengikatnya, keduanya itulah yang menciptakan (dirinya sendiri-pen). Karena kadar dan ketentuan itu tidak mungkin ada kecuali dengan adanya sesuatu yang dapat dijangkau dan diindera serta dengan adanya aturan tertentu yang berasal dari sesuatu yang lain. Itu berarti penciptaan tersebut berasal dari dari dua macam unsur ini -yaitu segala sesuatu yang dapat dijangkau dan diindera dengan aturan tertentu-. Kedua unsur ini sebagai pencipta. Inilah yang dimaksud dengan perkataan bahwa penciptaan itu adalah kadar dan ketentuan. Pernyataan ini tertolak. Sebab, aturan itu tidak muncul dari segala sesuatu, juga tidak berasal dari dirinya sendiri, akan tetapi telah dilekatkan pada segala sesuatu yang dapat dijangkau dan diindera oleh sesuatu (yang lain) yang tidak mampu di jangkau dan diindera.

Berdasarkan penjelasan tadi tampak bahwa tidak mungkin menjadikan kadar dan ketentuan sebagai sesuatu yang mampu mencipta (mengadakan). Karena mustahil dia sendiri mampu mewujudkannya. Harus ada sesuatu yang tidak mampu dijangkau dan diindera yang memaksa aturan tertentu terhadap segala sesuatu yang bisa dijangkau dan diindera sehingga terwujud. Dengan demikian tampak bahwa kadar dan ketentuan itu bukanlah sesuatu (yang mampu) menciptakan, dan tidak mungkin (kadar dan ketentuan itu) mampu mewujudkannya secara mutlak.

Apabila pencipta tidak mampu menciptakan sesuatu yang dapat dijangkau atau diindera dari tidak ada menjadi ada, maka tidak dapat dikatakan sebagai pencipta, karena tidak mampu mewujudkan sesuatu sesuai dengan kehendaknya, dimana untuk mewujudkan sesuatu dia harus tunduk bersama-sama yang lain agar bisa mewujudkan sesuatu. Artinya, dia bersifat lemah dan tidak bersifat azali karena dia sendiri tidak mampu menciptakan dan membutuhkan kepada yang lainnya. Yang tidak mampu dan berhajat (kepada yang lain) itu tidak bersifat azali. Lebih dari itu makna dari Pencipta yang sebenarnya adalah yang menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada, dan segala sesuatu itu keberadaannya bersandar kepada-Nya saja. Sedangkan Dia tidak bersandar kepada yang lain. Jadi, jika dia tidak mampu mewujudkan sesuatu dari tidak ada menjadi ada dan lemah dalam menciptakan maka segala sesuatu itu tidak lagi bersandar kepadanya. Ini menunjukkan bahwa dia bukanlah satu-satunya pencipta. Dia bukanlah al-Khaliq. Agar dapat dikatakan sebagai al-Khaliq, maka Dia harus mampu mewujudkan sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Dia memiliki sifat qudrah (mampu) dan iradah (berkehendak), tidak membutuhkan kepada sesuatu, tidak bersandar kepada sesuatu, sementara sesuatu itu bersandar kepada-Nya. Berdasarkan hal ini maka Dialah yang mengadakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada supaya disebut sebagai mencipta. Dan mau tidak mau Dialah juga yang harus mewujudkan sesuatu dari tidak ada menjadi ada sehingga Dia disebut sebagai al-Khaliq.

Adapun dalil iman terhadap para Malaikat adalah dalil naqli. Allah Swt berfirman:

شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُ ۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلۡمَلَـٰٓٮِٕكَةُ وَأُوْلُواْ ٱلۡعِلۡمِ قَآٮِٕمَۢا بِٱلۡقِسۡطِ‌ۚ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَڪِيمُ (١٨)

Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). (TQS. Ali Imran [3]: 18)

لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَـٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ وَٱلۡمَلَـٰٓٮِٕڪَةِ وَٱلۡكِتَـٰبِ وَٱلنَّبِيِّـۧنَ

Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi. (TQS. al-Baqarah [2]: 177)

ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ‌ۚ كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَـٰٓٮِٕكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ 

Demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasulrasul-Nya.(TQS. al-Baqarah [2]: 285)

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ ءَامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَٱلۡكِتَـٰبِ ٱلَّذِى نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَٱلۡڪِتَـٰبِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ مِن قَبۡلُ‌ۚ وَمَن يَكۡفُرۡ بِٱللَّهِ وَمَلَـٰٓٮِٕكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَـٰلاَۢ بَعِيدًا (١٣٦)

Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitabkitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (TQS. an-Nisa [4]: 136)

Sedangkan dalil iman terhadap kitab-kitab terdapat perbedaan antara iman kepada al-Quran dengan iman kepada kitab samawi lainnya. Dalil yang menunjukkan bahwa al-Quran itu berasal dari Allah dan al-Quran merupakan kalamullah adalah dalil aqli, karena al-Quran adalah sesuatu yang bisa diindera, dan memungkinkan bagi akal untuk menjangkau bahwa keberadaannya dari sisi Allah Swt. Al-Quran merupakan ungkapan berbahasa Arab dalam bentuk lafadz dan kalimat-kalimatnya. Orang-orang Arab juga berbicara dengan ungkapan-ungkapannya, diantaranya syair dan prosa dengan berbagai macam coraknya. Ungkapan-ungkapan mereka terpelihara dalam berbagai kitab dan diriwayatkan melalui hafalan yang dibawa oleh generasi ke generasi dan diceritakan oleh satu dengan yang lainnya. Dari sini muncul beberapa kemungkinan (tentang al-Quran-pen).

Pertama, mungkin corak ungkapan mereka itu berasal dari mereka sendiri. Artinya, telah diungkapkan oleh orang Arab yang sangat fasih. Kedua, mungkin bukan corak ungkapan mereka. Berarti telah diungkapkan oleh selain orang Arab. Ketiga, mungkin saja orang Arab mampu mengungkapkan yang semisal al-Quran, atau mungkin juga orang Arab itu tidak mampu melontarkan ungkapan yang seperti al-Quran, padahal al-Quran merupakan ungkapan berbahasa Arab. Jika mereka mampu mengungkapkan yang semisal dengan al-Quran berarti mereka juga akan mampu mendatangkan yang semisal dengan al-Quran. Dengan kata lain al-Quran itu adalah ungkapan manusia seperti mereka. Namun jika mereka tidak mampu mendatangkan yang semisal dengan al-Quran padahal al-Quran itu adalah ungkapan berbahasa Arab dan mereka adalah orang-orang yang paling fasih dan pandai dikalangan orang-orang Arab, berarti al-Quran itu bukanlah ungkapan manusia.

Orang yang mengamati al-Quran dan mengamati ungkapan orang-orang Arab akan menjumpai bahwa al-Quran memiliki ciri khas, berupa corak ungkapan yang tidak pernah diucapkan dikalangan bangsa Arab. Mereka tidak pernah mendatangkan gaya ungkapan seperti ini, baik sebelum diturunkannya al-Quran maupun sesudahnya, sampai-sampai mereka tidak mampu mengikuti dan meniru uslubnya. Ini menunjukkan bahwa orang-orang Arab tidak pernah menggunakan ungkapan perkataan tersebut. Artinya, al-Quran itu bukan perkataan mereka. Disamping itu telah terbukti melalui periwayatan yang mutawatir, yang menunjukkan kepastian dan keyakinan bahwa orang-orang Arab tidak mampu mendatangkan ungkapan yang semisal dengan al-Quran, terlebih lagi adanya tantangan dari al-Quran terhadap mereka. Al-Quran telah menceriterakan tentang mereka:

وَإِن ڪُنتُمۡ فِى رَيۡبٍ۬ مِّمَّا نَزَّلۡنَا عَلَىٰ عَبۡدِنَا فَأۡتُواْ بِسُورَةٍ۬ مِّن مِّثۡلِهِۦ وَٱدۡعُواْ شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ صَـٰدِقِينَ (٢٣)

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (TQS. al-Baqarah [2]: 23)

أَمۡ يَقُولُونَ ٱفۡتَرَٮٰهُ‌ۖ قُلۡ فَأۡتُواْ بِسُورَةٍ۬ مِّثۡلِهِۦ وَٱدۡعُواْ مَنِ ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ صَـٰدِقِينَ (٣٨)

Atau (patutkah) mereka mengatakan: ‘Muhammad membuat-buatnya’. Katakanlah: ‘(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar’. (TQS. Yunus [10]:38)

أَمۡ يَقُولُونَ ٱفۡتَرَٮٰهُ‌ۖ قُلۡ فَأۡتُواْ بِعَشۡرِ سُوَرٍ۬ مِّثۡلِهِۦ مُفۡتَرَيَـٰتٍ۬ وَٱدۡعُواْ مَنِ ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ صَـٰدِقِينَ (١٣)

Bahkan mereka mengatakan: ‘Muhammad telah membuat-buat al-Quran itu’. Katakanlah: ‘(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar’. (TQS. Huud [11]: 13)

قُل لَّٮِٕنِ ٱجۡتَمَعَتِ ٱلۡإِنسُ وَٱلۡجِنُّ عَلَىٰٓ أَن يَأۡتُواْ بِمِثۡلِ هَـٰذَا ٱلۡقُرۡءَانِ لَا يَأۡتُونَ بِمِثۡلِهِۦ وَلَوۡ كَانَ بَعۡضُہُمۡ لِبَعۡضٍ۬ ظَهِيرً۬ا (٨٨)

Katakanlah: ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain’. (TQS. al-Isra [17]: 88)

Meskipun al-Quran melontarkan tantangan yang kuat akan tetapi mereka tidak mampu mendatangkan yang semisal dengan al-Quran. Apabila sudah terbukti bahwa al-Quran tidak pernah diungkapkan oleh orang-orang Arab dan mereka tidak mampu mendatangkan yang semisalnya, maka jelas bahwa al-Quran itu berasal dari Allah dan al-Quran itu adalah kalamullah. Mustahil orang-orang selain Arab yang mengungkapkannya, karena al-Quran adalah ungkapan berbahasa Arab. Lagi pula al-Quran telah membuat orang-orang Arab tidak berdaya. Tidak bisa juga dikatakan bahwa al-Quran itu adalah perkataan Nabi Muhammad, karena Nabi Muhammad sendiri berbahasa Arab dan dari golongan Arab. Apabila sudah terbukti kelemahan orang-orang Arab, maka dengan sendirinya terbukti pula kelemahan pada Nabi, karena beliau adalah orang Arab.

Ditambah lagi bahwa corak ungkapan -dari segi lafadz dan kalimat-kalimatnya- setiap manusia itu tunduk (mengikuti) sesuai dengan apa yang telah menjadi kebiasan pada zamannya, atau sesuatu yang diriwayatkan dari perkataan orang-orang terdahulu. Ketika seseorang memperbaharui ungkapan-ungkapannya maka dia akan memperbaharui pula penggunaan lafadz dan makna-makna yang baru, atau image baru. Dan mustahil dia mengucapkan sesuatu yang belum pernah diketahuinya. Yang disaksikan dalam corak/gaya al-Quran, bahwa ungkapan-ungkapan yang ada di dalamnya -dilihat dari segi lafadz dan kalimat-kalimatnya- tidak dikenal di masa Rasul, begitu juga di masa sebelumnya dikalangan orang-orang Arab. Oleh karenanya mustahil secara aqli orang-orang Arab -sebagai manusia- mengungkapkan sesuatu yang belum pernah dikenalnya. Jadi, mustahil pula corak ungkapan al-Quran itu berasal dari lafadz dan kalimat-kalimat Nabi Muhammad, karena beliau belum pernah mengenalnya. Maka al-Quran itu adalah kalamullah yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad, dan berasal dari sisi Allah. Perkara ini telah terbukti dengan dalil aqli ketika turunnya al-Quran. Juga terbukti dengan dalil aqli pada masa sekarang, karena manusia tetap tidak mampu untuk mendatangkan yang semisal dengan al-Quran, dan kelemahan ini tetap dirasakan secara inderawi oleh semesta alam.

Kesimpulannya bahwa al-Qur’an itu (memiliki kemungkinan) berasal dari salah satu dibawah ini. Yaitu mungkin berasal dari orang-orang Arab atau dari Muhammad atau dari Allah. Karena semuanya berbahasa Arab. Tidak mungkin al-Quran itu datang selain dari tiga (kemungkinan) ini. Kemungkinan (pertama) bahwa al-Quran itu dari orang-orang Arab adalah batil (tertolak), karena mereka tidak mampu mendatangkan yang semisal dengan al-Quran. Mereka mengakui kelemahannya. Dan kenyataannya sampai sekarangpun mereka tetap tidak mampu mendatangkan yang semisal dengan al-Quran. Ini menunjukkan bahwa al-Quran bukan berasal dari orang-orang Arab. Maka tinggal dua kemungkinannya, mungkin dari Muhammad atau dari Allah. Kemungkinan (kedua) bahwa al-Quran itu dari Nabi Muhammad adalah batil (tertolak), karena beliau juga adalah orang Arab. Betapapun jeniusnya tidak mungkin melebihi orang-orang yang ada dimasanya. Apabila orang-orang Arab lemah (tidak mampu), maka Nabi Muhammad pun tidak mampu. Dan Nabi Muhammad adalah salah seorang diantara mereka. Telah diriwayatkan dari Nabi Muhammad melalui riwayat yang mutawatir, sabda beliau:


Jika kita bandingkan ucapan Muhammad dengan kalam al-Quran maka tidak terdapat kemiripan diantara keduanya. Ini menunjukkan bahwa al-Quran bukanlah ucapan Muhammad, melainkan kalamullah.

Disamping itu seluruh ahli syair, para penulis, para filosof danpara pemikir di dunia ini pada permulaan (usia)nya menggunakan gaya bahasa yang sedikit lemah. Kemudian gaya bahasa mereka mulai meningkat sampai mencapai puncak kemampuan mereka. Karena itu uslub mereka sangat beragam dari segi tinggi rendahnya. Terlebih lagi terdapat pemikiran yang lemah (tidak masuk akal) dan ungkapan-ungkapan yang janggal dalam perkataan mereka. Sedangkan kita jumpai bahwa al-Quran sejak awal mula diturunkannya ayat pertama:

 ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ (١)

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. (TQS. al-‘Alaq [96]: 1)

Sampai ayat yang terakhir diturunkan:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ (٢٧٨)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut). (TQS. al-Baqarah [2]: 278)

Uslubnya (gaya bahasa) tetap (tidak berubah) yang penuh dengan ketinggian balaghah dan fashahahnya (kefasihannya) serta ketinggian pemikiran dan ketegasan (kekuatan) ungkapan-ungkapannya. Didalamnya tidak dijumpai satu ungkapanpun yang janggal dan tidak ditemui pula satu pemikiranpun yang rendah atau tidak masuk akal. Al-Quran memiliki satu corak. Semuanya dalam satu uslub yang global dan rinci bagaikan satu kalimat, yang menunjukkan bahwa al-Quran bukanlah perkataan manusia yang memungkinkan adanya kontradiksi dalam ungkapan-ungkapan dan pengertian-pengertiannya. Al-Quran adalah perkataan Rabb semesta
alam. Inilah pembahasan tentang al-Quran sebagai bagian dari kitab-kitab samawi. Islam memerintahkan kita untuk mengimaninya. Adapun kitab-kitab samawi yang lain, dalilnya adalah naqli bukan aqli, Allah Swt berfirman:

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ ءَامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَٱلۡكِتَـٰبِ ٱلَّذِى نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَٱلۡڪِتَـٰبِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ مِن قَبۡلُ‌ۚ

Wahai orang-orang yang beriman tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yangAllah turunkan kepada RasulNya, serta kepada kitab yang Allah turunkan sebelumnya. (TQS. an-Nisa [4]: 136)

 لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَـٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ وَٱلۡمَلَـٰٓٮِٕڪَةِ وَٱلۡكِتَـٰبِ وَٱلنَّبِيِّـۧنَ

Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi. (TQS. al-Baqarah [2]: 177)

وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقً۬ا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡڪِتَـٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِ‌ۖ

Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. (TQS. al-Maidah [5]: 48)

وَهَـٰذَا كِتَـٰبٌ أَنزَلۡنَـٰهُ مُبَارَكٌ۬ مُّصَدِّقُ ٱلَّذِى بَيۡنَ يَدَيۡهِ

Dan ini (al-Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan, yang diberkahi, membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya. (TQS. al-An’am [6]: 92)

 وَمَا كَانَ هَـٰذَا ٱلۡقُرۡءَانُ أَن يُفۡتَرَىٰ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلَـٰكِن تَصۡدِيقَ ٱلَّذِى بَيۡنَ يَدَيۡهِ

Tidaklah mungkin al-Quran ini dibuat oleh selain Allah, akan tetapi (al-Quran itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. (TQS.Yunus [10]: 37)

Adapun dalil iman kepada para rasul, terdapat perbedaan antara iman terhadap Nabi Muhammad dengan para Rasul yang lain. Dalil atas kenabian Muhammad adalah dalil aqli bukan dalil naqli. Dalil orang yang mengaku bahwa dia adalah Nabi dan Rasul adalah mukjizat-mukjizat yang dibawanya sebagai bukti atas kenabian dan kerasulannya, dan syariat yang dibawanya untuk memperkuat mukjizat tersebut. Mukjizat Muhammad yang merupakan dalil atas kenabian dan kerasulannya adalah al-Quran dan syariat yang beliau bawa adalah hanyalah al-Quran. Maka al-Quran itu sendiri mukjizat dan sampai sekarangpun tetap merupakan mukjizat. Karena telah ditetapkan dengan jalan mutawatir --yang merupakan dalil yang qath’i dan yakin— bahwa yang membawa al-Quran adalah Nabi Muhammad, Ini merupakan bukti yang pasti dan telah terbukti pula bahwa al-Quran adalah syariat Allah dan datang dari Allah. Tidak ada yang datang dengan membawa syariat Allah kecuali para Nabi dan Rasul. Maka hal ini menjadi dalil aqli bahwa Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul dari Allah Swt.

Sedangkan mukjizat-mukjizat para Nabi lainnya telah sirna dan berlalu. Kitab-kitabnya yang ada sekarang tidak dibangun dengan menggunakan dalil aqli untuk menyatakan bahwa kitab-kitab itu dari Allah, karena mukjizat yang mendukung bahwa kitab-kitab tersebut dari Allah telah terputus dan telah sirna. Maka untuk menyatakan mereka itu Nabi atau Rasul tidak dibangun dengan dalil aqli, kecuali Sayidina Muhammad saw. Kenabian dan kerasulan mereka dibuktikan melalui dalil naqli. Allah Swt berfirman:

 ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ‌ۚ كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَـٰٓٮِٕكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٍ۬ مِّن رُّسُلِهِۦ‌ۚ

Rasul telah beriman kepada al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitabNya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya’. (TQS. al-Baqarah [2]: 285)

 قُولُوٓاْ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَمَآ أُنزِلَ إِلَيۡنَا وَمَآ أُنزِلَ إِلَىٰٓ إِبۡرَٲهِـۧمَ وَإِسۡمَـٰعِيلَ وَإِسۡحَـٰقَ وَيَعۡقُوبَ وَٱلۡأَسۡبَاطِ وَمَآ أُوتِىَ مُوسَىٰ وَعِيسَىٰ وَمَآ أُوتِىَ ٱلنَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمۡ لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٍ۬ مِّنۡهُمۡ وَنَحۡنُ لَهُ ۥ مُسۡلِمُونَ (١٣٦)

Katakanlah (hai orang-orang mukmin): ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya dan apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’. (TQS. al-Baqarah [2]: 136)

Adapun dalil iman terhadap hari akhir yaitu hari kiamat, adalah dalil naqli bukan dalil aqli. Sebab, hari kiamat tidak dapat dijangkau oleh akal. Allah Swt berfirman:

وَهَـٰذَا كِتَـٰبٌ أَنزَلۡنَـٰهُ مُبَارَكٌ۬ مُّصَدِّقُ ٱلَّذِى بَيۡنَ يَدَيۡهِ وَلِتُنذِرَ أُمَّ ٱلۡقُرَىٰ وَمَنۡ حَوۡلَهَا‌ۚ وَٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡأَخِرَةِ يُؤۡمِنُونَ بِهِۦ‌ۖ 

Dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Makkah) dan orang-orang yang diluar lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (al-Quran). (TQS. al-An’am [6]: 92)

إِلَـٰهُكُمۡ إِلَـٰهٌ۬ وَٲحِدٌ۬‌ۚ فَٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡأَخِرَةِ قُلُوبُہُم مُّنكِرَةٌ۬ وَهُم مُّسۡتَكۡبِرُونَ (٢٢)

Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong. (TQS. an-Nahl [16]: 22)

لِلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡأَخِرَةِ مَثَلُ ٱلسَّوۡءِ‌ۖ وَلِلَّهِ ٱلۡمَثَلُ ٱلۡأَعۡلَىٰ‌ۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ (٦٠)

Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat mempunyai sifat yang buruk. (TQS. an-Nahl [16]: 60)

وَأَنَّ ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡأَخِرَةِ أَعۡتَدۡنَا لَهُمۡ عَذَابًا أَلِيمً۬ا (١٠)

Dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih. (TQS. al-Isra [17]: 10)

فَإِذَا نُفِخَ فِى ٱلصُّورِ نَفۡخَةٌ۬ وَٲحِدَةٌ۬ (١٣) وَحُمِلَتِ ٱلۡأَرۡضُ وَٱلۡجِبَالُ فَدُكَّتَا دَكَّةً۬ وَٲحِدَةً۬ (١٤) فَيَوۡمَٮِٕذٍ۬ وَقَعَتِ ٱلۡوَاقِعَةُ (١٥) وَٱنشَقَّتِ ٱلسَّمَآءُ فَهِىَ يَوۡمَٮِٕذٍ۬ وَاهِيَةٌ۬ (١٦) وَٱلۡمَلَكُ عَلَىٰٓ أَرۡجَآٮِٕهَا‌ۚ وَيَحۡمِلُ عَرۡشَ رَبِّكَ فَوۡقَهُمۡ يَوۡمَٮِٕذٍ۬ ثَمَـٰنِيَةٌ۬ (١٧) يَوۡمَٮِٕذٍ۬ تُعۡرَضُونَ لَا تَخۡفَىٰ مِنكُمۡ خَافِيَةٌ۬ (١٨)

Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali bentur. Maka pada hari itu terjadilah hari kiamat, dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi lemah. Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung ‘Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka. Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah). (TQS. al-Haaqqah [69]: 13-18)

Rasulullah saw bersabda:

 

Inilah perkara-perkara yang harus diimani, terdiri dari lima perkara. Yaitu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat. Ditambah juga beriman kepada qadha dan qadar. Istilah iman tidak bisa dilepaskan dengan ke-Islaman seseorang. Seseorang tidak dianggap muslim kecuali jika dia mengimani lima perkara ini serta beriman kepada qadha dan qadar. Allah Swt berfirman:

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ ءَامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَٱلۡكِتَـٰبِ ٱلَّذِى نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَٱلۡڪِتَـٰبِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ مِن قَبۡلُ‌ۚ وَمَن يَكۡفُرۡ بِٱللَّهِ وَمَلَـٰٓٮِٕكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَـٰلاَۢ بَعِيدًا (١٣٦)

Wahai orang-orang yang beriman tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kepada kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (TQS. an-Nisa [4]: 136)

Al-Quran dan hadits telah menetapkan lima perkara ini dalam bentuk yang sangat jelas, disertai sebutan dan perkaranya. Tidak ada iman tanpa adanya lima perkara ini sesuai dengan keputusan yang jelas dan pasti tentang perkara tertentu yang disertai namanya sebagaimana yang telah disinggung. Nash-nash tersebut adalah nash-nash yang qath’i ats-tsubut (nash-nash yang pasti sumbernya, yaitu al-Quran dan hadits-hadits mutawatir-pen) dan qath’i dilalah (yang pasti penunjukannya maknanya-pen) dan menunjuk hanya pada lima perkara ini saja, tidak lebih.

Memang benar, telah disinggung iman terhadap qadar, seperti yang tercantum di dalam hadits tentang Jibril. Pada sebagian riwayat Jibril telah datang dan berkata:


Hanya saja hadits tersebut adalah hadits ahad. Terlebih lagi bahwa yang dimaksud dengan qadar di sini adalah ilmu Allah, bukan qadha dan qadar yang menjadi obyek perselisihan (dalam pemahaman). Iman terhadap qadha dan qadar -sesuai dengan nama dan perkaranya- telah menjadi obyek perselisihan tentang pemahamannya. Tidak terdapat nash yang qath’i (pasti) tentang perkara ini. Hanya saja beriman terhadap perkaranya sebagai bagian dari aqidah merupakan perkara yang wajib diimani. Sebutan dan perkaranya (yaitu qadha dan qadar-pen) sama sekali tidak dikenal pada masa sahabat. Tidak ada nash yang shahih dengan nama tersebut. Istilah itu terkenal pada awal masa tabi’in. Sehingga sejak saat itu mulai dikenal dan dibahas. Yang membawa dan menjadikannya sebagai topik pembahasan adalah para ahli kalam. Perkara ini tidak pernah muncul sebelum timbulnya ilmu kalam. Tidak ada yang membahasnya dengan nama ini (qadha dan qadar) dan perkaranya kecuali dikalangan ahli kalam, yaitu setelah berakhirnya abad pertama hijriah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar